tirto.id - Setelah menyantap ketupat dengan menu khas di Hari Raya Idul Fitri –biasanya rendang dan opor ayam– Friska (26), akan langsung menuju kamar. Momen makan pagi bersama saat Lebaran adalah tradisi tahunan yang keluarganya rawat. Biasanya, kata Friska, momen makan-makan akan diawali dengan doa dan saling evaluasi diri sesama anggota keluarga.
“Evaluasi maksudnya tuh ya cuma semacam apa aku ada salah setahun ke belakang, nanti yang lain akan saling maaf-maafan,” ujar perempuan asal Kota Bogor ini kepada reporter Tirto, Senin (1/4/2024).
Namun, setelah acara makan keluarga, tantangan yang sesungguhnya baru datang untuk Friska. Sebab, orang tuanya merupakan anak tertua di keluarga besar, maka rumah dia otomatis menjadi titik kumpul acara silaturahmi trah keluarga. Puluhan sanak famili hingga kerabat akan memenuhi kediaman Friska saat Lebaran.
Beberapa tahun ke belakang, Friska agak sungkan bergabung dalam acara tersebut. Dia lebih banyak ada di dalam kamar atau sibuk melipir ke dapur untuk membantu menyiapkan santapan bagi tetamu yang hadir. Bukan tanpa sebab, beberapa anggota keluarga dan kerabat jauh, kerap menanyakan pertanyaan yang dinilainya sebagai privasi pribadi.
“Justru yang pertanyaan dan basa-basi ngeselin itu datang dari saudara jauh sih, misal yang beda kota. Ya biasa lah, pertanyaan kapan nikah atau udah ada pacar belum, klasik sih,” kata dia melengos.
Sebetulnya, Friska sendiri tidak masalah dengan pertanyaan-pertanyaan tersebut. Namun, dia merasa kelelahan secara mental karena kewalahan menjawab pertanyaan yang sama dari banyak orang. Karena itu, beberapa Lebaran ke belakang, Friska akan lebih banyak diam di kamar setelah menyapa keluarga besar yang bertandang untuk silaturahmi.
“Capek tahu walaupun kita sudah siapin jawaban nih, tapi nih orang-orang nanyanya itu-itu lagi. Aku mah di kamar aja deh mending, main sama keponakan-keponakan gitu,” tambah dia.
Dia mengaku, memang sikap itu terlihat seakan upaya menghindar dari keluarga besar. Kendati demikian, dia tidak benar-benar memutus hubungan atau sama sekali enggan bertemu sanak famili. Friska tetap basi-basi menanyakan kabar dan menyapa mereka sebagaimana biasanya.
“Bukan mereka datang kita ke kamar langsung. Tapi ada omongan dulu kayak nanya-nanya yang formalitas aja, kayak kabar dan kesehatan. Terus ajak aja tuh anak-anak kecil kayak keponakan atau sepupu ke kamar, kan ada alasan jadinya,” ucap dia sambil tertawa.
Silaturahmi keluarga memang lazim menjadi acara utama dalam merayakan Lebaran. Selain semakin merekatkan hubungan yang sudah dekat, silaturahmi menjadi momen rekonsiliasi jalinan yang renggang. Namun, hadirnya anggota keluarga dari berbagai penjuru, tak jarang menjadi momok tersendiri, terutama bagi generasi muda.
Pertanyaan yang terkadang dimaksudkan untuk basa-basi, seketika berubah menjadi teror mengorek privasi. Tak ayal, sebagian orang merasa kurang nyaman, bahkan khawatir berlebihan ketika momen kumpul keluarga atau silaturahmi muncul. Lebaran yang identik dengan suka cita, justru berubah jadi beban pikiran akibat sejumput pertanyaan.
Menurut Ridwan (25), pertanyaan-pertanyaan yang menyinggung privasi saat kumpul keluarga memang sudah seharusnya bersiap untuk diantisipasi. Pengusaha kuliner asal Kota Depok itu khatam betul, bagaimana dia harus banyak menjawab pertanyaan yang tidak mengenakan. Mulai dari soal pilihan karier hingga persoalan jodoh tidak luput menjadi tema pertanyaan yang menghunjam Ridwan.
“Menurut gue salah juga kalau kita mikir semua orang paham kondisi kita. Lah, yang datang aja kadang, kan, keluarga kagak kenal-kenal amat. Jadi siap-siap aja turunin ekspektasi dah,” ungkap dia kepada reporter Tirto.
Menghadapi Keadaan
Ridwan menambahkan, saat ini dirinya lebih banyak berbesar hati jika pertanyaan tak mengenakan muncul saat momen silaturahmi. Menurut dia, yang terpenting tidak perlu diperpanjang menjadi obrolan serius atau perdebatan yang mengundang urat kepala. Hadapi sebagaimana sebuah basa-basi, ringkas dan padat.
“Kalau gue nyebutnya itu basi-basi jelek, enggak orang tua aja sih, yang muda juga ada yang basa-basinya enggak bagus. Intinya namanya cuma basa-basi, jangan kebanyakan ngomong kalau enggak mau ribet,” ucap Ridwan sambil terkekeh.
Pendapat senada turut disampaikan Yuni (26), yang sejak jauh-jauh hari sudah mempersiapkan diri menghadapi acara silaturahmi keluarga. Sebagai cucu tertua dari jalur Bapak, Yuni seakan menjadi incaran empuk untuk ditanyai berbagai macam hal oleh saudara dan kerabat jauh. Ibu dari seorang bocah perempuan berusia 1 tahun ini, mengaku sudah lebih banyak menyesuaikan diri saat kumpul keluarga di momen Lebaran.
“Pastinya kalau saya banyak-banyak menenangkan diri jelang ketemu saudara. Enggak usah punya pikiran mau ngubah orang, jawab aja dengan cara yang baik dan kalau enggak sreg jelasin juga dengan baik,” kata dia kepada reporter Tirto.
Yuni berpendapat, terkadang saat dia merasa terlalu sensitif dan terganggu dengan pertanyaan dari anggota keluarga besar, dia memilih untuk bersuara bahwa hal itu rasanya tidak patut ditanyakan. Meski tidak akan mengubah pola pikir orang lain, kata dia, setidaknya Yuni mengutarakan perasaannya.
“Pernah ditanya kapan punya momongan, sebelumnya orang yang sama nanya kapan nikah, ya aku jawab aja, ‘perhatian banget dengan aku ya sampai nanya begitu ya, jangan begitu ya, urusan begitu ada yang atur kok’,” tutur Yuni.
Yuni sadar, tidak semua orang mampu bersikap seperti dirinya. Namun, menurut dia, menghindari pertanyaan dengan sembunyi dan enggan bertemu keluarga bukan sikap yang bijak. Dia lebih memilih bersuara menyatakan ketidaknyamanannya atau membalas pertanyaan pribadi dengan guyonan.
“Bawa santai, ingat kalau ini momen silaturahmi sih, harus happy dan kenyang kan,” canda Yuni.
Menjaga Kewarasan
Psikolog klinis, Veronica Adesla, menilai pertemuan besar seperti silaturahmi saat Lebaran mungkin tidak dapat dihindari. Sebab, konsekuensinya akan terlalu besar jika dihindari dan berpotensi menghilangkan hal positif yang didapatkan dengan menghadiri pertemuan. Untuk itu, kata dia, penting dapat menyiasati kekhawatiran pribadi dengan cerdas.
“Rasa khawatir dan malas, wajar dialami apabila memang memprediksi bahwa ia harus menghadapi berbagai pertanyaan yang membuatnya merasa tidak nyaman. Hal ini bisa dikarenakan dia merasa gagal atau tidak konfiden karena belum memenuhi harapan orang-orang di sekitarnya,” kata Veronica kepada reporter Tirto.
Menurut Veronica, umumnya mood yang diharapkan orang-orang pada saat merayakan hari besar adalah menginginkan suasana yang seru dan menyenangkan. Maka, hal-hal yang dapat menimbulkan emosi perasaan negatif akan merusak suasana dan cenderung akan dihindari oleh individu.
Salah satu cara menyiasati keadaan ini, kata Veronica, mencoba menjawab pertanyaan-pertanyaan tak mengenakan dengan humor dan santai. Misalnya, ketika ditanya soal jodoh atau kapan akan menikah, bisa dengan menyebut masih disiapkan Tuhan atau bercanda sambil minta rekomendasi untuk dikenalkan.
“Setelah menjawab singkat dengan humor, alihkan pembicaraan pada topik lain yang menarik untuk kawan bicara sehingga ia akan bersemangat untuk membahas topik tersebut dan tidak membahas lebih lanjut pertanyaannya,” saran Veronica.
Di sisi lain, Vero juga menyarankan untuk banyak berkumpul dengan anggota keluarga yang membuat diri nyaman. Jika ingin berkumpul dengan anggota keluarga yang lebih banyak, hendaknya melakukan aktivitas seru bersama seperti bermain gim atau melakukan karaoke.
Sementara itu, peneliti psikologi sosial dari Universitas Indonesia (UI), Wawan Kurniawan, menilai fenomena pertanyaan tidak mengenakan saat kumpul keluarga, dapat dipahami melalui konsep social comparison atau perbandingan sosial.
Saat berkumpul, dia menjelaskan, individu cenderung membandingkan pencapaian diri mereka dengan orang lain dalam kelompok. Hal ini bisa menjadi motivasi untuk bertanya tentang capaian individu lain, baik secara sadar maupun tidak sadar.
“Selain itu, pertemuan keluarga seringkali dianggap sebagai kesempatan untuk memperbarui informasi tentang anggota keluarga, sehingga menimbulkan keingintahuan. Maka, kemungkinan untuk kepo menjadi sangat terbuka,” ungkap Wawan kepada reporter Tirto.
Wawan berpendapat, kekhawatiran soal pertanyaan-pertanyaan di momen silaturahmi akan muncul pada beberapa orang. Namun, dia tetap menyarankan ikut berkumpul dengan keluarga karena banyak hal positif yang bisa dirasakan. Seperti terjalinnya ikatan yang lebih kuat, bertukar informasi baru, serta meningkatkan rasa kebersamaan dan solidaritas yang dapat menghindarkan individu dari perasaan sepi atau isolasi yang mungkin dialami dalam rutinitas keseharian.
“Pertanyaan tentang topik sensitif seperti jodoh atau pencapaian karier bisa menimbulkan tekanan atau kecemasan bagi beberapa individu. Untuk mencegah pertanyaan-pertanyaan yang dapat menyudutkan, kelompok dan individu bisa mengadopsi beberapa strategi, seperti membuat batasan topik, mengalihkan topik jika mulai sensitif, atau menggunakan humor untuk mengalihkan ketegangan,” jelas Wawan.
Penulis: Mochammad Fajar Nur
Editor: Abdul Aziz