tirto.id - Nia Aprilianingsih yang dulu bukanlah yang sekarang. Perempuan asal Yogyakarta yang berprofesi sebagai pendamping di Dinas Sosial itu kini lebih kalem. Dulu ia sempat mengalami fase “labil”. Salah satunya dengan menjajaki kelakuan khas remaja di lokasi wisata: foto bareng bule asing alias yang tak ia kenal sama sekali.
“Di area candi kalo nggak di keraton, udah lama banget. Pas itu sih alasannya karena pengen foto sama bule ganteng. Hahaha... Awalnya mereka kaget, 'kan bukan artis atau apapun. Tapi sih akhirnya mau,” ungkapnya, Selasa (14/8/2018).
Kelakuan remaja yang didasarkan pada kekagumannya atas dasar penampilan luar itu bisa dimaklumi. Baru pada usia dewasa Nia menyadari bahwa dulu ia didorong oleh perasaan inferior, yang mengendap di bawah alam sadarnya, tentang betapa kerennya sang bule yang mau berwisata sampai ke Yogyakarta.
“Awalnya si bule kaget dan bertanya-tanya, kenapa kok tiba-tiba diajak foto, padahal bukan artis. Tapi yah akhirnya mereka mau juga sih. ” ujar Nia.
Kebiasaan mengajak foto bersama wisatawan kulit putih, terutama di objek-objek wisata, adalah pemandangan yang lumrah di Indonesia. Nia tidak sendirian. Dalam penelusuran Tirto, perilaku ini dilakukan terutama oleh para remaja yang sedang melakoni “study tour” atau melancong bersama kawan-kawan satu geng.
Bramm Hubbell adalah pengajar sejarah di sekolah swasta Friends Seminary di Manhattan, New York, Amerika Serikat. Dalam dua dekade terakhir ia sering berpergian keliling dunia. Totalnya ada 60-an negara. Ia mengunjungi tempat-tempat yang sejarah lokalnya ia tuturkan kepada murid-murid di kelas.
Pada 2011 ia melancong ke Bali dan Pulau Jawa. Melalui wawancara via Facebook Messenger pada Selasa (14/8/2018), ia bercerita perihal keganjilan sikap orang-orang lokal yang sesekali meminta untuk berfoto dengannya. Ada yang suka tipe foto keluarga, ada pula yang mengambil selfie.
Permintaan foto Hubbel jumpai tidak hanya saat ia berada di Indonesia, tapi juga negara-negara Asia lain seperti Cina dan India. Pada musim semi dua tahun lalu ia menyusur ke bagian barat China, terutama Xinjiang. Sejumlah warga lokal, yang tentu saja tak ia kenal, memfoto dirinya atau meminta foto bersama.
Pengalaman di Xinjiang belum ada apa-apanya dengan yang ia alami di India—negara dengan penduduk paling aktif meminta foto bersama Hubbel.
“Tindakan itu cukup lumrah di India. Aku mengunjungi India bagian timur, di tempat yang sepi turis seperti Assam atau Sikkim. Jadi aku tidak bisa berjalan lebih dari 10 menit tanpa dihentikan untuk foto bareng,” tuturnya.
Orang-orang yang mengajak foto terlihat gembira, bangga, lalu menyebarkan hasilnya ke teman melalui aplikasi WhatsApp atau mengunggahnya di Instagram atau Facebook. “Kadang bukan cuma foto, tapi juga obrolan yang lumayan panjang,” imbuhnya.
Popularitas selfie di negara-negara Asia, ditengarai Hubbel sebagai dampak dari harga ponsel pintar yang makin terjangkau serta distribusinya yang kian meluas. Hubbel menyebutnya “selfie boom”, sebuah fenomena yang digerakkan oleh perusahaan-perusahaan asal Cina seperti Xiaomi, Oppo, atau bisnis asli India, Tambo.
“Aku ingat pertama kali diminta foto bareng, rasanya aneh. Lama-kelamaan aku tidak merasa terganggu. Mayoritas orangnya sangat bersahabat, sopan, dan minta izin dahulu. Tapi ya kadang-kadang masih ada yang tiba-tiba lari dan langung ambil foto tanpa bilang apapun. Itu yang aku tak suka.”
Pengalaman serupa dirasakan rekan-rekan Hubbel lain selaku barisan pelancong kulit putih. Michael G. Vann, misalnya. Ia juga seorang pengajar. Fokusnya adalah studi sejarah kolonialisme di California State University di Sacramento, AS.
Pertengahan Juli lalu, ia mengunggah foto dirinya bersama seorang anak kecil yang tak dikenalnya di Bandara Xiaozha Hangzhou, Cina. Badan si anak gempal. Ia mengenakan kaos, celana pendek, dan sendal. Senyumnya terkembang tipis-tipis, seperti berusaha tampak elegan sekaligus bangga. Jempol tangan kirinya ia acungkan ke kamera.
“Hahaha.. Barangkali bukan ratusan, tapi ribuan kali aku diminta berfoto bersama orang-orang Indonesia dalam 30 tahun terakhir. Orang Cina nampaknya sedikit lebih jarang melakukannya, tapi anak itu memenangkan hatiku,” kata Vann dalam kolom komentar, yang juga dibalas oleh Hubbel dalam obrolan yang asyik.
Pengalaman Hubbel dan Vann menandakan jika perilaku minta foto bareng pelancong kulit putih adalah fenomena yang merata di hampir seluruh Asia. Mengingat negara-negara seperti Indonesia atau India adalah bekas jajahan bangsa kulit putih, sulit untuk tidak melihatnya dalam kacamata post-kolonialme.
Post-kolonialisme adalah perspektif dan kajian akademik seputar diskursus dan praktik budaya kolonialisme (atau neo-kolonialisme) serta dampaknya pada lintas-bidang kehidupan yang dihasilkan oleh negara penjajah ke negara yang dijajah. Relasinya terjalin mulai dari level makro sampai mikro, antara pihak yang mendominasi kepada pihak yang didominasi.
Akademisi sekaligus mahasiswa doktoral di The University of Queensland, Ahmad Rizky Mardhatillah Umar, berpendapat ada dua penjelasan pokok dalam laku minta foto bareng bule asing. Pertama, soal cara berpikir rasial yang melekat dalam cara warga di Indonesia dan negara bekas jajahan lain memandang orang kulit putih.
Akarnya bisa dilacak dari proses kolonialisasi negara-negara Barat seperti Belanda, Inggris, dan Perancis atas Asia, yang mengatur koloni sebagai bagian dari orang-orang yang harus “diberi peradaban”.
“Cara berpikir seperti itu cenderung melihat -orang berkulit putih dalam strata yang lebih tinggi dari mereka yang berkulit hitam atau berwarna. Masalahnya, setelah proses dekolonisasi, cara pandang itu kerap melekat dan bertahan. Struktur politik global saat ini juga ikut mempertahankannya,” kata Umar.
Penjelasan kedua terkait dengan proses “modernisasi” yang diperkenalkan ke negara-negara bekas jajahan. Kebiasaan selfie dan berfoto ria adalah dampak dari proses tersebut, selaras dengan pendapat Hubbel, ditandai dengan makin terjangkaunya telepon pintar. Cina sangat ekspansif dalam industri telekomunikasi.
Masalahnya, lanjut Umar, perkembangan teknologi itu berlangsung secara tidak merata. Mereka yang ada di belahan dunia selatan lebih lambat penerimaannya daripada masyarakat di negara bagian utara.
“Konsekuensinya adalah munculnya "gegar teknologi: orang kian antusias untuk menggunakan teknologi, khususnya masyarakat kalangan ekonomi bawah yang sebelumnya tidak banyak mengakses teknologi. Ini bukan hanya persoalan budaya, tapi juga soal ketimpangan ekonomi.”
Dosen dan Ketua Jurusan Sosiologi UNY Grendi Hendrastomo turut melihatnya dari kacamata post-kolonialisme. Ada hal yang melahirkan rasa inferior saat berhadapan dengan orang kulit putih—sejalan dengan apa yang dirasakan oleh Nia. Dorongannya ada di alam bawah sadar, katanya.
“Orang Asia sejak dulu memang inferior ketimbang orang asing, bahkan sampai sekarang yang menganggap berkiblat ke Barat adalah segalanya. Barat dianggap menara suar yang kita melihatnya, kita ingin dekat dan menganggapnya sebagai sebuah pencapaian,” jelasnya via sambungan telepon, Selasa (14/8/2018).
Foto dengan bule berguna untuk menaikkan gengsi di media sosial, kata Grendi. Medsos kerap jadi kanal pamer keragaman dan keluasan relasi seseorang. Namun mental post-kolonial turut berpengaruh, sehingga pamer hanya akan optimal jika yang ditampilkan adalah foto bersama orang asing berkulit putih—bukan yang berwarna.
“Meski asalnya dari Barat, tapi yang dimaksud adalah yang Kaukasian. Barangkali kecuali untuk orang terkenal. Isu rasisme itu selalu ada meski berganti rupa. Mereka baru bisa dikenal jika punya prestasi, sementara orang kulit putih sudah otomatis menarik,” katanya.
Ia memberikan contoh lain yang serupa tapi sama, berdasarkan amatan di lingkungan kampus. UNY diisi oleh mahasiswa dari berbagai daerah, termasuk dari Papua. Orang non-Papua punya pandangan lain terhadap orang Papua, kata Grendi, sebab penampilan fisiknya berbeda.
“Menariknya mereka juga kadang-kadang diajak foto. Motifnya bukan untuk mencari gengsi seperti mengajak foto bule, tapi untuk menunjukkan bahwa mereka punya teman lintas etnis, lintas suku. Dia ingin dianggap mengakui keberagaman Indonesia.”
Sisi penting lain dalam fenomena foto mengajak pelancong kulit putih adalah alasan yang diberikan Nia, bahwa si bule itu ganteng. Umar kemudian menanyakan parameter “ganteng” itu sendiri, sebab sifatnya selalu subjektif.
“Setiap orang punya preferensi soal 'kegantengan', tapi kan ada cara berpikir tertentu yang melahirkan konsepsi 'ganteng' itu. Bagi saya masih terkait konstruksi dan standar rasial yang dipakai sebagai parameter kerupawanan orang,” jelasnya.
Grendi menyebutkan ada peran media termasuk industri sinetron hingga film. Artis-artis di dalamnya memang dipilih yang berpenampilan fisik seperti bule. Aktor-aktris dengan penampilan “Indonesia banget” ada, namun jumlahnya minoritas serta harus punya kemampuan akting yang mumpuni untuk bisa terkenal.
“Jadi ada semacam 'penjajahan' kultural yang mengawetkan perasaan superior dan inferior. Di dunia akademik juga ada. Dosen tamu dari luar kan lebih disambut daripada dosen tamu dari dalam negeri, meski kualitasnya sama. Pembicara yang jago berbahasa Inggris kesannya lebih “wah” di hadirin,” pungkasnya.
Editor: Windu Jusuf