Menuju konten utama

Mengorek yang Terjadi di Pernikahan Bawah Umur "Zaman Now"

Persoalan pernikahan bawah umur tak hanya masalah pencegahan, tapi juga ihwal kepedulian masyarakat dalam pemberdayaan anak yang sudah telanjur menikah dini.

Mengorek yang Terjadi di Pernikahan Bawah Umur
Ilustrasi pernikahan dini. Getty Images/iStockphoto

tirto.id - Dunia maya sering dihebohkan dengan informasi dan foto-foto pernikahan bawah umur atau anak. Respons masyarakat umumnya beragam yang memunculkan pro dan kontra. Pernikahan bawah umur memang masih jadi persoalan yang masih terjadi di masyarakat Indonesia.

Anggapan pernikahan bawah umur terjadi karena desakan ekonomi atau dorongan orang tua tak sepenuhnya benar. Ada banyak faktor lain yang menentukan pernikahan bawah umur bisa terjadi.

Dalam diskusi bertajuk “Child, Early, and Forced Marriages in Indonesia: Impact and Counter Measures” yang digelar Pusat Kajian Antropologi Universitas Indonesia dan Leiden University, Jumat (9/3/2018), antropolog Mies Grijns mengatakan sekarang pernikahan anak cenderung dilatarbelakangi alasan suka sama suka.

Mies mengatakan pernikahan anak juga terjadi karena keinginan menghindari kekerasan rumah tangga yang melibatkan orangtua. Ada pula yang melakukannya karena ditelantarkan oleh orangtua atau ditinggal ke luar kota/negeri. Agar pemenuhan kebutuhan hidup mencakup materi atau sosial, seseorang bisa melakukan pernikahan anak.

Argumentasi tersebut menurut Mies berasal dari risetnya di kawasan Sukabumi sejak 2014 hingga 2017. Kandidat doktor di Van Vollenhoven Institute, Leiden University ini mengatakan pernikahan anak tak cuma dilakukan masyarakat pedesaan tapi juga merambah ke masyarakat perkotaan.

Mies juga melansir data Survei Sosial Ekonomi (Susesnas) pada 2013, ada 13,6% perempuan usia 20 tahun sampai 24 tahun saat disurvei telah menikah di bawah usia 18 tahun dan masih mempertahankan rumah tangganya. Namun, bila digabungkan dengan yang sudah bercerai, pernikahan perempuan di bawah usia 18 tahun mencapai 24,17%. Jumlah ini memang cukup tinggi, apalagi bila menilik data UNICEF 2017 yang menempatkan Indonesia sebagai negara dengan peringkat ketujuh dalam hal pernikahan anak di dunia.

Mies mengatakan persoalan pernikahan anak sebaiknya tidak saja diarahkan ke upaya pencegahan, tapi juga kepedulian terhadap pemberdayaan anak yang sudah telanjur menikah.

“Proteksi anak sangat penting, tetapi perlindungan anak juga harus diteruskan kepada mereka yang sudah menikah. Anak-anak usia belasan tahun yang sudah menikah sangat butuh empowerment. Mereka harus dididik, didukung, dan dibantu,” kata Mies.

Bagi Wakil Dekan Fisip UI Dody Prayogo studi-studi tentang pernikahan anak sebaiknya tidak lagi berfokus pada pertanyaan mengapa hal itu bisa terjadi. Ia memandang studi tentang pernikahan bawah umur seharusnya mengarah ke solusi-solusi yang bisa dilakukan. Persoalan pernikahan di bawah umur, bukanlah masalah masa kini, tapi sudah terjadi sejak lama.

Wacana penolakan perkawinan anak sudah diangkat sejak Kongres Perempuan I pada 1928. Lebih dari 89 tahun setelahnya, praktik-praktik perkawinan anak masih sering terjadi di berbagai tempat di Indonesia, meski kini terdapat pola baru.

Pola Lain dalam Fenomena Pernikahan Anak

Pernikahan anak sering kali didorong oleh faktor desakan orangtua atau tokoh masyarakat dengan alasan budaya atau agama. Posisi tawar pemuka agama yang jauh lebih besar ada kalanya membuat orangtua tidak berdaya menolak sarannya untuk segera menikahkan anak. “Temuan kami di Rembang menunjukkan para pemuka agama berperan sebagai match maker dan menggunakan alasan agama untuk melanggengkan pernikahan anak,” kata Ida Ruwaida Noor dari Pusat Kajian Gender dan Seksualitas (Genseks) UI

Dari segi budaya, di Lombok ada tradisi, ketika anak perempuan pulang larut malam, keesokan harinya ia mesti dinikahkan. Dalam FGD dengan informan dari Lombok, Ida mendapat cerita tentang seorang ayah yang berusaha mengabaikan tradisi tersebut karena ingin anaknya tetap bersekolah sampai lulus. “Suatu hari, ada anak perempuan yang dibawa pergi pasangannya. Ayahnya langsung mencari dan menjemput anaknya kemudian. Dia tidak mau mengikuti aturan adat untuk menikahkan anaknya setelah kejadian itu karena anak perempuannya itu satu-satunya di keluarga yang bersekolah sampai SMA. Si Ayah berharap anaknya mau pulang dan lanjut sekolah sampai lulus, tetapi saat dijemput, anaknya malah menolak,” kisah Ida.

Inisiatif anak untuk memutuskan menikah dini menjadi pola lain yang muncul di tengah tren nikah atas paksaan. Dalam kasus lain yang ditemukan Ida, terdapat alasan ingin menghindari ujian sekolah yang dikemukakan salah satu anak yang menikah ketika duduk di bangku kelas 2 SMA.

Keinginan anak untuk nikah dini ini menjadi salah satu pendorong munculnya pasangan-pasangan remaja yang jumlahnya lebih banyak jika dibanding dengan beberapa dekade silam. Pernikahan pasangan remaja juga dikaitkan dengan kehamilan tidak diinginkan yang kembali lagi bersinggungan dengan norma kesusilaan yang berlaku.

Selain soal munculnya inisiatif anak, diskusi publik yang bertempat di FISIP UI, Depok ini juga mengangkat wacana perceraian anak. Ida mengatakan, sejumlah remaja di Sukabumi yang pernah bercerai di bawah usia 18 tahun biasanya memilih bermigrasi ke kota lain. Akibatnya, anak-anak yang lahir dari pernikahan bawah umur mesti dititipkan kepada kakek-nenek bocah tersebut di kampung.

Perceraian anak ini menimbulkan berbagai dampak bagi orang-orang yang terlibat di dalamnya. My, narasumber Ida dari Rembang, mengaku bahagia dan bebas setelah bercerai. Pengalaman sebaliknya dirasakan oleh, En (17 tahun) yang menyatakan ia merasa malu sesudah bercerai dan tidak mau keluar rumah.

Solusi dari Berbagai Sisi

Pada 2015 lalu, upaya mencegah pernikahan anak melalui judicial review batas usia minimal menikah sempat dilakukan, tetapi hasilnya nihil. MK menolak judicial review dengan alasan mulai dari perkawinan adalah hak setiap orang yang tidak boleh dibatasi, negara hanya mengakomodasi perintah agama, tidak ada jaminan bahwa perubahan batas usia akan berdampak positif, lebih baik membawa wacana ini ke tataran legislatif, hingga mencegah kemudaratan.

UU Perlindungan Anak juga sudah mencantumkan sejumlah hak anak termasuk dalam menyatakan pendapatnya (pasal 10), dan kewajiban bagi orangtua untuk mencegah pernikahan anak (pasal 26). Namun, berbicara soal hak dalam konteks Indonesia dirasa masih kurang efektif bagi Ida. Di sini, anak lebih banyak dilekatkan dengan kewajiban dibanding hak, tidak terkecuali kewajiban untuk mengikuti kehendak orangtua menikah dini.

Meski demikian, menurut Ida, pencarian solusi dari sisi struktural tetap harus dilakukan. "Orang Indonesia, kalau tidak ada hitam di atas putih, susah berubah," komentar dia. Seiring dengan itu, solusi dari aspek budaya juga bisa dilakukan dengan melibatkan laki-laki di dalamnya dengan strategi tertentu. “Kalau kita sosialisasi, jangan pakai judul sosialisasi gender, yang datang perempuan semua,” kata Asisten Dekan bidang Riset, Publikasi ilmiah, dan Pengabdian Masyarakat di FISIP UI ini.

------------------------

Catatan:

Naskah ini telah mengalami penyuntingan minor ihwal penyelarasan kata-kata dan subtopik.

Baca juga artikel terkait PERNIKAHAN DINI atau tulisan lainnya dari Patresia Kirnandita

tirto.id - Sosial budaya
Reporter: Patresia Kirnandita
Penulis: Patresia Kirnandita
Editor: Muhammad Akbar Wijaya