tirto.id - Akhir April 2023 kemarin, publik hingga Menteri Keuangan dikejutkan dengan adanya pembelian Tanglin Mall Orchard Rd di Singapura oleh Sukanto Tanoto, salah satu orang terkaya di Indonesia.
Tanoto membeli properti tersebut seharga Rp9 triliun melalui Pacific Eagle Real Estate yang merupakan anak perusahaan di bawah naungan Royal Eagle Group miliknya.
Tidak sedikit publik yang mempertanyakan keputusan investasi jumbo yang dilakukan Tanoto. Pasalnya, bisnis real estate atau commercial real estate, seperti mal dan pusat perbelanjaan, dianggap sudah kehilangan pamornya akibat dampak dari pandemi.
Pembatasan aktivitas yang mengharuskan masyarakat diam di rumah menyebabkan penurunan jumlah kunjungan yang signifikan pada retail shopping. Inovasi kemudahan belanja online yang kian tak terbendung juga turut berkontribusi mengubah perilaku masyarakat.
Terlebih lagi, tekanan dari grocery-anchored retail centers, atau pusat perbelanjaan ritel, juga membuat harapan investasi dari pertumbuhan mal kian sempit. Namun benarkah bisnis mal akan ‘mati’? Fakta berkata lain.
Jika kita melihat secara garis besar, ternyata bisnis commercial real estate, termasuk malmasih sangat menarik untuk diperhitungkan prospeknya di masa depan. Era pandemi ternyata bukanlah penutup era dari commercial real estate.
Data dari European Public Real Estate Association (EPRA) menunjukkan adanya tren yang positif untuk pangsa pasar sektor ini pasca pandemi COVID-19. Kawasan Asia Pasifik menunjukkan pertumbuhan paling tinggi, disusul oleh kawasan Amerika Utara dan Amerika Latin.
Kondisi Mal di Singapura
Meskipun Singapura memiliki luas yang tidak berbeda jauh dengan Jakarta, tetapi jumlah pusat perbelanjaan yang terdaftar di Negeri Singa dua kali lipat lebih banyak.
Berdasarkan data Asosiasi Pengelola Pusat Perbelanjaan Indonesia (APPBI), terdapat 76 mal di Jakarta dan 20 pusat perbelanjaan. Sementara itu jika dibandingkan dengan Singapura, merujuk survei Geo Industry, terdapat 207 bangunan mal yang beroperasi saat ini.
Sayangnya, mayoritas mal yang beroperasi di Singapura menawarkan pengalaman beberlanja yang monoton. Hal ini menyebabkan para pengunjung tidak merasakan adanya kebutuhan untuk lebih sering berkunjung, meluangkan waktu lebih lama di mal atau mengeluarkan uang mereka lebih banyak lagi.
Adjunct Professor di Nanyang Business School, Dr. Lynda Wee, beranggapan serupa dan menyampaikan mal di Negeri Singa masih sangat seragam dan hanya menonjolkan arsitektur yang megah dan unik.
Dua poin yang disarankan oleh Dr. Lynda, yakni seharusnya mal memberikan wadah terbuka bagi komunitas untuk dapat berinteraksi di dalamnya, salah satunya menjadi tempat untuk menyalurkan hobi.
Melihat fakta tersebut, lantas mengapa Sukanto Tanoto memilih untuk membeli mal di Singapura?
Perlu diketahui, sejatinya tidak hanya Tanoto yang memborong mal di Singapura, perusahaan asal Hong Kong, Link Real Estate Investment Trust juga memutuskan untuk membeli dua mal sekaligus yaitu Jurong Point dan Swing By Thomson Plaza dengan nilai investasi SGD2,6 miliar atau setara Rp29,12 triliun (asumsi kurs Rp11.200/SGD)
Frasers Group Joint Venture juga turut serta ‘menebus’ mal yang ada di Singapura, yaitu NEX Shopping center seharga SGD652,5 juta atau senilai Rp7,31 triliun.
Walau Monoton Tapi Prospek Kinclong
Kendati berlandaskan “template” dan cenderung monoton, tetapi studi oleh Savills Research menunjukkan fakta yang berbanding terbalik.
Pada kuartal empat (September-Desember) 2022 jumlah kios kosong pada seluruh mal di Singapura turun ke level 7,1%. Hal ini menandai tingkat kios kosong terendah dalam tujuh tahun sejak kuartal ketiga tahun 2015, ketika angkanya adalah 7,0%.
Penurunan kios kosong secara signifikan terjadi di luar wilayah Central Region, yang turun menjadi 4% dari 5,1%. Sementara di wilayah Central Region sendiri, penurunan kios kosong turun menjadi 8,7% dari 9,3%.
Beberapa faktor yang memengaruhi hal tersebut antara lain: peningkatan penjualan ritel secara terus-menerus, kunjungan yang lebih tinggi ke pusat perbelanjaan, serta peningkatan kedatangan pengunjung yang mendorong kepada naiknya kepercayaan konsumen maupun calon konsumen terhadap penjual.
Tren dan proyeksi ini menunjukkan bahwasanya masyarakat Singapura sudah menjalani aktivitasnya secara normal seperti sebelum pandemi COVID-19 melanda. Mereka semua kembali menargetkan mal sebagai salah satu tujuan utama rekreasi dan berinteraksi bersama komunitas. Di luar dari itu, para turis mancanegara juga sudah mulai berkunjung kembali ke Singapura.
Knight Frank, sebuah perusahaan konsultan real estate, melihat bahwasanya setelah pandemi pengunjung mal mengalami kenaikan sama halnya dengan penjualan online karena konsumen kembali belanja dan makan secara fisik.
Kemudian, diprediksi juga bahwa pusat perbelanjaan di sekitar Orchard Road dan suburban Singapura akan mengalami kenaikan biaya sewa hingga 4% di tahun 2023, merujuk CBRE.
Peningkatan jumlah kunjungan masyarakat dan nilai sewa tentu merupakan indikasi positif bagi para investor, termasuk Tanoto.
Lebih lanjut, PwC menempatkan Singapore di posisi nomor satu dalam hal prospek investasi dan pengembangan kota.
Di saat transaksi di industri real estate ini secara global cenderung mengalami penurunan, justru Singapura bergerak secara kebalikan. Investasi dalam industri real estate melonjak menjadi 47% year-on-year (YOY) ke USD9,1 miliar atau setara Rp101,92 triliun.
Selain daripada prospek bisnis yang menggiurkan, iklim bisnis properti termasuk mal di Singapura juga secara umum bisa memberikan jaminan yang kuat bagi para investor.
Dilansir dari KPMG beberapa keunggulan yang ditawarkan Singapura antara lain: aturan yang jelas, insentif pajak, serta para regulator yang memiliki semangat terbuka untuk terus mengikuti perkembangan sektor properti.
Jika melihat trennya tersebut, tampaknya Pak Sukanto Tanoto mengambil keputusan yang tepat untuk berinvestasi di commercial real estate.
Penulis: Arindra Ahmad Fauzan
Editor: Dwi Ayuningtyas