tirto.id - Tonase sampah di DKI Jakarta menurun selama penerapan work from home (WFH) yang dimulai pada 16 Maret 2020. Demikian klaim dari Kepala Dinas Lingkungan Hidup DKI Jakarta Andono Warih.
Rata-rata tonase sampah periode 1-15 Maret 2020 mencapai 9.346,16 ton per hari di Tempat Pengelolaan Sampah Terpadu (TPST), sementara setelah WFH seberat 8.726,44 ton per hari. Dengan kata lain, sampah berkurang 620 ton per hari.
"Kebijakan bekerja, belajar, dan beribadah dari rumah membuat sampah berkurang terutama dari sumber komersial, seperti dari hotel, mal, restoran, perkantoran, dan tempat wisata," kata Andono kepada reporter Tirto, Kamis (9/4/2020).
Angka ini sebenarnya masih lebih berat ketimbang akhir tahun 2019. Pada November tahun lalu, Suharti, Deputi Gubernur Bidang Pengendalian Kependudukan dan Kepemukiman DKI, menyebut "Jakarta menghasilkan 7.700 ton sampah per hari." Di antara itu, "250 ton sampah diangkut dari badan air."
Jumlah sampah memang meningkat dari tahun ke tahun. Dalam lima tahun terakhir saja, jumlah sampah di ibu kota bertambah 36 persen, padahal "jumlah penduduk dalam periode yang sama hanya 4 persen," tambah Suharti.
Pada masa WFH ini sampah terbanyak disumbangkan oleh rumah tangga. Sampah-sampah itu termasuk sisa makanan dan sampah kemasan. Andono tidak merinci berapa banyak sampah yang dihasilan dari rumah-rumah.
Andono lantas mengimbau warga lebih giat melakukan pengurangan sampah, mengingat saat ini banyak yang beraktivitas di rumah. Warga bisa menerapkan tiga hal--strategi yang sudah dikampanyekan pemprov sejak tahun lalu. Pertama, masyarakat bisa memilih barang-barang yang "tidak menghasilkan sampah" dan membawa kantong belanja sendiri saat berbelanja.
Kedua, warga tidak buru-buru membuang sisa barang ke tempat sampah. Ketiga, memilah sampah. Sampah organik bisa dimasukkan ke komposter atau lubang biopori, sementara sampah anorganik yang dapat didaur ulang dikumpulkan sementara di rumah. Ketika pandemi COVID-19 mereda dan situasi sudah relatif aman, maka dapat dikirim di bank sampah terdekat.
"Sampah anorganik seperti kaleng, botol, dan kardus bekas dapat disimpan sementara dan relatif aman karena tidak membusuk," katanya.
Direktur Eksekutif Walhi Jakarta Tubagus Soleh Ahmadi memprediksi sampah rumah tangga akan semakin meningkat selama WFH. Oleh karena itu ia meminta kepada Pemprov DKI, terutama Dinas Lingkungan Hidup (DLH), untuk tidak hanya mengimbau warga tetapi juga memberikan mereka fasilitas kebersihan.
"Soalnya tidak semua warga mampu membeli kebutuhan penampung sampah. Sebenarnya ini persoalannya," katanya kepada reporter Tirto.
Selain itu, Pemprov DKI juga harus mengedukasi warga secara langsung bagaimana caranya mengelola sampah dengan baik dan benar. Warga dapat diajarkan bagaimana menerapkan 4R: reduce (mengurangi), reuse (menggunakan kembali), recycle (mendaur ulang), dan replace (mengganti).
Ia juga menilai ada beberapa hal yang harus diperbaiki Pemprov DKI dalam mengelola sampah. Kekurangan ini dapat diperbaiki saat ini juga atau ketika pandemi usai. Misalnya, soal rencana membakar sampah dengan suhu tinggi menggunakan fasilitas Intermediate Treatment Facility (ITF). "Itu sama saja mengajarkan masyarakat tidak baik. Mana ada sampah dibakar?" katanya.
Hal lain adalah perkara pengangkutan sampah. Petugas kebersihan, katanya, kerap asal mengangkut sampah dan menyatukannya ke mobil pengangkut, padahal ada masyarakat yang telah memilahnya menjadi sampah organik dan non-organik. "Kalau kayak gitu sama saja bohong," katanya menegaskan.
Perhatikan Limbah Medis
Sementara Ketua Koalisi Persampahan Nasional (KPNas) Bagong Suyoto mengingatkan soal limbah medis yang tercampur dengan limbah rumah tangga. Di Cina, tempat virus pertama kali ditemukan, pemerintahnya tengah memutar otak bagaimana mengolah limbah-limbah yang semakin menumpuk ini.
Sangat mungkin ada limbah medis yang berasal dari rumah karena saat ini ada banyak masyarakat yang berstatus Orang Dalam Pemantauan (ODP) dan Pasien Dalam Pengawasan (PDP) yang melakukan karantina mandiri. Barang-barang yang mereka pakai, termasuk masker, botol obat, dan tisu, dikategorikan limbah medis. Tentu orang yang paling pertama terdampak adalah petugas kebersihan
"Pemprov DKI harus mengelola sampah sesuai dengan prosedur, agar sampah biasa dan limbah medis tidak tercampur," kata Bagong kepada reporter Tirto.
Prosedur yang dimaksud adalah Surat Edaran No. SE.2/MENLHK/PSLB3/PLB.3/3/2020 Tentang Pengelolaan Limbah Infeksiksius (Limbah B3) dan Sampah Rumah Tangga dari Penanganan Corona Virus Disease (COVID-19) yang dikeluarkan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan.
Selain mengatur bagaimana limbah yang berasal dari fasilitas kesehatan, peraturan ini juga berisi sejumlah hal yang perlu diperhatikan masyarakat dalam menangani limbah yang berasal dari rumah tangga. Sampah-sampah jenis ini mesti dipisahkan. Pemerintah pusat juga meminta masyarakat menggunakan masker yang dapat dicuci untuk mengurangi timbunan sampah masker.
"Enggak ada pemilahan sehingga enggak ketahuan. Pas pengangkutan enggak ada pemilahan juga," katanya.
Andono Warih mengakui bahwa limbah medis saat ini "juga banyak timbul dari rumah tangga."
Mengomentari kerentanan para petugas kebersihan, Wakil Kepala Dinas Lingkungan DKI Jakarta Syaripudin mengatakan kalau mereka telah membuat prosedur keselamatan lewat Instruksi Kepala Dinas Lingkungan Hidup DKI Nomor 30 Tahun 2020. Petugas lapangan, misalnya, diwajibkan menggunakan alat pelindung diri.
Pada foto yang diunggah laman resmi Dinas Lingkungan Hidup DKI, APD yang dimaksud adalah jas hujan, sepatu, sarung tangan, serta masker.
Para petugas juga diwajibkan "selalu mencuci tangan sebelum dan sesudah melaksanakan tugas," kata Syaripudin kepada reporter Tirto.
Sejauh ini ia mengaku "tidak ada kendala berarti" dari petugas memungut sampah hingga mengirimnya ke Bantargebang, Bekasi.
Penulis: Riyan Setiawan
Editor: Rio Apinino