Menuju konten utama

Menggenjot Setoran Pajak dengan Integrasi NPWP dan KTP, Efektifkah?

Salah satu masalah yang kerap muncul ialah semrawutnya data antarlembaga sehingga Ditjen Pajak susah mendeteksi kewajiban perpajakan seseorang. Efektifkah integrasi NPWP dan KTP?

Menggenjot Setoran Pajak dengan Integrasi NPWP dan KTP, Efektifkah?
Ilustrasi. Wajib pajak memberikan laporan Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan (SPT Tahunan PPh) di Kantor Pajak Pratama Menteng 2, Jakarta. ANTARA/Akbar Nugroho Gumay.

tirto.id - Pemerintah mengupayakan KTP elektronik (e-KTP) bisa terintegrasi dengan Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP). Hal ini ditandai dengan perjanjian kerja sama antara Kementerian Keuangan dan Ditjen Kependudukan dan Pencatatan Sipil (Ditjen Dukcapil) Kemendagri yang ditandatangani pada Jumat (2/11) pekan lalu.

Harapannya, Nomor Induk Kependudukan (NIK) yang tertera pada e-KTP dapat digunakan Direktorat Jenderal Pajak (DJP) Kementerian Keuangan untuk mendapatkan informasi terkait perpajakan. Kendati demikian, proses realisasinya masih membutuhkan waktu mengingat masa transisi yang diperkirakan mencapai 4-5 tahun.

Direktur Jenderal Pajak Kemenkeu Robert Pakpahan mengatakan, dengan program ini diharapkan muncul satu nomor identitas yang bisa digunakan untuk berbagai kepentingan. Langkah ini diklaim dapat menjadi solusi dari banyaknya basis data yang dimiliki masing-masing lembaga sehingga apabila hendak melakukan sinergi pendataan butuh waktu yang relatif lebih lama.

“[Penandatanganan] kerja sama dengan Kependudukan [Ditjen Dukcapil Kemendagri] mudah-mudahan bisa dilakukan sehingga bisa matching semuanya. Semua NPWP itu akan ada NIK yang matching,” kata Robert di kantornya, Jakarta, pada Jumat (9/11/2018).

Namun, kata Robert, Ditjen Pajak tidak menargetkan angka pendapatan tertentu dari kerja sama yang dilakukan. Sebab, program yang diinisiasi Kemenkeu dan Ditjen Dukcapil hanya sebatas administratif. Robert menegaskan, target penerimaan pajak tetap sama sebagaimana yang ditentukan dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN).

Pada APBN 2019, misalnya, pemerintah menargetkan pendapatan negara dari pajak sebesar Rp1.786,4 triliun, naik 15,4 persen dari outlook tahun 2018. Kontribusi penerimaan pajak dalam APBN 2019 ini mencapai 82,51 persen dari target penerimaan negara yang dipatok sebesar Rp2.165,1 triliun.

Target Pajak Selalu Tak Tercapai

Meskipun target penerimaan dari pajak cukup besar, tapi pemerintah selama ini memiliki kendala dalam mencapai target pajak yang ditetapkan dalam APBN. Berdasarkan catatan Tirto, selama kurun waktu 2004-2015, hanya dua kali target penerimaan pajak tercapai yakni pada 2004 dan 2008. Selebihnya, target pajak tidak tercapai dan puncaknya terjadi pada tahun 2015 ketika capaian hanya 83 persen.

Hal ini juga terjadi pada 2016 dan 2017. Penerimaan negara dari sektor pajak secara keseluruhan per 31 Desember 2016 hanya mencapai Rp1.105 trilliun atau sebesar 81.54 persen dari target penerimaan pajak APBN-P 2016 yang dipatok sebesar Rp1.533 trilliun. Sementara tahun lalu, penerimaan pajak tercatat Rp1.339,8 triliun atau 91 persen dari target yang ditetapkan dalam APBN-P 2017.

Meskipun Robert mengklaim tak ada target khusus dari upaya integrasi NPWP dan e-KTP, tapi tak dapat dipungkiri bila data wajib pajak menjadi komponen krusial dalam menggenjot penerimaan pajak di tahun-tahun mendatang. Sebab, salah satu masalah yang kerap muncul selama ini ialah semrawutnya data antarlembaga sehingga susah bagi pemerintah untuk mendeteksi kewajiban perpajakan seseorang.

Dengan mengacu pada satu NIK yang dimiliki wajib pajak, pemerintah bisa tetap mendeteksi yang bersangkutan. Apabila wajib pajak berpindah tempat tinggal, maka pemerintah pun tetap dapat memiliki kemampuan untuk melacak keberadaannya lewat NIK yang dipunyai.

“Integrasi ini untuk perbaikan administrasi pada wajib pajak yang terdaftar di sistem kami. Supaya datanya jadi lebih akurat,” kata Robert.

Sementara itu, Direktur Eksekutif Center of Indonesia Taxation Analysis (CITA) Yustinus Prastowo menilai tujuan dari integrasi itu memang untuk mengejar nomor ID tunggal wajib pajak. Menurutnya, inti dari kegiatan memungut pajak, yaitu menghimpun informasi yang sebenar-benarnya.

“Sehingga saat tahu siapa punya apa dan siapa melakukan apa, maka selesai secara sistem. Namun memang kita lompat dengan adanya AEOI [Automatic Exchange Of Information] itu. Jadi dengan AEOI, Ditjen Pajak bisa mengakses aktivitas dan punya apa saja, tapi belum bisa menangkap data terkait siapanya,” kata Prastowo kepada reporter Tirto.

Karena itu, Prastowo menyambut baik rencana pemerintah pengintegrasian KTP elektronik dan NPWP tersebut. Dari sisi wajib pajak, ia melihat akan adanya kinerja yang efektif sehingga saat melakukan administrasi bisa jadi lebih ringkas karena nomor ID sudah tunggal.

Kemampuan itu, kata Prastowo, dapat mempermudah Ditjen Pajak dalam mendeteksi wajib pajak mana saja yang tidak patuh. “Namun karena semuanya bisa diketahui, otoritas juga harus selektif, tidak semuanya perlu diminta. Perlu adanya prioritas agar jangan sampai yang kecil-kecil juga ikut dikejar,” kata Prastowo.

Baca juga artikel terkait E-KTP atau tulisan lainnya dari Damianus Andreas

tirto.id - Ekonomi
Reporter: Damianus Andreas
Penulis: Damianus Andreas
Editor: Abdul Aziz