Menuju konten utama

Sekolah Bukan Tempat Penitipan Anak

Anak barangkali memang butuh sekolah, namun anak juga butuh bersosialisasi dengan lingkungan sekitarnya, selain berinteraksi dengan orang tua. Jika waktu anak hanya dihabiskan di sekolah dari pagi sampai sore lalu di rumah dari senja hingga malam, kapan anak bersosialisasi dengan tetangga dan lingkungan sekitar rumah?

Sekolah Bukan Tempat Penitipan Anak
undefined

tirto.id - Belum apa-apa, Menteri Pendidikan yang baru menjabat, Muhadjir Effendy, sudah berkoar soal Full Day School. Ide Pak Menteri ini banyak mendapat celaan di media sosial. Sebagian pihak khawatir jika anak terlalu lama atau seharian di sekolah, akan membuat anak kehilangan waktu berinteraksi dengan orang tua mereka.

Anak tentu akan kehilangan waktu bermain mereka. Dan waktu berinteraksi dengan orang tua jelas terpangkas dari hari Senin hingga Jumat. Karena kebijakan ini menyasar siswa Sekolah Dasar (SD) dan Sekolah Menengah Pertama (SMP). Baik di sekolah swasta maupun negeri. Di mana anak hanya berada di lingkungan sekolah hingga sore hari, ketika orang tua mereka menjemput pada hari Senin hingga Jumat.

Sebagai kompensasi, katanya hari Sabtu dan minggu anak-anak mendapat libur. Selama ini, hari Sabtu untuk ekstrakurikuler yang membantu anak mengembangkan diri mereka. Di dari Senin hingga Jumat dibebankan dengan hal akademis, lalu Sabtu libur, kesempatan anak mengembangkan diri terancam hilang.

Menteri Pendidikan khawatir anak akan liar, karena orangtua mereka belum pulang dari tempat kerja. Mungkin anak-anak akan terlalu sering di warnet kala jam tidur siang. Kebijakan ini keluar karena kondisi di lapangan banyak ibu-ibu yang bekerja, seperti halnya suami mereka. Padahal, menurut data organisasi buruh dunia di bawah PBB, International Labour Organization (ILO), pekerja perempuan hanya 38 persen perempuan saja dari 120 juta pekerja di Indonesia.

Sebenarnya, sepulang sekolah belum tentu semua anak tidak bertemu orang tua mereka. Tak semua orang tua bekerja dan pulang sore. Sebagian orang tua bahkan bekerja di rumah. Sebagian orang tua yang bekerja pun tak membiarkan anak mereka sendiri di rumah. Anggota keluarga lain sering dititipi anak, termasuk kakek atau nenek si anak.

Anak barangkali memang butuh sekolah, namun anak juga butuh bersosialisasi dengan lingkungan sekitarnya, selain berinteraksi dengan orang tua. Jika waktu anak hanya dihabiskan di sekolah dari pagi sampai sore lalu di rumah dari senja hingga malam, kapan anak bersosialisasi dengan tetangga dan lingkungan sekitar rumah?

Terlalu lama di sekolah, tak selalu menyenangkan bagi anak. Semua orang tua tahu materi pelajaran yang dibebankan kepada anak sangatlah tinggi. Sudah umum orang dewasa bilang materi anak SMP di masa lalu sudah dipelajari anak SD masa kini. Alasannya, agar anak memiliki daya saing.

Tak apalah jika anak jadi menderita atau stres, pikir sebagian pihak. Barangkali, sebagai orang tua, Menteri Pendidikan akan bilang, kesuksesan itu berangkat dari penderitaan. Stres itu adalah risikonya.

Menurut Ketua Komnas Perlindungan Anak, Seto Mulyadi, menyarankan seluruh orangtua tidak memaksakan anaknya terus belajar dan kehilangan kesempatan bermain bagi anak bisa memicu ia mudah stres. Stres di sekolah bisa menimbulkan prilaku menyimpang pada anak.

“Tanda-tandanya, anak-anak menjadi nggak suka makan atau bahkan berperilaku menyimpang seperti merokok,” terang Seto. Padahal ini adalah hal yang paling ditakutkan orang tua.

Sebagian orang tua, yang mendengar wacana hebat dari Menteri Pendidikan kita yang baru diangkat ini, merasa ngeri wacana ini. Di antara mereka sudah berpikir untuk menarik anaknya dari sekolah dan menjalankan pendidikan home schooling alias belajar di rumah saja dengan pengawasan orang tua, atau setidaknya ke orang yang lebih tua.

Home schooling bukan barang baru di Indonesia. Sebelum Indonesia merdeka, Haji Agus Salim, pahlawan nasional Indonesia, sudah menerapkannya. Hasilnya tidak buruk. Kita tahu sebagai tokoh masyarakat Agus Salim pasti sibuk, tapi dia bisa. Thomas Alva Edison juga hasil home schooling setelah dicap bodoh di sekolahnya.

Jika banyak orang tua melakukannya, sekolah bisa sepi. Industri pendidikan dasar pun di ujung tanduk. Nampaknya, Pak Menteri yang baru harus berpikir ulang soal stres yang akan diberikannya pada anak-anak, yang katanya akan memimpin Indonesia. Sekolah bukan tempat penitipan anak, Pak Menteri.

*) Isi artikel ini menjadi tanggung jawab penulis sepenuhnya.

Artikel Terkait