tirto.id - Sejarah kontrasepsi penuh dengan kisah perempuan yang mengambil alih beban reproduksi. Mereka mengorbankan kesejahteraan fisik dan mental karena siklus biologis dan alat kontrasepsinya mengubah bentuk tubuh, fisiologi otak, mengacaukan hormon dalam tubuh hingga memicu stres bahkan depresi.
Meski kemampuan reproduksi dan memilih kontrasepsi dimiliki laki-laki dan perempuan, akan tetapi sangat jarang laki-laki yang mau maju menjadi garda perencanaan reproduksi. Kondisi ini bisa dilihat dari proyeksi data dalam Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) 2018 (hal 412). Penggunaan alat kontrasepsi pria memiliki persentase paling kecil di antara jenis kontrasepsi lainnya.
Kontrasepsi modern yang paling banyak digunakan adalah suntik hormonal 3 bulan (42,4 persen), dilanjut dengan pil kontrasepsi (8,5 persen), IUD/AKDS/Spiral (6.6 persen). Selain ketiga jenis kontrasepsi tersebut, perempuan Indonesia juga lazim menggunakan suntik hormonal 1 bulan (6,1 persen), dan implan/susuk KB (4,7 persen).
Untuk sterilisasi--yang bisa dilakukan oleh kedua jenis kelamin-- bahkan masih didominasi oleh perempuan (3,1 persen). Sterilisasi pria berada di pilihan paling terakhir (0,2 persen), setelah kondom laki-laki sebesar 1,1 persen. Secara umum, cara kerja alat kontrasepsi adalah memblokade sperma agar tidak bertemu dengan sel telur.
Kontrasepsi hormonal lazimnya mengandung hormon estrogen sintetis yang disebut ethinyl estradiol dan progestin yang termasuk dalam progesteron sintetik. Ethinyl estradiol bekerja untuk mencegah ovulasi, sementara progestin mengentalkan lendir di bagian leher rahim sehingga sperma sulit mencapai rahim.
Jika pun ovum berhasil dibuahi, progestin membuat suasana rahim tidak kondusif dan sel telur sulit menempel pada rahim. Hormon-hormon ini terkandung pada kontasepsi jenis suntik, pil, IUD, dan implan. Sementara IUD non hormonal memicu keluarnya zat peradangan rahim yang mampu merusak sperma dan ovum sebelum sempat bertemu.
Bayangkan, intervensi benda-benda asing tersebut terjadi dalam tubuh Anda. Tak seperti penggunaan kondom atau sterilisasi pria, alat-alat kontrasepsi tersebut memiliki beragam efek yang 'menyiksa' perempuan.
Pil Kontrasepsi Menyusutkan Otak
Pil adalah alat kontrasepsi populer yang digunakan perempuan di dunia. Tingkat penggunaannya tertinggi kedua di Indonesia setelah suntik hormonal tiga bulan. Selain mudah didapat, pemakainya berpersepsi bahwa kontrasepsi ini paling sering diteliti dan tak perlu “menanamkan” benda asing di tubuh, sehingga aman dan nyaman.
Namun, di balik kepopulerannya ternyata masih jarang studi yang mengungkap soal efek penggunaan terhadap bentuk otak. Biasanya penelitian tentang kontrasepsi berfokus pada efek psikologis pengguna. Lain dengan studi yang dipresentasikan dalam pertemuan tahunan Radiological Society of North America Desember 2019 lalu.
Studi tersebut mengonfirmasi bahwa pil kontrasepsi bisa mempengaruhi bentuk fisiologis otak. Dilansir dari laman Discover Magazine, peneliti menemukan fakta bahwa perempuan yang menggunakan pil kontrasepsi memiliki ukuran hipotalamus lebih kecil enam persen dibanding ukuran normal.
Sampel penelitian ini tidak pernah menggunakan kontrasepsi hormonal lain, mereka juga bebas dari riwayat cedera otak traumatis atau penyakit mental. Namun, hasil penelitian ini tak serta merta memberi kesimpulan negatif terhadap penyusutan hipotalamus. Meski memegang fungsi krusial, ukuran kecil hipotalamus membuatnya sulit dinilai hanya berdasarkan pemindaian otak.
“Penelitian ini mungkin tidak mewakili risiko sama sekali, tapi hanya mewakili cara kita melihat efek dari proses obat bekerja,” kata salah satu peneliti, Michael Lipton, seorang ahli radiologi di Fakultas Kedokteran Albert Einstein dan Pusat Medis Montefiore di New York City.
Hipotalamus merupakan area kecil--sebesar kacang almond--di pusat otak yang berfungsi mengatur semua jenis hormon dalam tubuh. Kerusakan pada hipotalamus bisa mengacaukan mekanisme fisiologis tubuh, memicu masalah seksual, nafsu makan,dan kekacauan pengaturan gula darah.
Tim peneliti membatasi studinya hanya mengenai perubahan fisiologis, tanpa mengorek lebih lanjut tentang efek penyusutan. Namun mereka mengatakan bahwa perubahan ini berpeluang menghasilkan dampak besar yang belum diketahui. Apalagi penyusutan terjadi di bagian tubuh paling penting: otak.
Artikel sains lain dari BBCjuga mengonfirmasi perubahan bentuk otak akibat pil kontrasepsi. Daerah otak perempuan yang mengonsumsi pil kontrasepsi menjadi khas pria. Mereka jadi kurang artikulatif--kemampuan yang biasanya dikuasai perempuan--tapi kecerdasan spasialnya justru meningkat.
Laporan lain mengungkapkan efek samping seperti perubahan suara yang menjadi lebih berat, munculnya jerawat, keringat, dan pertumbuhan rambut berlebih.
“Beberapa jenis pil kontrasepsi membuat mereka buruk, terutama pada perempuan yang rentan,” demikian lapor BBC.
Lalu Bagaimana?
Satu-satunya efek yang terdokumentasikan dari penelitian tentang kontrasepsi dan hipotalamus adalah penggumpalan darah. Namun, jika ditelusuri lebih jauh sudah banyak studi tentang penggunaan kontrasepsi hormonal yang memengaruhi kondisi mental pengguna.
Misalnya studi keluaran JAMA Psychiatry (2016) yang mengamati lebih dari satu juta perempuan Denmark di atas usia 14 tahun. Mereka mengaitkan adanya peningkatan risiko depresi terkait penggunaan semua jenis kontrasepsi hormonal. Risiko paling tinggi terlihat pada kontrasepsi yang memuat hanya progesteron.
Jadi, salah besar ketika tenaga kesehatan mengklaim IUD atau kontrasepsi tanam lain tidak berefek buruk pada perubahan suasana hati. Sementara laman NHSmenambahkan bahwa kontrasepsi suntik bisa memicu osteoporosis, kenaikan berat badan, sakit kepala, perubahan suasana hati, nyeri payudara, dan menstruasi tidak teratur.
Bagaimana tidak, penambahan hormon sintetis itu mengacaukan kadar normal hormon dalam tubuh. Gambarannya efeknya seperti ini: Anda mengalami perubahan suasana hati mendadak, kadang bisa sangat merasa sedih dan menderita tanpa alasan kuat, begitu juga dengan respons marah dan gembira.
Lalu pertanyaannya sekarang, dengan beragam efek yang ditimbulkan haruskah perempuan berhenti menggunakan kontrasepsi?
Jelas tidak. Risiko depresi pada perempuan yang menggunakan kontrasepsi hormon memang meningkat. Tapi jumlah totalnya kecil, hanya sekitar 2,2 dari 100 perempuan. Terlebih, penelitian yang mendukung pengalihan beban kontrasepsi ke pria masih sedikit.
Dunia memang tengah membicarakan akses pil kontrasepsi pria. Namun, entah kapan penelitian membuktikan tingkat keamanannya sehingga produk bisa diedarkan.
Masalah lain, jika akses tersebut sudah tersedia, bisakah konsensus tentang “siapa yang harus menanggung beban perencanaan reproduksi” diubah? Bahkan ketika sterilisasi pria sudah terbukti lebih ampuh, aman, dan tidak menyakitkan dibanding sterilisasi perempuan, toh skema ini tetap dibebankan pada perempuan.
Editor: Windu Jusuf