Menuju konten utama

Menggugat Full Day School

Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Prof Dr Muhadjir Effendy mengusulkan agar siswa pendidikan dasar (SD dan SMP), baik negeri maupun swasta menggunakan sistem "full day school" agar anak tidak sendirian ketika orang tua mereka masih bekerja. Apakah sistem ini baik?

Menggugat Full Day School
Siswa SD saat bermain saat jam istirahat sekolah di kawasan rel kereta api Cibinong, Kabupaten Bogor, Jawa Barat. [Antara foto/Yulius Watria Wijaya]

tirto.id - Usulan untuk membuat pendidikan dasar SD dan SMP agar mengadopsi sistem “Full Day School” menjadi perhatian publik, khususnya di dunia maya. Menteri pendidikan dan Kebudayaan Prof Dr Muhadjir Effendy menjadi pihak yang mengutarakan niat ini. Prof Muhadjir berargumen, hal ini penting agar orang tua terbantu mengawasi anak mereka.

"Dengan sistem full day school ini secara perlahan anak didik akan terbangun karakternya dan tidak menjadi 'liar' di luar sekolah ketika orang tua mereka masih belum pulang dari kerja," kata Mendikbud usai menjadi pembicara dalam pengajian untuk keluarga besar Muhammadiyah di Universitas Muhammadiyah Malang (UMM), seperti yang dikutip via Antara pada Minggu (7/8).

Sistem “Full Day School” memiliki pro kontranya tersendiri. Dalam sebuah penelitian yang dirilis di The International Journal of Social Pedagogy disebutkan bahwa sistem full day school memiliki beberapa masalah. Seperti jadwal aktivitas murid menjadi terlalu padat yang membuat mereka mudah lelah, waktu luang yang semestinya dinikmati oleh murid menjadi sangat terbatas, meningkatkan potensi stres pada murid dan punya pengaruh pada performa serta kualitas mengajar dari guru yang terlibat.

Apa yang dimaksud Prof Muhadjir dengan sistem full day school? Sejauh ini full day school masih dipersepsikan sebagai rentang waktu pendidikan dari pagi sampai sore hari. Jika sekolah biasa diakhiri pukul satu siang maka dengan sistem full day school, murid akan tetap di sekolah dan belajar hingga sore hari. Dengan kata lain menambah jam belajar dari yang telah ada sebelumnya. Tentu ada rentang masa istrahat di antara waktu belajar tadi. Tapi, apakah sistem ini efektif?

Prof Muhajdir menyebut bahwa sistem ini ditawarkan agar orang tua yang sibuk bekerja bisa tenang karena anaknya akan tetap berada di sekolah. Namun pandangan ini tentu urbansentris, bagaimana dengan anak petani atau nelayan yang tidak bekerja selayaknya karyawan kantor? Waktu mereka bersama anak bisa jadi lebih banyak daripada karyawan kantoran atau pegawai negeri sipil. Menganggap anak bisa bermasalah tanpa kontrol orang tua juga dapat diartikan anak sejak awal punya potensi buruk sehingga negara perlu melakukan intervensi.

Wacana yang digulirkan oleh Prof Muhadjir juga tidak disertai kajian akademis yang memadai. Apa yang membuat mentri ini beranggapan bahwa orang tua wali murid tidak bisa mendidik anak mereka di luar jam kerja? Seberapa besar proporsi waktu orang tua yang bekerja sehingga wacana ini kemudian muncul. Jika Mentri gagal menjawab pertanyaan ini maka bisa dipastikan wacana tersebut hanya sekedar pepesan kosong. Sebuah kebijakan semestinya dibuat berdasarkan studi mendalam bukan sekedar asumsi belaka.

OECD merilis tentang rata-rata waktu yang dihabiskan murid dalam kelas sepanjang tahun. Dalam rilis mereka disebutkan bahwa rata-rata waktu yang dihabiskan dalam kelas sebanyak 7.475 jam selama masa sekolah dasar jauh lebih tinggi daripada Indonesia yang hanya 6.350 jam. Waktu tersebut dibagi menjadi beberapa mata pelajaran utama, seperti membaca, menulis dan kesusastraan (22 persen), matematika (15 persen), kesenian (sembilan persen), sementara untuk pendidikan jasmani dan kesehatan (delapan persen), ilmu pendidikan alam (tujuh persen), dan ilmu pendidikan sosial (enam persen). Setiap mata pelajaran ini diberikan berjenjang sesuai usia murid.

Sementara itu ada pula mata pelajaran tambahan seperti bahasa asing, pendidikan agama/etika/moral, teknologi komunikasi dan informasi, pendidikan praktis dan kemampuan vokasional praktikal memiliki proporsi sebanyak enam belas persen dari total pelajaran. Setiap mata pelajaran ini disesuaikan dengan kebutuhan masing-masing negara dan daerah di mana siswa itu tinggal. Setiap mata pelajaran utama dan tambahan juga disesuaikan dengan ketersediaan tenaga pengajar yang profesional.

Pertanyaannya berikutnya adalah jika kemudian full day school diterapkan di Indonesia tenaga pengajar dan murid yang menjadi objek pendidikan telah siap? Sejauh ini negara-negara yang tergabung dengan OECD saja masih mencari jalan tengah agar bisa menjawab pertanyaan itu. OECD dalam laporan Education at Glance 2012 menyebutkan kebijakan yang dibuat tentang pendidikan mesti menyesuaikan kebutuhan siswa dan dana yang akan dialokasikan untuk kepentingan itu.

Kebijakan Prof Muhadjir ini mirip dengan yang diwacanakan oleh pemerintah Inggris pada 2002. Pemerintah Inggris saat itu mengajukan wacana tentang one day school, di mana siswa sekolah lebih lama agar orang tua yang tak sempat menjemput anaknya bisa tetap tenang, untuk kebijakan ini pada 2016 pemerintah Inggris menyiapkan anggaran 500 juta pound. Bedanya one day school yang dimaksud adalah daycare bagi murid usia dini yang tak sempat dijemput karena orang tuanya bekerja.

Charles Clarke, menteri pendidikan Inggris saat itu, mengatakan bahwa kebijakan ini dibuat untuk membantu orang tua yang berprofesi sebagai kelas pekerja di Inggris. Imbas kebijakan ini tidak terlalu baik, anak-anak mengalami beban berat untuk menyelesaikan sekolah. Sebuah survei di Inggris yang menyertakan 6.020 siswa sekolah pada 2002 menyebutkan bahwa 70 persen remaja yang punya tendensi bunuh diri diketahui tertekan akibat nilai-nilai mereka di sekolah.

Obsesi terhadap pendidikan anak tidak selalu berujung baik. Setidaknya berdasarkan riset yang dirilis di The Educational Review, ada gejala meningkatnya tingkat stres akibat pendidikan di Cina. Peneliti menyebutkan bahwa ada beberapa faktor yang menjadi beban, seperti lingkungan, menjadi perempuan, murid tingkat atas dan persepsi lingkungan dapat membuat murid menjadi stres.

Masyarakat Cina memang dikenal memiliki obsesi tinggi terhadap pencapaian akademis. Setidaknya berbagai capaian akademis dunia dikuasai oleh siswa-siswa dari Cina. Namun, hal ini punya dampak yang tidak baik, tingkat stres antara siswa sekolah di Cina merupakan yang tertinggi dibandingkan dengan siswa dari Korea Selatan, Jepang, dan Amerika Serikat. Dari laporan yang dirilis di Cina sendiri menyebutkan bahwa tingkat stres yang luar biasa pada siswa bisa membawa masalah kesehatan mental, termasuk perasaan menderita, dan kecemasan yang tinggi.

Infografik bunuh diri karena dipacu prestasi

Setiap tahun ada 200.000 remaja usia sekolah yang melakukan bunuh diri, sementara empat juta orang menjelang dewasa berusaha melakukan bunuh diri. Angka ini naik terus beberapa tahun terakhir. Menurut statistik dari WHO pada 2011, negara seperti Lithuania, angka kematian remaja karena bunuh diri sangat tinggi.

Sebuah survei di Korea menyebut 20 persen remaja usia sekolah merasa ingin bunuh diri. Sementara di India sekitar 20 remaja anak sekolah bunuh diri setiap hari karena stress terkait ujian dan pendapatkan tempat di sekolah prestis. Angka ini berasal dari India National Crime Records Bureau. India selatan merupakan ibukota bunuh diri dunia, terutama di Kerala, negara bagian India yang secara penuh terbebas dari buta aksara. Setiap hari ada 32 orang bunuh diri.

Stres karena tuntutan untuk mencapai prestasi tinggi di pendidikan membuat seseorang berbuat nekat. Sepanjang September 2015 ada tiga siswa yang melakukan bunuh diri di Hong Kong. Dua korban merupakan siswa sekolah menengah dan satu mahasiswa perguruan tinggi. Ketiga siswa ini dikabarkan mengalami depresi dan stress berat karena tuntutan pendidikan yang terlalu berat. Dalam rentang waktu 2005-2015 di Hong Kong telah terjadi 110 kali peristiwa bunuh diri terkait depresi karena pendidikan yang dianggap terlalu berat.

Gejala bunuh diri akibat tekanan tuntutan pendidikan tidak hanya terjadi di Hong Kong. Korea Selatan menjadi negara kedua di OECD dengan tingkat bunuh diri siswa tertinggi. Kualitas pendidikan di Korea Selatan diakui sebagai salah satu yang terbaik di OECD. Namun, tekanan untuk yang menjadi terbaik ini mempunyai harga yang mahal. Pada 2001 angka kematian akibat bunuh diri di Korea Selatan pada kelompok usia 10-19 tahun berkisar antara 3,19 per 100.000. Namun pada 2011 angka itu naik menjadi 5,58 per 100.000 orang.

Jepang tetap menjadi negara dengan angka kematian siswa tertinggi di dunia. Setidaknya menurut data resmi pemerintah Jepang, ada 18.000 bunuh diri anak yang terjadi dari 1972-2013. Hal itu paling banyak terjadi di masa awal masuk sekolah. WHO pada 2014 menyebut, angka kematian akibat bunuh diri di kalangan anak-anak di Jepang 60 persen lebih tinggi daripada angka rata-rata global.

Bunuh diri pada 2014 menjadi penyebab utama kematian anak-anak pada usia 10-19 tahun di Jepang. Sementara itu dalam riset yang dilakukan pada 2005, masalah di sekolah menjadi penyebab utama anak-anak bunuh diri. Hal ini ditemukan dalam catatan bunuh diri siswa tersebut 91 di antaranya menyebutkan sekolah sebagai pusat masalah mereka. 242 kasus lain, meski tidak ditemukan catatan bunuh diri, polisi jepang menyebutkan kematian mereka karena beban pelajaran dan buliying di sekolah.

Nico Siahaan, anggota DPR RI dari PDIP, memberikan tanggapan terkait wacana full day school. Menurutnya, kebijakan ini kurang tepat karena tidak ada kajian akademis sebelumnya. Alasan menunggu orang tua bekerja dianggap terlalu dangkal. Nico meminta sebelum bersuara Mendikbud seharusnya mengkaji kebijakan itu secara lebih mendalam. “Apalagi nanti akan dibuat kebijakan, dilihat dulu dampak-dampaknya. Ini sama sekali tidak berdasar.” katanya.

Kebijakan full day school semestinya mempertimbangkan banyak hal seperti pendanaan, kesiapan tenaga pendidik, dan yang lebih penting dampaknya kepada siswa. Juga harus mempertimbangkan sekolah-sekolah di pedesaan dan pesisir yang memiliki "jam kerja" berbeda, budaya yang berbeda pula. Jika sekedar menambah beban mata pelajaran, tentu tingkat stress pada anak akan ikut meningkat. Bukan tidak mungkin depresi yang selama ini menjadi momok pendidikan akan banyak dialami oleh siswa.

Baca juga artikel terkait BUNUH DIRI atau tulisan lainnya dari Arman Dhani

tirto.id - Pendidikan
Reporter: Arman Dhani
Penulis: Arman Dhani
Editor: Nurul Qomariyah Pramisti