tirto.id - Pada 25 April 2018, Avengers: Infinity War resmi tayang di bioskop-bioskop Indonesia. Sebagai salah satu film superhero yang ditunggu para penggemarnya, antrean panjang pembelian tiket jadi pemandangan yang mafhum.
CGV Blitz, salah satu jaringan bioskop di Indonesia, punya mesin self ticketing—mesin pembelian tiket secara mandiri—yang antreannya relatif lengang. Pengguna mesin tersebut tidak bisa menggunakan uang kontan. Pembeli harus memiliki “CGV Member” untuk bisa bertransaksi.
CGV Member alias kartu keanggotaan bioskop CGV lebih layak disebut sebagai gift cards. Istilah lainnya adalah uang elektronik yang digunakan secara terbatas (closed loop) atau dana float.
Mark Furletti dalam paper berjudul “Prepaid Cards: How Do They Function? How Are They Regulated?” (2004) mengatakan gift cards merupakan salah satu jenis prepaid card atau payment card—semacam uang elektronik atau kartu debet—yang telah terisi sejumlah dana yang bisa diberikan seorang konsumen ke konsumen lainnya sebagai hadiah atau digunakannya sendiri.
Kartu CGV Member, selain digunakan sebagai bukti keanggotaan, digunakan menyimpan poin yang diberikan pihak bioskop, juga digunakan untuk menyimpan sejumlah uang pelanggan melalui metode top-up. Kartu yang berisi uang dan poin sehingga CGV Member seperti uang elektronik yang masuk kategori gift card. Selain CGV, Starbucks juga punya gift card bernama Starbuck Card, dan McDonald’s mengeluarkan gift card bernama Arch Card.
Gift card banyak beredar berjenis private gift card. Furletti mengatakan private gift card merupakan “uang elektronik” yang hanya bisa digunakan untuk bertransaksi pada merchant atau perusahaan yang merilis kartu tersebut.
CGV Member misalnya, ia tidak bisa digunakan untuk bertransaksi membeli tiket bioskop di jaringan Cinema 21 atau bioskop lainnya. Starbuck Card pun tidak bisa digunakan membeli secangkir coffee latte di Warung Upnormal dan sebagainya, meskipun kartu-kartu tersebut menyimpan saldo uang.
Direktur Eksekutif Departemen Kebijakan Sistem Pembayaran BI Onny Widjanarko, mengatakan bahwa BI telah memiliki aturan soal close loop alias gift card. Aturan yang dimaksud ialah Peraturan Bank Indonesia Nomor 20/6/PBI/2018 tentang uang elektronik yang baru saja terbit Mei 2018. "Setiap pihak yang bertindak sebagai Penyelenggara wajib terlebih dahulu memperoleh izin dari Bank Indonesia", tapi penerbit uang elektronik close loop dikecualikan bila dana yang berputar belum sampai Rp1 miliar.
"Jika floating fund (uang elektronik close loop/ gift card/dana float) kurang dari Rp1 miliar perlu lapor. Di atas Rp1 miliar perlu izin dan ikut aturan PBI Mei 2018," kata Onny menjelaskan pada Tirto.
Selain gift card yang bersifat privat, ada juga open-system gift card yang bisa digunakan untuk bertransaksi lintas merchant. Umumnya, open-system gift card diterbitkan oleh institusi keuangan, seperti bank.
Jannifer Pate Offenberg, dalam jurnal berjudul “Market: Gift Cards” memaparkan salah satu kelebihan gift card ialah konsumen bisa membeli lebih cepat. Namun, “diperkirakan 10 persen gift card tidak pernah dicairkan” para konsumen. Padahal, rata-rata orang Amerika membeli tujuh gift card saban setahun dan mengeluarkan uang sekitar $250.
Sementara itu, mengutip pemberitaan CNN, di setiap gift card yang dibeli, ada dana rata-rata sejumlah $4,5 yang ditimbun konsumen. Ini artinya, selain memperoleh keuntungan dari transaksi via gift card, merchant memperoleh “untung” dari dana mengendap konsumen. Artinya ada peluang bagi konsumen untuk terus berbelanja di merchant yang sama.
Starbuck, sebagaimana diwartakan Market Watch, memiliki dana sejumlah $1,2 miliar di Starbuck Card konsumen mereka pada kuartal II-2016. Timbunan dana tersebut separuh dari timbunan dana konsumen American Express, institusi keuangan di AS, sejumlah $3,32 miliar.
Mengapa konsumen tidak mencairkan secara penuh uang dalam gift card mereka? Morgan Quinn, personal finance dari GOBankingRates, dalam tulisannya di CBS News mengatakan gift card dianggap sebagai “free money” oleh konsumen. Akibatnya, atas konsepsi “free money” tersebut orang cenderung mengambil dua langkah: berbelanja secara membabi buta, alias berbelanja sebesar-besarnya, atau membelanjakannya dengan anggapan “itu bukan uang sungguhan” alias cenderung tak acuh pada gift card, termasuk pada nilai uang yang terkandung di dalamnya.
Ini mirip dengan apa yang terjadi pada masyarakat ketika kartu kredit muncul pada era 1950-an. Gabriel Fineberg, dalam jurnal berjudul “Mobile Credit: The Effect of Credit Cards on Consumer Spending in the United States in the Second Half of the Twentieth Century” berkesimpulan semenjak kartu kredit diperkenalkan, ada peningkatan konsumsi di tiga dekade terakhir abad ke-20 dari para konsumen yang memiliki kartu kredit. Salah satu alasannya, konsep “buy now pay later” mengakar dalam benak para pemilik kartu kredit.
Setiap tahun, jumlah kepemilikan kartu kredit di AS meningkat. Pada 1970, atau 20 tahun setelah kartu kredit diperkenalkan, 16 persen rumah tangga AS memiliki kartu kredit. Pada 1995, jumlahnya melonjak menjadi 64 persen. Pada 2010, penerbit memproses transaksi senilai $1,2 triliun untuk penggunaan kartu kredit di AS.
Kerentanan dalam Gift Card
Pada 18 September 2017 lalu, retail mainan anak-anak Toys R Us mengajukan perlindungan kebangkrutan atau Chapter 11 pada otoritas di AS. Setelah itu, pada Maret 2018, Toys R Us menyatakan hendak menjual atau menutup seluruh toko yang ada di AS.
Sebelum menutup, perusahaan, sebagaimana diwartakan CNBC, menyatakan tetap akan melayani transaksi memanfaatkan gift card yang mereka rilis. Namun, hanya berlangsung selama 30 hari sejak pemberitahuan penutupan atau penjualan toko dilakukan. Selang 30 hari, konsumen tidak akan bisa mencairkan dana yang tersimpan, meskipun itu merupakan hak mereka.
Gift card, terutama yang berjenis privat, sangat tergantung pada merchant atau perusahaan penerbitnya. Ketika bangkrut, sebagaimana yang menimpa Toys R Us, seketika itu juga gift card berubah hanya sebagai kartu plastik berpita magnetik yang tak berguna.
Melissa Jacoby, profesor hukum pada University of North Carolina mengatakan “gift card, secara teknis, merupakan piutang yang tidak aman dan hukum kebangkrutan tidak memberikan proteksi apapun bagi pemiliknya. ”Dan ketika sebuah perusahaan atau merchant bangkrut, pengadilan akan mengutamakan kreditor, seperti bank, alih-alih memperhatikan pemilik gift card.
Di Indonesia, merujuk PBI No 20/6/2018, pasal 61 mengatur "nilai uang yang disetorkan ke dalam Uang Elektronik harus dapat digunakan atau ditransaksikan seluruhnya sampai bersaldo nihil". Penerbit dilarang "menghapus, mengubah, atau menghilangkan Nilai Uang Elektronik ketika masa berlaku media Uang Elektronik tersebut berakhir". Bank Indonesia juga mewajibkan penerbit gift card menyimpan dana tertentu untuk memastikan aspek perlindungan konsumen.
"Untuk perlindungan konsumen, 30 persen floating disimpan di Bank Buku IV dan 70 persen di surat berharga pemerintah atau instrumen BI," kata Onny menegaskan.
Selain benar-benar tergantung pada merchat pernerbit, Andy Greenberg, kolumnis keamanan Wired, dalam tulisannya memaparkan gift card sangat rentan, terutama oleh para peretas. Will Caput, salah seorang peretas, mendemonstrasikan bagaimana ia sukses mengambil sejumlah dana dari gift card di Toorcon Hacker Conference, hanya dengan menebak digit terakhir yang tertera di gift card.
Untuk meretas gift card, kata Caput, “Anda hanya perlu mengambil beberapa contoh gift card dari restoran, departemen store, bioskop, bahkan maskapai penerbangan dan lihat pola digit yang tertera.”
Dalam peretasan yang dilakukan Caput, ia hanya menggunakan aplikasi Bruteforcing, Burp Intruder, aplikasi yang menebak angka dengan menjalankan 10.000 kemungkinan angka, yang dijalankannya selama 10 menit. Jika angka yang ditebak benar, sejumlah uang yang ada di gift card ia bisa gondol.
Editor: Suhendra