tirto.id - Mengapa menjaga kesehatan ruang publik menjadi hal yang penting?
Baik ruang fisik maupun sosial yang bersifat publik, perlu dijaga agar tetap sehat dan memberikan manfaat bagi penggunanya. Ketika ruang publik fisik seperti lingkungan tempat tinggal dan kerja dalam kondisi sehat, udara akan beredar dengan baik dan dapat memberikan manfaat kesehatan bagi penggunanya. Ia dapat menjadi tempat untuk santai dan beristirahat sebentar. Ruang publik sosial juga harus sehat, seperti di media sosial, media massa, tempat diskusi, dan ruang wacana, sehingga kita bisa berinteraksi dengan baik dan saling berbagi ide yang berguna untuk semua orang.
Ruang publik dalam ranah sosial penting dibangun dengan baik. Pasca reformasi kita mudah menemukan banyak diskusi dan pembicaraan di ruang publik, terutama karena media sekarang bebas untuk memberikan informasi tentang berbagai peristiwa, ditambah dengan semakin banyaknya penggunaan media sosial oleh masyarakat. Masyarakat serasa menemukan tempat yang dapat menampung berbagai ekspresi mereka.
Media sosial mulai marak di Indonesia sekira tahun 2008, seiring dengan berkembangnya akses internet dan peningkatan penggunaan smartphone. Pada 2009, Facebook dan Twitter mulai populer, terutama di kalangan generasi muda dan pekerja profesional. Antara 2010 dan 2012, Twitter muncul sebagai platform utama untuk berdiskusi tentang politik dan isu sosial, terutama selama Pemilu 2014. Di rentang 2013 dan 2015, Instagram dan YouTube mulai populer berkat peningkatan pengguna smartphone dan ketersediaan paket data yang terjangkau.
Mulai 2016 hingga sekarang, TikTok dan Instagram Reels menjadi sangat populer di kalangan masyarakat, sementara WhatsApp dan Telegram menjadi platform utama untuk berkomunikasi dalam kehidupan sehari-hari. Di WhatsApp, kita bebas berbagi ide, membagikan video tentang apa pun, dan hal lainnya.
Hingga saat ini, media sosial tetap menjadi favorit berbagai lapisan masyarakat dan jenis pekerjaan. Kontennya beragam, mulai dari kritik sosial, budaya, ekonomi, dan politik, sangat ramai dan sulit diikuti karena perubahannya begitu cepat. Di media sosial, lumrah saja mendapati para pendukung dan penentang berbagai kebijakan atau program pemerintah.
Diskusi di ruang publik sangat hidup dan terbuka. Semua orang dengan bebas dan berani mengungkapkannya di ruang publik. Berbagai kejadian di tingkat lokal, nasional, maupun internasional menjadi menu menarik di ruang publik. Sejak masa kepresidenan Joko Widodo hingga era Presiden Prabowo, isu-isu terus bergulir tanpa henti di ruang publik. Ini berarti siapa pun rezimnya ruang publik tetap dipertahankan. Meskipun ada saja noda-noda yang merusak citra kebebasan di ruang publik.
Sayangnya, dalam berbagai diskusi di ruang publik, pola komunikasinya cenderung satu arah. Respon yang diberikan oleh penerima pesan tidak seimbang. Salah satu dari umpan balik yang diberikan cenderung negatif, bahkan ada yang bertujuan untuk menciptakan narasi yang bertentangan sehingga menimbulkan konflik di ruang publik.
Ini adalah hal yang menyebabkan ketidakseimbangan porsi di ruang publik. Narasi tersebut tidak lagi hanya tentang memberikan klarifikasi atau penjelasan yang dapat diterima oleh publik, tetapi telah berubah menjadi penolakan terhadap diskusi, bahkan menjadi narasi-narasi yang menguntungkan bagi kelompok yang lebih kuat. Akhirnya, tidak ada solusi yang membawa manfaat bagi kedua pihak. Eskalasi perdebatan tidak dapat dihindari di ruang publik, yang pada akhirnya berujung pada saling menyerang, diskusi dangkal, penuh kebencian, dan tidak didasarkan pada fakta.
Selain itu, kehadiran pendengung alias buzzer politik dalam ruang publik amat berpengaruh pada jalannya diskusi publik. Penceritaan yang tidak netral, cenderung memihak, merusak reputasi, menguntungkan satu pihak dan merugikan pihak lain, memutarbalikkan fakta, serta menyebarkan berita bohong dapat menyesatkan dan bahkan menyebabkan timbulnya konflik di masyarakat.
Konsep ruang publik (public sphere) sebagaimana yang diperkenalkan Jürgen Habermas dalam The Structural Transformation of the Public Sphere (1962), mengacu pada sebuah ruang sosial di mana individu dapat berkumpul dan secara rasional, terbuka, dan bebas untuk mendiskusikan isu-isu publik, tanpa campur tangan dari pemerintah atau pengaruh pasar yang dominan. Dalam menggunakan ruang publik, orang-orang seharusnya tidak membenci orang atau lembaga lain, tidak terpengaruh emosi dalam berdiskusi, dan memiliki tujuan yang jelas untuk menyelesaikan masalah secara kolektif.
Ruang publik telah ada di Eropa sejak lama, sekitar abad ke-18 melalui salon-salon dan kedai kopi. Situasi hampir serupa terjadi di Indonesia dalam beberapa tahun terakhir, ditandai banyaknya kedai kopi yang bermunculan di kota-kota besar maupun daerah-daerah. Para pengunjung kedai kopi datang bersama-sama sebagai komunitas untuk duduk santai dan berbincang-bincang, baik yang ringan maupun yang serius. Ini telah menjadi bagian dari budaya dan gaya hidup anak muda maupun kalangan tua. Mereka ngopi sambil mengerjakan tugas-tugas atau proyek-proyek. Banyak juga pembicaraan serius yang membahas kepentingan banyak orang, diadakan di kedai kopi dan melibatkan para praktisi, akademisi, dan politisi.
Menurut Habermas (1962), ruang publik memiliki beberapa ciri, termasuk hak semua warga negara untuk berpartisipasi dalam diskusi. Perdebatan harus didasarkan pada argumen yang kuat, bukan atas kekuasaan atau kepentingan pribadi. Diskusi di tempat umum bisa berdampak bagi kebijakan pemerintah dan tata kelola demokratis. Mulailah percakapan minimal agar dapat terjadi perubahan menuju arah yang lebih baik, memberikan dukungan moral dan semangat dalam menerapkan kebijakan yang menguntungkan rakyat.
Menurut penelitian Andersson (2016), ruang publik memiliki peran yang sangat penting dalam memfasilitasi interaksi sosial dan kehidupan komunitas. Ruang publik yang didesain dengan baik dapat menjadi tempat berkumpul yang terbuka, memungkinkan berbagai kegiatan sosial, budaya, dan rekreasi yang memperkuat kebersamaan masyarakat.
Ruang publik memungkinkan masyarakat untuk ikut serta dalam diskusi politik, yang menjadi landasan bagi keputusan demokratis. Dalam sistem demokrasi deliberatif, keputusan yang sah timbul dari proses perdebatan yang terbuka, transparan, dan didukung oleh argumen yang rasional. Menurut Kellner (2000), media dan komunikasi publik memiliki peran yang krusial dalam membentuk pandangan masyarakat yang dapat mempengaruhi kebijakan.
Ruang publik dapat digunakan sebagai wadah untuk menguji program dan kebijakan sebelum disahkan untuk diperbaiki. Sebaliknya, ruang publik juga dapat digunakan sebagai sarana untuk mengevaluasi program dan kebijakan yang telah dilaksanakan. Oleh sebab itu, program dan kebijakan benar-benar mendapatkan dukungan dari semua kalangan masyarakat.
Betapa penting dan berharganya ruang publik dalam menjaga stabilitas demokrasi sebuah negara. Betapa susahnya menghadirkan ruang publik yang benar-benar bebas pasca reformasi. Mari kita rawat baik-baik demi kebaikan bersama. Pastikan ruang publik tetap bersih dari konten yang dapat merusak keharmonisan dalam ruang berbagi informasi. Dorong pengaturan yang adil bagi setiap individu dalam kebebasan berekspresi. Jadikan lembaga-lembaga independen sebagai penyeimbang informasi yang sehat. Biasakanlah untuk memberikan kritik yang konstruktif, dan menerima kritik dengan pikiran yang jernih tanpa mencurigai hal-hal lain.
*Penulis adalah Dosen Ilmu Komunikasi Universitas Islam Negeri Sunan Gunung Djati, Bandung
*) Isi artikel ini menjadi tanggung jawab penulis sepenuhnya.