tirto.id - Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (Kemen PPPA) menyatakan sikap terkait putusan majelis Hakim Pengadilan Negeri (PN) Mojokerto untuk menjatuhkan hukuman kebiri bagi tersangka kasus kekerasan seksual terhadap anak, Muh. Aris (21).
Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA) Yohana Yembise mengatakan yang bersangkutan tidak patut ditolerir atas perbuatannya.
"Kemen PPPA tidak mentoleransi segala bentuk kekerasan dan kejahatan seksual terhadap anak. Kemen PPPA mengapresiasi putusan yang dilakukan oleh Hakim Pengadilan Negeri Mojokerto atas pemberlakuan hukuman pidana tambahan berupa pidana kebiri kepada terdakwa," ujarnya melalui pesan tertulis yang diterima Tirto, Senin (26/8/2019).
Ia mengatakan, putusan tersebut menjadi yang pertama di Indonesia sehingga bisa menjadi satu langkah maju yang diharapkan dapat memberi efek jera bagi para pelaku kekerasan seksual terhadap anak.
"Ini adalah hukuman tambahan yang diberlakukan setelah hukuman pokok dilaksanakan, sehingga efek dari hukuman tambahan akan bisa kita lihat setelah terdakwa menyelesaikan hukuman pokok," ujarnya.
"Namun, ini salah satu upaya untuk memberikan efek jera kepada para predator anak."
Oleh sebab itu, ia juga menilai bahwa instrumen hukum untuk melindungi dan memberikan keadilan bagi korban anak dalam kasus kekerasan seksual sudah seharusnya digunakan oleh aparat penegak hukum.
"Seperti kita ketahui bahwa presiden telah menyatakan bahwa kejahatan seksual terhadap anak merupakan kejahatan luar biasa sehingga diperlukan pemberatan hukuman dimana pelakunya dapat dikenai pidana tambahan berupa pengumuman identitas pelaku, dan tindakan berupa kebiri kimia dan pemasangan alat pendeteksi elektronik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 81 ayat (6) dan (7) pada Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang 1 Tahun 2016 yang kemudian ditetapkan melalui Undang-Undang No. 17 Tahun 2016," ujarnya.
Aris, warga Desa Sooko, Kabupaten Mojokerto divonis bersalah karena telah mencabuli sembilan orang korban yang masih anak-anak sejak 2015.
Ia didakwa pasal 76 D juncto pasal 81 ayat 2 Undang-Undang Republik Indonesia (UU RI) Nomor 17 Tahun 2016 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti UU Nomor 1 Tahun 2016 tentang Perubahan Kedua atas UU RI Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak dan UU Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana.
Penulis: Alfian Putra Abdi
Editor: Nur Hidayah Perwitasari