Menuju konten utama

Anak-anak yang Dititipkan

Siapa yang harus merawat anak jika ayah atau ibu sibuk bekerja? Dititipkan nenek, pengasuh, tempat penitipan anak, atau dibawa ke tempat kerja?

Anak-anak yang Dititipkan
Seorang perawat menggendong bayi saat pembukaan baby day care di gedung Pertamina Pusat, Jakarta. [Antara Foto/Fauziyyah Sitanova]

tirto.id - Susan Hoff, Kepala Divisi Strategi dan Operasional United Way of Metropolitan Dallas membawa oroknya yang berusia enam bulan ke kantornya setiap hari. Ia letakkan bayi itu di samping meja kerjanya. Alih-alih melarang membawa bayi ke kantor, perusahaannya justru membuat program pendukung bagi ibu yang baru menghabiskan cuti melahirkan untuk membawa bayinya ke lingkungan kerja.

"Mereka membawa tempat tidur portable atau packet 'n' play, dan ditempatkan di bilik kecil," kata Susan Hoff kepada today.com, Agustus 2015 lalu.

Hoff menambahkan, membawa bayi ke tempat kerja justru meningkatkan semangatnya bekerja dan membantunya menghemat biaya perawatan anak.

Selain United Way of Metropolitan Dallas, perusahaan properti Mainstreet di Indiana juga mengizinkan para pegawainya membawa anak-anak mereka ke kantor. Kantor tersebut bahkan menyediakan ruang khusus untuk anak-anak agar mereka bisa bermain. ” […] mereka tahu bahwa mereka dapat membawa anak mereka ke kantor dan tidak takut reaksi apapun [dari teman kantor lain]," kata Kit Werbe, Manager Komunikasi dan Media Mainstreet kepada Today.com.

Bagaimana dengan di Indonesia? Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA) Yohana Susana Yembesi Januari 2015 lalu pernah mengusulkan agar setiap instansi pemerintah atau swasta menyediakan penitipan anak (day care center).

"Pemotongan waktu kerja Pegawai Negeri Sipil (PNS) perempuan merupakan kebijakan diskriminatif jika dijalankan, lebih baik siapkan saja tempat penitipan anak di kantor," katanya kepada Antara.

Yohana mengklaim usulan tersebut sudah dibicarakan dengan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (Menpan-RB) saat itu, Yuddy Chrisnandi. "Pak menteri juga telah menanyakan solusinya, saya telah menyampaikan bahwa semua instansi harus menyediakan tempat penitipan anak dan tempat menyusui bayi," tambahnya.

Usulan menteri Yohana ini penting. Bila menilik laporan International Labour Organization (ILO) Agustus 2014, ada sekitar 43,1 juta pekerja perempuan di Indonesia. Sementara survei BPS 2013 menyebutkan dari 43,3 juta pekerja perempuan, 25 juta di antaranya merupakan perempuan usia produktif. Artinya, ada 25 juta calon dan atau ibu yang harus difasilitasi untuk menyusui atau merawat anak-anaknya setidaknya sampai usia enam bulan di tempat kerja mereka.

Tempat Penitipan Anak Partikelir

Kendati demikian, jumlah TPA di instansi pemerintah atau swasta di Indonesia hingga kini belum terdeteksi. Bisa jadi jumlahnya jauh dari ideal.

Inilah yang memunculkan banyaknya jasa penitipan anak partikelir di kota-kota besar di Indonesia seperti Jakarta, Bandung, Semarang, Yogyakarta, dan Surabaya. Kehadiran day care-day care ini menjawab persoalan bagi orangtua—karena berbagai alasan—tidak bisa membawa anaknya ke tempat kerja. Orangtua seperti itu menyerahkan sepenuhnya kepada TPA-TPA untuk merawat anaknya selama mereka bekerja daripada menyerahkan kepada baby sitter atau asisten rumah tangga.

Dari sisi lama pelayanan, day care-day care ini umumnya memberikan layanan perawatan anak hampir sehari penuh, dari pukul 07.30 sampai dengan 17.30 atau sampai orangtua pulang kerja. Kelasnya pun bermacam-macam dari bayi usia 3-15 bulan, 16 sampai 30 bulan, hingga usia pra sekolah atau usia 2,5 tahun lebih.

Tarifnya pun aneka harga. Makin dini usianya, makin mahal biayanya. Sebagai contoh di Littlebee Daycare di Jakarta Selatan, untuk penitipan anak usia 3 sampai 15 bulan dengan lama penitipan 10,5 jam biayanya mencapai Rp500 ribu per hari. Sementara paket bulanan tarifnya Rp4 juta.

Sebagai pembanding untuk usia Toddler Class, usia 16-30 bulan, dengan lama penitipan 10 jam, biaya harianya sama, Rp500 ribu sehari, tapi untuk biaya paket bulanannya Rp3,5 juta sebulan—lebih mahal ketimbang gaji asisten rumah tangga di Jakarta yang mencapai Rp1 juta hingga Rp1,5 juta per bulan.

Bagaimana fasilitasnya di day care? Anak akan diberi makan, disediakan penyimpanan ASI, diberi laporan perkembangan anak, hingga pantauan melalui live streaming CCTV.

Penelitian Psikologi Anak-anak di Day Care

Meskipun sudah ada program yang ditawarkan, Day Care menimbulkan pro kontra bagi para orangtua. Mereka yang kontra umumnya khawatir terhadap keamanan, pertumbuhan, dan perkembangan psikologi si anak. Dikutip dari psychologicalscience.org, pada penelitian tahun 1980an tentang psikologi anak, beberapa peneliti mulai melaporkan bahwa tempat penitipan anak memiliki dampak berbahaya bagi penyesuaian sosial dan emosional anak-anak.

Beberapa penelitian lain menunjukkan perawatan anak usia dini di day care selama berjam-jam berpengaruh terhadap perilaku anak, seperti tingkat agresivitas anak yang meningkat.

Namun, sebuah penelitian pada Agustus 2015 yang diterbitkan dalam “Psychological Science”, sebuah jurnal dari Association for Psychological Science menunjukkan, lama waktu yang dihabiskan di tempat penitipan anak berdampak sedikit pada perilaku agresif anak-anak. Kesimpulan itu diambil berdasarkan penelitian terhadap 1.000 anak-anak di Norwegia yang terdaftar di tempat penitipan anak.

"Dari perspektif publik, temuan kami penting karena mereka akan membantu mengurangi kekhawatiran orang tua tentang bahaya potensial dari perawatan anak non-orangtua," kata Eric Dearing, penulis utama penelitian tersebut sekaligus ilmuwan psikologi di Lynch School of Education, Boston College.

Dearing dan rekan dari lembaga penelitiannya menyimpulkan bahwa praktik perawatan anak di Norwegia memberikan jawaban berbeda yakni anak tidak berlaku agresif (memukul, menendang, mendorong, atau berkelahi) meskipun diasuh di tempat penitipan anak.

Ketika anak-anak berusia 2 tahun, anak-anak di day care ini memang tingkat agresinya lebih tinggi. Namun, pada usia 4 tahun—ketika anak-anak ini telah berada di penitipan anak selama 2 tahun—mereka justru tidak menunjukkan perilaku agresif.

Di Norwegia, menurut Dearing, kebanyakan orangtua memiliki kesempatan satu tahun cuti sehingga anak-anak jarang yang dimasukkan di penitipan anak sebelum mereka berusia 9 bulan. Hal ini karena penitipan anak yang didanai publik mulai membuka pendaftaran pada bulan Agustus. Anak-anak biasanya masuk perawatan anak pada usia yang berbeda tergantung pada bulan saat mereka dilahirkan. Misalnya, anak yang lahir pada bulan Agustus akan masuk day care pada usia 12 bulan, sedangkan anak yang lahir pada bulan Februari, usianya sudah 18 bulan saat pendaftaran dibuka pada bulan Agustus.

Pengasuhan Mandiri

Kendati ada penelitian yang menyebutkan day care tidak berpengaruh banyak terhadap psikologi anak, orangtua tak lantas begitu saja memercayakan anaknya. Mereka lebih memilih melakukan pengasuhan mandiri kendati suami atau istri sibuk bekerja. Salah satunya adalah dengan bergantian mengasuh putranya. Selain irit biaya, pengasuhan mandiri juga membuat anak menjadi lebih dekat dengan orang tuanya.

Kepada tirto.id akhir pekan lalu, Lily Subiati (31) menceritakan kisahnya melepaskan double job sebagai guru les privat dan karyawan di agen properti di Jakarta demi buah hatinya. Februari 2014 lalu ia memutuskan untuk bekerja mandiri sebagai pengajar bahasa sejak usia kandungannya mencapai empat bulan.

Ketika anak pertamanya lahir, ia pernah menitipkan pada pengasuh anak, tapi ia malah jadi trauma. “Setiap nitip [anak] saya sudah bawakan makanan khusus yang aman buat dia. Kejadiannya, anak saya malah dikasih kue lapis. Opname deh. Kue lapis aman buat anak-anak lain, tapi tidak buat anak saya,” katanya melalui pesan Whatsapp.

“Kejadian kedua, anak saya bonyok jatuh dari mobil-mobilan. Muka bengkak, ada beset-besetnya plus bibir berdarah. Padahal saya memberi lebih untuk gajinya [pengasuh],” jelasnya.

Padahal untuk mengasuh anaknya itu, Lily harus mengeluarkan ongkos Rp700 ribu per bulan dengan durasi kerja dua jam setiap Senin-Jumat. Tetangga yang lain, kata Lily, ongkosnya juga sebesar itu bahkan tugas pengasuh jauh lebih berat karena harus merawat bayi seharian.

Konsekuensinya, dengan mengasuh sendiri anaknya, Lily harus bekerja lebih ekstra. Ia bangun dari subuh, merawat anaknya sampai suaminya pulang. Sehabis itu, ia berangkat mengajar sampai jam 21.00, sampai rumah kurang lebih satu jam kemudian. Rutinitas itu ia jalani setiap Senin-Jumat dan tiap Sabtu-Minggu harus mengajar penuh seharian.

“Alhamdulilah ter-handle. Kalau repot itu pasti. untungnya suami bisa diajak kerja sama. Jadi saat dia pulang kerja saya berangkat mengajar, gantian suami yang momong bocah. Yang super wow kalau anak sedang opname, karena anak maunya ditungguin saya, padahal saya harus bekerja,” jelasnya.

Lalu, seperti apa seharusnya pengasuhan ideal menurut Lily?

“Yang paling tahu tentang anak—hatinya, sakit-sakitnya, perasannya—adalah ibu,” tutupnya.

Sayang, tidak semua orang seberuntung Lily karena bisa aplusan dengan suami untuk menjaga anak. Problemnya adalah ketika suami atau istri sama-sama sibuk. Ataupun ibu tunggal yang harus bekerja untuk memenuhi kebutuhan keluarganya. Dalam kondisi ini, tempat pengasuh anak merupakan salah satu alternatif, di tengah sulitnya mencari tenaga pengasuh anak di masa sekarang.

Baca juga artikel terkait PENITIPAN ANAK atau tulisan lainnya dari Agung DH

tirto.id - Sosial budaya
Reporter: Agung DH
Penulis: Agung DH
Editor: Nurul Qomariyah Pramisti