Menuju konten utama

Mengulik Masa Lalu, Mencari Lukisan Gua Prasejarah Indonesia

Gambar cadas di Indonesia telah dilaporkan keberadaannya sejak abad ke-17, tepatnya di Papua. Sejak itu pencariannya terus dilakukan.

Mengulik Masa Lalu, Mencari Lukisan Gua Prasejarah Indonesia
Header Mozaik Lukisan Dinding Gua. tirto.id/Quita

tirto.id - Ada banyak tinggalan dari masa prasejarah di Indonesia. Salah satu di antaranya adalah lukisan atau gambar yang terdapat dalam gua atau tebing, dikenal juga sebagai lukisan cadas, gambar cadas, atau rock art.

Gambar cadas di Indonesia telah dilaporkan keberadaannya sejak abad ke-17, tepatnya di Papua. Menurut Karina Arifin dalam “Lukisan Batu Karang di Indonesia Suatu Evaluasi Hasil Penelitian” (1992, hlm. 21-23), orang yang dianggap pertama kali menuliskannya adalah “pedagang yang bernama Johannes Keyts.” Dia mencatatnya “dalam perjalanannya dari Banda ke New Guinea pada 1678.”

Catatan serupa datang dari J. Roder. Dia menulis di beberapa artikel, misalnya “Felsbilder Auf Ceram” yang terbit di jurnal Paideuma: Mitteilungen zur Kulturkunde (Juni 1938), “Felsbildforschung auf West-Neuguinea” (Desember 1938), dan “Rock-Pictures and Prehistoric Times in Dutch New Guinea” di jurnal Man (November 1939).

Harry Widianto, Karina Arifin, R. Cecep Eka Permana, dkk. dalam Gambar Cadas Prasejarah di Indonesia (2015, hlm. 40) mengatakan tulisan-tulisan Roder lalu mengilhami beberapa ahli untuk turut serta mengkaji gambar-gambar cadas di Papua. Beberapa di antaranya “W. J. Cator, G. L. Tichelman, dan K. W. Galis. W. J. Cator termasuk orang pertama yang tertarik meneliti gambar cadas di Papua.”

Tersebar di Banyak Tempat

Gambar cadas tersebar di banyak wilayah. Di Sulawesi, gambar cadas terdapat di kawasan karst Maros-Pangkep, Bone, Danau Towuti, dan di Pulau Muna.

Di Kalimantan, gambar cadas dapat ditemui di kawasan karst Sangkulirang-Mangkalihat dan di Sabah serta Sarawak.

Di Papua, gambar cadas tersebar di Misool, Teluk Berau, Kaimana, Tutari, Biak Numfor, dan Keerom.

Di Maluku, kita dapat menemukan gambar cadas di Pulau Seram, Kepulauan Kei, Pulau Buru, dan Pulau Kisar.

Bergeser ke selatan, di Nusa Tenggara, ada gambar cadas di Pulau Flores. Gambar cadas juga dapat ditemukan di bekas provinsi Indonesia yang sekarang menjadi negara berdaulat, Timor Leste.

Di pulau paling barat, Sumatra, gambar cadas terekam di Gua Harimau.

Bagaimana dengan Jawa? Keberadaannya “sejauh ini dilaporkan pada sebuah gua di wilayah Nusakambangan, namun masih memerlukan pengamatan untuk kepastiannya,” terang arkeolog senior Truman Simanjuntak dalam buku Manusia-Manusia dan Peradaban Nusantara (2021, hlm. 147).

Gambar cadas di Sulawesi dan Kalimantan sering disebut sebagai bagian dari gambar cadas tertua di dunia. Usianya diperkirakan antara 35 ribu hingga 51 ribu tahun.

Riwayat Kajian di Sulawesi

Mari kita menukik lebih dalam ke gambar cadas di beberapa daerah. Dimulai dari Sulawesi Selatan. Di sana gambar cadas tersebar di wilayah karst Maros-Pangkep yang masuk ke dalam Kabupaten Maros dan Pangkajene Kepulauan.

“Ada puluhan gua dan lukisan (gambar cadas) yang ada di Kabupaten Maros, yang mungkin jumlahnya akan bertambah berdasarkan hasil penelitian,” ungkap Laode M. Aksa dalam “Taman Arkeologi Leang-Leang Maros, Rencana Konseptual dan Implementasi” yang dimuat pada Buletin Sumba Opu (Vol. 23, No. 27, 2020, hlm. 87).

Salah satu lokasi temuan gambar cadas yang ada di kawasan tersebut adalah Taman Arkeologi Leang-Leang yang di dalamnya terdapat Leang Pettae, Leang Pettakere, dan leang lain di sekitarnya. Leang sendiri berarti gua.

Keberadaan gambar cadas di sana mulai diketahui pada awal 1900-an, tepatnya ketika naturalis Paul dan Fritz Sarasin melakukan ekspedisi. “Meskipun laporan keduanya sering dianggap spekulatif, tetapi setidaknya telah membuka mata peminat atau peneliti gua-gua prasejarah di Sulawesi Selatan selanjutnya,” catat Iwan Sumantri dalam bukunya Kepingan Mozaik Sejarah Budaya Sulawesi Selatan (2004, hlm. 21-22) yang dikutip Harry Widianto, dkk.

Keberadaan gambar-gambar cadas lain yang ada di kawasan itu perlahan terungkap sejak awal dekade 1950-an, saat beberapa ahli mulai melakukan kajian lebih mendalam.

“Pada 26 Februari, saat ekskavasi pertama, C. H. M. Heeren-Palm menemukan beberapa gambar dalam berbagai bentuk,” terang van Heekeren dalam The Stone Age of Indonesia (1972, hlm. 118).

Tak lama setelah temuan di Leang Pettae itu, van Heekeren juga menemukan gambar di leang lain, seperti Leang Burung, Leang Jarie, Leang Tambattorang, dan Leang Pettakere yang lokasinya cukup dekat.

Beberapa objek yang digambar di sana adalah babi rusa dan telapak tangan manusia.

Kajian van Heekeren berlangsung dari 17 Februari hingga 5 April 1950. “Kajian tidak dapat dilakukan lebih lama karena kondisi Sulawesi Selatan saat itu yang tidak kondusif,” tambah van Heekeren. Kondisi yang dimaksud ditengarai terkait dengan peristiwa pemberontakan Andi Azis.

Kajian kembali dilakukan 19 tahun kemudian atau pada tahun 1969 oleh Pusat Penelitian Purbakala dan Peninggalan Nasional bersama dengan Australian National University. Penelitian terus berlanjut sampai tahun 1970-an, 1980-an, 1990-an, hingga memasuki abad ke-21.

Dari beberapa penelitian terakhir, ditemukanlah salah satu gambar cadas tertua di dunia. Kesimpulan ini didapat setelah Pusat Arkeologi Nasional, Balai Arkeologi Makassar, Balai Pelestarian Peninggalan Prasejarah Makassar, University of Wollongong, dan Griffith University melakukan penelitian pada 2011 hingga 2013.

“Salah satu di antaranya, gambar cap tangan, berumur 39.900 tahun; dan lainnya berupa babi rusa berumur 35.000 tahun. Temuan ini sangat penting sebagai salah satu gambar cadas tertua di dunia,” terang Truman Simanjuntak (2021, hlm. 87).

Penelitian lanjutan kemudian dilakukan pada tahun 2017 oleh tim gabungan dari Pusat Penelitian Arkeologi Nasional, Kemendikbud, dan Griffith University. Pada Desember, ditemukan gambar cadas lain di Leang Bulu Sipong 4, masih berada di Maros. “Pada bagian dinding gua ditemukan gambar yang ditafsirkan sebagai theriantropik yang sedang memburu beberapa mamalia endemik seperti babi rusa dan anoa,” jelas Maxime Aubert, Rustan Lebe, Adhi Agus Oktaviana, dkk. dalam “Earliest Hunting Scene in Prehistoric Art” yang dimuat Nature (Vol. 576, Desember 2019, hlm. 2).

Dari hasil penanggalan tim peneliti, diketahui gambar cadas di Leang Bulu Sipong 4 berusia antara 35.100 sampai 43.900 tahun.

Gambar cadas juga hadir di Sulawesi Tenggara, tepatnya di Pulau Muna. Keberadaannya diketahui sejak paruh akhir 1970-an. Kajian pertama terhadap gambar cadas ini dilakukan oleh E. A. Kosasih.

Gambar cadas di Pulau Muna tersebar di beberapa gua dan ceruk seperti Gua Metanduno, Gua Kobori, Ceruk Tangga Ara, Ceruk La Sabo A Kobori, dan Ceruk La Sabo B. Dari beberapa gua dan ceruk itu, gambar cadas di Gua Metanduno-lah yang paling banyak ditemukan jenisnya. “Gambar paling banyak ditemukan di Gua Metanduno berupa motif manusia, kuda, rusa, babi, anjing, ular, lipan, perahu, dan matahari. Sedangkan di gua lain terdapat gambar musang dan penunggang kuda,” terang Harry Widianto, dkk (2015, hlm. 54-55).

Riwayat Kajian di Kalimantan

Sekarang beralih ke Kalimantan. Gambar cadas di pulau ini berada di kawasan Karst Sangkulirang-Mangkalihat, Kalimantan Timur.

Keberadaan gambar cadas di Kalimantan Timur ini baru diketahui pada tahun 1994. Sebelumnya, gambar cadas hanya diketahui ada di bagian Kalimantan yang masuk ke dalam wilayah Malaysia. “Penelitian yang dilakukan oleh Tom Harrisson (1957, 1958) dan Peter Belwood (1988, 2000) masih terbatas di wilayah Serawak dan Sabah, di Malaysia bagian timur,” ungkap Gunadi Kasnowihardjo dalam “Gambar Cadas Kalimantan Timur: Satu Bukti Seni Lukis Kutai Purba” dalam Berkala Arkeologi (Vol. 2, No. 2, 2008).

INfografik Mozaik Lukisan Dinding Gua

INfografik Mozaik Lukisan Dinding Gua. tirto.id/Quita

Pencarian dan kajian gambar cadas di Kalimantan Timur baru dilakukan pada dekade 1990-an. Yadi Mulyadi dalam “Distribusi dan Sebaran Situs Gambar Cadas di Indonesia: Sintesis Penelitian” yang terbit dalam Prosiding Seminar Antarbangsa. Arkeologi, Sejarah, Budaya, dan Bahasa di Alam Melayu Nusantara (ASBAM) V, Makassar (Juli 2016, hlm. 2) menyebut risetnya dimulai oleh “peneliti dari Prancis yang bekerja sama dengan peneliti Indonesia, salah satunya Pindi Setiawan.”

Gambar cadas pertama di Sangkulirang-Mangkalihat ditemukan di Gua Mardua. Setelah itu kajian lebih intensif mulai dilakukan. Total, gambar cadas di wilayah ini terdapat di 31 situs.

Selain gambar cadas, juga ditemukan tinggalan lain berupa situs kubur dan hunian.

Gambar-gambar ini bentuknya beragam, dari mulai telapak tangan, berbagai binatang, dan orang dengan beragam persona seperti dukun dan pahlawan.

Ditemukan juga gambar perahu berdayung. “Menariknya, gambar perahunya berdasar dari masa yang berbeda, ada gambar perahu berdayung, perahu berlayar tunggal, berlayar jamak, perahu Eropa, kapal uap, dan sosok manusia di atas perahu,” kata Harry Widianto, dkk (2015, hlm. 351).

Kajian tentang usia gambar kemudian dilakukan. “Dari analisis yang dilakukan terhadap gambar binatang dan telapak tangan yang ada di Gua Jeriji Saleh, menghasilkan angka dari 37.200 tahun, 40.000 tahun, dan 51.800 tahun,” ungkap Maxime Aubert, Pindi Setiawan, Adhi Agus Oktaviana, dkk. dalam “Palaeolithic Cave Art in Borneo” yang terbit dalam Nature (Vol. 564, November 2018, hlm. 254). Itu berarti, gambar cadas yang ada di Gua Jeriji Saleh menjadi salah satu gambar cadas tua yang ada di Indonesia bahkan dunia.

Lalu apa sebenarnya arti dari gambar-gambar cadas ini? Secara umum, maknanya tidak seragam.

Dalam “Lukisan Dinding Gua sebagai Salah Satu Unsur Upacara Kematian” yang terbit pada Berkala Arkeologi (Vol. 6, No. 1), arkeolog senior Daud Aris Tanudirjo menulis beberapa arti dan fungsi yang diungkap oleh para ahli seperti Heekeren (1972), Roder (1956), dan Soejono (1963). “Sampai saat ini banyak pendapat yang menghubungkan lukisan dinding gua dengan magi perburuan, penolak bala, upacara inisiasi, dan kesuburan,” catat Tanudirjo.

Baca juga artikel terkait PRASEJARAH atau tulisan lainnya dari Omar Mohtar

tirto.id - Sosial budaya
Kontributor: Omar Mohtar
Penulis: Omar Mohtar
Editor: Rio Apinino