tirto.id - Badan Pajak dan Retribusi Daerah (BPRD) DKI Jakarta akan menaikkan nilai Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan (PBB-P2) bagi para pengusaha mal yang belum memiliki izin usaha. Salah satu mal yang dimaksud adalah Grand Indonesia (GI).
Kepala Bidang Perencanaan BPRD Yuandi Bayak Miko mengatakan ada 20an pusat perbelanjaan yang statusnya mirip, sehingga pajaknya juga berpotensi dinaikkan. "Masih kami evaluasi bersama dengan Dinas Citata (Cipta Karya dan Tata Ruang)," kata Miko kepada Tirto.
Sementara Kepala BPRD DKI Edi Sumantri dalam Rapat bersama Komisi C DPRD DKI beberapa waktu yang lalu mengaku "baru tahu" soal status GI tersebut.
Adapun kebijakan ini diterapkan dalam rangka menaikkan pemasukan dari PBB-P2. BPRD sebelumnya sempat mengajukan penurunan target realisasi PBB-P2, dari Rp8 triliun pada 2017 menjadi Rp7,750 triliun tahun ini. Usulan itu termuat pada Rancangan Kebijakan Umum Anggaran dan Plafon Prioritas Anggaran Sementara (KUA-PPAS) 2018.
Target tersebut justru dinaikkan menjadi Rp8,5 triliun karena realisasi pajak terus meningkat dan hampir melampaui target di akhir 2017.
Harus Ditutup
Menurut Elisa Sutanudjaja, Direktur Rujak Center for Urban Studies--think-act tank yang banyak membahas persoalan perkotaan, sanksi berupa kenaikan pajak bagi pusat perbelanjaan modern tidak lah cukup. Menurutnya, agar timbul efek jera, yang perlu dilakukan pemerintah adalah menutupnya.
"BPRD bilang begitu [menaikkan pajak] karena ranahnya memang hanya pajak dan retribusi. Tapi sebetulnya kurang, perlu ditutup itu malnya. Perlu efek jera. Kalau tidak mal lain tidak merasa takut [melanggar aturan]," kata Elisa kepada Tirto, Minggu (7/1) kemarin.
Menurutnya penaikan pajak tidak sebanding dengan pelanggaran yang dilakukan. Kalau memang yang diberlakukan demikian, maka dampaknya hanya sebatas penaikan harga komoditas yang dijual oleh para tenant (penyewa).
Pemberhentian operasi mal juga bukannya tidak ada presedennya sama sekali. Pada masa Basuki Tjahaja Purnama menjabat sebagai Gubernur DKI Jakarta, Pemprov DKI Jakarta pernah menyegel dan memberhentikan operasi mal Tebet Green pada 2015 lalu lantaran belum memiliki Sertifikat Laik Fungsi (SLF)--sertifikat yang diterbitkan Pemda yang menyatakan bahwa bangunan layak dipakai dari segi keamanan.
"[Meskipun] dia hanya berani [menutup] mal kecil sih. Kalau mal yang besar hanya pasang papan segel saja, untuk ditutup operasionalnya dia tidak berani," katanya.
Izin Usaha Pusat Perbelanjaan untuk Mal (IUPPM) diatur dalam Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 112 Tahun 2007 tentang Penataan dan Pembinaan Pasar Tradisional, Pusat Perbelanjaan, dan Toko Modern. Dalam laman pelayanan.jakarta.go.id, disebutkan bahwa salah satu syarat IUPPM adalah pengaju harus melampirkan salinan Izin Mendirikan Bangunan (IMB).
Menurut Elisa, kalau IUPPM tidak ada, maka IMB serta SLF bangunan GI juga bermasalah, atau dengan kata lain bisa disebut keberadaan bangunan itu ilegal.
"Salah satu syarat IUPP itu kan IMB. Berarti mereka belum punya IMB selama ini? Kalau tidak punya IMB berarti enggak punya SLF (syarat pengajuan SLF adalah IMB) juga. Enggak punya SLF itu, berarti selama ini tidak tahu mal itu aman atau tidak," katanya.
Penyelewengan IMB
Direktur Eksekutif Jakarta Research and Public Policy (JRPP) Muhamad Alipudin, mengatakan bahwa yang harus diselesaikan memang soal izin terlebih dulu. Ia merekomendasikan agar Pemprov DKI tidak menerbitkannya karena GI melanggar Peraturan Daerah (Perda) DKI Jakarta Nomor 2 Tahun 2002 tentang Perpasaran Swasta.
Dalam Pasal 10 ayat (e), disebutkan bahwa "usaha perpasaran swasta yang luas lantainya di atas 4.000 meter persegi harus berjarak radius 2,5 km dari pasar lingkungan."
"Sementara mal itu dekat dengan pasar tradisional," kata Alipudin kepada Tirto. GI memang sangat dekat dengan Pasar Gandaria, hanya berjarak 800 meter saja.
Alipudin kemudian membahas kasus penyelewengan IMB pengelolaan lahan milik negara di Jalan MH Thamrin, Jakarta, tempat kompleks GI berdiri. Lahan itu dikelola PT Hotel Indonesia Natour (HIN), BUMN yang pada 2002 bekerja sama dengan PT Cipta Karya Bumi Indah (PT CKBI) untuk mendirikan bangunan di sana.
Tahun 2004, muncul kontrak kerja sama dengan skema perjanjian bangun-kelola-serah (Built-Operate-Transfer/BOT) antara PT Cipta Karya Bumi Indah (CKBI) melalui anak perusahaannya, PT Grand Indonesia. Pembangunan meliputi Hotel Kempinski, Grand Indonesia West Mall dan East Mall, serta fasilitas parkir.
Namun, PT Grand Indonesia malah melakukan subkontrak lagi dengan BCA dan Apartemen Kempinski, sehingga keduanya memiliki bangunan di aset lahan milik negara itu. PT CKBI kemudian membangun dan mengelola Menara BCA dan Apartemen Kempinski yang disebut tidak ada dalam perjanjian BOT.
Akibat penyelewengan izin tersebut, Alipudin menaksir kerugian pemerintah bisa mencapai Rp1,29 triliun.
Penyelewengan kontrak pembangunan Menara BCA dan Apartemen Kempinski sempat naik hingga Kejaksaan Agung, akan tetapi pada Januari tahun lalu penyidikannya dihentikan karena dinilai bukan ranah tindak pidana korupsi.
"Kami akhirnya menyimpulkan sebagai perdata," kata Jaksa Agung HM Prasetyo ketika itu.
Adapun BOT sendiri, menurut Keputusan Menteri Keuangan Nomor 248/KMK.04/1995 jo. Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor SE - 38/PJ.4/1995, pada dasarnya adalah bentuk perjanjian antara pemegang hak atas tanah dengan investor. Umumnya pemegang hak atas tanah adalah pemerintah, sementara investor berasal dari sektor swasta.
Dalam skema ini pemegang hak atas tanah memberikan hak kepada investor untuk mendirikan bangunan selama masa perjanjian. Ketika masa perjanjian berakhir, maka investor harus mengalihkan kepemilikan atas bangunan itu kepada pemegang hak atas tanah.
Meski tidak menjelaskan keterkaitan dengan izin usaha mal yang dipermasalahkan BPRD, karena memang yang dinilai ilegal ketika itu hanya Menara BCA dan Apartemen Kempinski saja, akan tetapi Alipudin mengatakan bahwa pemerintah harusnya melakukan audit ulang secara menyeluruh. Dengan melakukan itu, maka menurutnya pemerintah dapat membuat keputusan yang lebih berimbang.
"Harusnya kalau pelanggaran serius bisa lebih tegas lagi sanksinya (tidak hanya menaikkan retribusi). Isu IMB GI sudah lama," terangnya. Hal ini, katanya lagi, terjadi karena pengawasan oleh pemerintah belum maksimal. "Semua pengawasan, tidak hanya terkait dengan pendapatan daerah saja," katanya.
Manager Public Relations PT Grand Indonesia, Dinia Widodo, menyanggah semua pernyataan. Ia mengatakan bahwa "secara logika harusnya kami sudah punya IMB sama izin usaha." Menurutnya pernyataan BPRD DKI yang bilang bahwa mereka belum punya izin usaha bisa jadi karena adanya "peraturan yang baru tiba [diterbitkan]."
"Mungkin harus bertemu juga sih sama pak Edi (Kepala BPRD DKI) untuk tahu apakah ada hal-hal yang belum kami punya," katanya kepada Tirto.
Namun Dinia tidak bisa menjawab IMB dan izin usaha apa yang ia maksud, mengingat PT Grand Indonesia membawahi beberapa divisi yang berbeda seperti shopping mall dan Kempinski.
"Kebetulan orang legalnya belum masuk," kata Dinia.
Dinia juga mengaku kalau mereka taat bayar pajak. "Masa enggak bayar, bisa 'diaduk-aduk' sama ibu Sri [Mulyani, Menkeu]. Kami soal pajak paling ketat," akunya.
Penulis: Shintaloka Pradita Sicca
Editor: Rio Apinino