tirto.id - Tagihan listrik sejak tiga bulan terakhir atau selama pandemi COVID-19 naik signifikan meski PT Perusahaan Listrik Negara (PLN) mengklaim tidak ada kenaikan tarif. Namun faktanya konsumen tetap membayar lebih disbanding bulan-bulan sebelumnya.
Dewi (36 tahun), salah satu warga Kecamatan Kalasan, Sleman, DI Yogyakarta misal. Ia mengaku tagihan listrik di rumahnya mengalami kenaikan konsisten sejak April hingga Juni 2020. Dewi merupakan pelanggan PLN 900 watt –tidak termasuk konsumen yang dapat subsidi—akibat pandemi Corona.
“Tagihan listrikku abonemen naik terus tiap bulan sejak WFH [work from home]. Padahal pemakaian kayanya sama aja. Sebelum WFH tagihan listrik maksimal Rp180 ribu,” kata Dewi kepada reporter Tirto, Rabu (17/6/2020).
Namun sejak pandemi, kata Dewi, tagihan listriknya naik setiap bulannya. Pada April ia harus membayar tagihan sebesar Rp282 ribu, naik menjadi Rp300 ribu pada Mei, dan menjadi Rp309 ribu di Juni.
Keluhan serupa diungkapkan pasangan orang tua Razak (75 tahun) dan Hana (68 tahun). Razak dan Hana yang sehari-hari beraktivitas dan tinggal di rumah mengalami kenaikan tagihan listrik sampai Rp180 ribu.
“Biasanya maksimal itu Rp130 ribu, tapi awal Juni tagihan listrinya lebih dari Rp180 ribu, padahal kami sehari-hari sebelum wabah di rumah dan enggak ada tambahan barang [elektronik] lain, paling TV, lampu, kulkas sesekali pakai mesin cuci,” kata Razak kepada reporter Tirto.
Naiknya tagihan listrik PLN pun jadi polemik, bahkan pada Rabu (17/6/2020) dalam Rapat Dengar Pendapat (RDP) dengan Komisi VII DPR RI, Direktur Utama PT PLN (Persero) Zulkifli Zaini dicecar habis-habisan.
Anggota Komisi VII dari Fraksi PKB Ratna Juwita Sari misal menyebut PLN telah merugikan masyarakat. “Kejadian ini telah merugikan masyarakat setidaknya dari segi psikologis ekonomis," kata dia.
Sementara anggota Komisi VII DPR dari Fraksi PKS Mulyanto yang mengemukakan, rasa kecewa dengan kinerja PLN yang dinilai tidak profesional.
“Tidak jauh-jauh hari diberitahu masyarakat, sehingga masyarakat nggak kaget," kata dia mengkritik.
Anggota Komisi VII lainnya dari Fraksi Partai Demokrat Sartono mengatakan sebelum pembatasan sosial berskala besar (PSBB) seharusnya PLN menyampaikan kepada masyarakat terkait potensi melonjaknya tagihan akibat pemakaian yang lebih dari biasanya karena WFH.
“Woro-woro lah bahwa ini permasalahan COVID-19 ini sangat berdampak pada kinerja PLN khususnya pada pencatatan, misalnya bahwa kemungkinan terjadi kenaikan karena pencatat tidak bisa langsung mencatat jumlah meteran itu, ini kan terkaget, kita semua kaget tentang hal tersebut,” kata dia.
Dalih Dirut PLN
Dirut PLN Zulkifli Zaini berdalih lonjakan tagihan listrik pada rekening pelanggan periode Juni karena adanya selisih nilai penagihan dari bulan Mei.
Menurut dia, pada Mei, tagihan listrik pelanggan dihitung berdasarkan angka rata-rata tagihan listrik 3 bulan terakhir. Ini dilakukan karena petugas tak bisa melakukan pencatatan langsung ke rumah-rumah pelanggan akibat penerapan PSBB.
Namun setelah dilakukan pencatatan aktual, kata Zulkifli, ternyata tagihan pada Mei lebih besar dari yang ditagihkan ke pelanggan.
“Pencatatan pada Mei secara aktual menghasilkan kenaikan yang signifikan pada sebagian pelanggan akibat pola konsumsi dan aktivitas pelanggan yang lebih sering berada di rumah sepanjang hari selama pertengahan April sampai Juni,” kata dia dalam RDP dengan Komisi VII DPR.
Karena itu, kata dia, terjadi perbedaan realisasi konsumsi dengan penagihan yang dihitung secara rata-rata tiga bulan. Sebagian besar realisasi lebih besar dari apa yang ditagihkan, kata Zulkifli.
Ia menjelaskan, selisih tersebut kemudian ditagihkan kepada konsumen pada Juni setelah PLN telah mencatat tagihan riil melalui petugas catat meter dan laporan mandiri pelanggan melalui pesan WhatsApp.
“Akhirnya ditagihkan Juni. Untuk mengatasi keluhan pelanggan yang mengalami lonjakan tagihan, PLN mengambil kebijakan skema angsuran untuk pelanggan yang mengalami kenaikan di atas 20 persen," jelas dia.
Ia menjelaskan, langkah tersebut dilakukan sebagai relaksasi agar masyarakat tidak terlalu terbebani dengan tekanan ekonomi akibat aktivitas yang terhambat selama pandemi.
Direktur Eksekutif Institute for Essential Services Reform (IESR) Fabby Tumiwa menilai skema rata-rata untuk menentukan tagihan listrik seperti apa yang dilakukan PLN sebenarnya sudah tepat.
“Metode rata-rata untuk tagihan listrik adalah satu metode yang sudah lazim digunakan di beberapa perusahaan listrik di dunia. Negara lain gak ada catat meter, itu hanya dilakukan 6 bulan -1 tahun sekali. Jadi pembayaran dilakukan dengan metode estimated konsumsi itu biasa diperhitungkan dari historinya bisa penggunaan listrik 3-6 bulan terakhir,” kata Fabby saat dihubungi reporter Tirto.
Fabby mengatakan masyarakat kurang menyadari, bahwa naiknya tagihan listrik berasal dari konsumsinya sendiri. Hal ini karena selama WFH, konsumen lebih banyak menggunakan listrik dibandingkan sebelum pandemi.
“Masyarakat tidak sadar sudah naikkan konsumsi listrik di rumah, mulai pakai pemanas air, kompuer, AC, pompa air, lampu, TV. Kalau dihitung-hitung penggunaan konsumsi listrik selama masyarakat ada di rumah dayanya bisa 2-3 kali lipat,” kata dia.
Sayangnya, kata Fabby, PLN tidak melakukan sosialisasi secara baik, termasuk skema tagihan rata-rata yang dijelaskan dirut PLN. Akibatnya, kata Fabby, masyarakat kaget karena tiba-tiba tagihan membengkak, padahal pemerintah tidak menaikkan TDL.
“Intinya adalah ada krisis kepercayaan, dari sisi komunikasi publik terhadap PLN dalam hal tagihan listrik ini. Harusnya ada pihak yang memberikan klarifikasi. Yang seharusnya melakukan klarfikasi itu bukan PLN, harusnya Dirjen ketenaga listrikan Kementerian ESDM,” kata Fabby.
Hal senada diungkapkan pengamat energi dari Universitas Gajah Mada (UGM) Yogyakarta Fahmi Radi yang menyebut kesalahan fatal PLN hanya soal sosialisasi.
“Nah karena tidak ada sosialisasi tadi, maka konsumen terkaget-kaget kan,” kata dia saat dihubungi reporter Tirto.
Meski sudah terlambat, kata Fahmi, skema PLN untuk memberikan relaksasi pada konsumen dengan cara cicil tagihan perlu diapresiasi. Meski skema tersebut membebani keuangan PLN, ia melihat itu menjadi cara PLN meminta maaf kepada konsumen.
“Jadi pembengkakan tagihan bulan Juni bisa diangsur selama 3 bulan. Penggunaan kebijakan angsuran ini juga sudah sesuai dengan standar internasional. Hanya memang kesalahan PLN itu tidak memberikan sosialisasi sebelumya. Itu fatal sekali,” kata dia.
Reporter Tirto menghubungi Dirjen Ketenagalistrikan (Gatrik) Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), Rida Mulyana soal masalah ini. Namun hingga artikel ini rilis, ia belum memberikan respons sama sekali.
Penulis: Selfie Miftahul Jannah
Editor: Abdul Aziz