tirto.id - Saat Negara Indonesia Timur (NIT) bentukan van Mook masih eksis, pada 1948 arkeolog C.J.H. Franssen melakukan ekskavasi di Sulawesi Selatan. Kegiatan itu dilakukan tidak jauh dari ibu kota NIT, sebab di luar wilayah tersebut kondisinya oleh Belanda dianggap tidak aman.
“Letaknya 39-40 kilometer dari jalan raya Maros ke Bantimurung, dekat lapangan tembak polisi. Gundukan kerang Leang Lampoa sebagian besar tertutup lapisan tanah,” tulis Franssen yang dipublikasikan dalam jurnal Tijdschrift Bataviaasch Genootschap No. 83, Tahun 1949, yang berjudul "Bijdrage tot de kennis van het Toaliaan op Zuid Celebes" (1949:331).
Gundukan kerang—yang biasa disebut Kjokkenmoddinger alias sampah dapur—yang tertutup tanah itu harus dibersihkan dulu sebelum diteliti. Banyak nama tempat di daerah tersebut, terutama perbatasan Maros-Pangkajene Kepulauan (Pangkep), memakai nama depan Leang, yang artinya liang, gua, atau lubang.
“Dia mengungkap budaya terkait dengan Toalean Industry (kebudayaan Toala)," tulis HR van Heekeren dalam The Stone Age of Indonesia (1957:101), mengomentari hasil penelitian Franssen.
Kebudayaan Toala adalah Zaman Batu Pertengahan, suatu periode dalam perkembangan teknologi manusia. Salah satu alat yang telah hadir pada zaman itu adalah mata panah batu berduri atau bersayap.
Menurut Heekeren, hal lain yang ditemukan Franssen adalah sejumlah cap tangan di sebuah kompleks gua di dekat Saripa, yang kemudian tempat iotu dikenal sebagai Leang Jarie.
“Berdasar laporan ini, van Heekeren melakukan suatu penyelidikan di gua tersebut, bersama dengan Franssen dan ditemukan cap-cap tangan sebanyak 29 buah, yang terdiri dari 4 kelompok,” tulis Nugroho Notosusanto dan kawan-kawan dalam Sejarah Nasional Indonesia I (1993:162).
Di antara lukisan dinding itu, ada yang tapak tangannya berlatar belakang warna merah. Lukisan dinding juga kemudian ditemukan di Leang Lambatorang dan Leang Pattae Kere. Di gua terakhir, terdapat lukisan babirusa yang distilir dengan cap-cap tangan. Gambar babirusa ada yang panjangnya mencapai satu meter.
Selain Franssen, orang yang melihat gambar-gambar purba di gua kawasan itu adalah C.H.M. Heeren Palm. Menurut HR van Heekeren, dalam penggalian di Leang Pettae pada 26 Februari 1950, Palm menemukan sejumlah cap tangan dengan latar belakang merah di bagian terdalam gua. Diduga itu adalah cap tangan perempuan sebelah kiri.
Lukisan itu dibuat dengan merentangkan jari-jari di dinding gua lalu ditaburi cat merah. Di Leang Pettae pula, terdapat lukisan dinding bergambar babirusa yang sedang melompat dengan panah menembus jantungnya.
Tempat penelitian lukisan di dinding gua oleh para arkeolog Eropa itu berada di sekitar perbukitan karst yang merupakan bagian dari Taman Nasional Bantimurung Bulusaraung. Desa terdekat dan terpopuler di sekitar gua-gua itu adalah Leang-leang. Pada masa silam, lebih dari puluhan ribu tahun lalu, daerah ini diperkirakan adalah pantai. Hal ini terlihat dari adanya tumpukan kerang.
“Kerajaan Kupu-kupu” yang dulu pernah disaksikan Alfred Russel Wallace saat ia singgah di Maros, letaknya tidak jauh dari tempat lukisan-lukisan pada dinding gua di Leang-leang. Daerah ini memang dipenuhi banyak serangga yang biasanya terbang di antara tanaman padi yang terbentang luas di sekitar Bantimurung.
Selain di Sulawesi Selatan, lukisan purba ternyata terdapat pula di Pulau Seram yang ditemukan pada tahun 1937. Terdapat sekitar 100 goresan sederhana di pulau itu. Sementara di daerah Muna, Sulawesi Tenggara, ditemukan lukisan purba di Goa Lasabo, Tangga Ara, Metanduno, dan Kobori. Begitu juga di Kepulauan Kei, Maluku Tenggara.
Namun, lukisan-lukisan pada dinding gua di sekitar Maros dan Pangkejene Kepulauan banyak yang menganggapnya sebagai lukisan tertua di dunia.
Penelitian terhadap gua-gua purba itu terus berlanjut, tak berhenti pada van Heekeren, Palm, dan Franssen. Baru-baru ini, lukisan babi kutil (Sus celebensis) ditemukan di Leang Tedonge. Hal ini berdasarkan penelitian para arkeolog dua negara--kerjasama Pusat Penelitian Arkeologi Nasional dan Universitas Griffith Australia. Lukisan babi kutil itu diperkirakan dibuat pada 45.500 tahun yang lalu. Angka itu menunjukan bahwa lukisan dinding di sekitar Maros termasuk lukisan tertua di dunia.
Editor: Irfan Teguh