tirto.id - Sejarah baru terukir di Slovakia usai memilih presiden perempuan pertamanya: Zuzana Caputova.
Terpilihnya Caputova jelas mengejutkan. Selain tidak memiliki pengalaman politik yang mumpuni, wanita berusia 45 tahun itu menang melawan Maros Sefcovic, seorang diplomat terkemuka yang juga mengampu jabatan sebagai Komisioner Uni Eropa (UE). Tak hanya itu, Sefcovic juga dicalonkan oleh partai yang saat ini tengah berkuasa di Slovakia, Smer-Social Democratic—partai yang memimpin koalisi di parlemen Slovakia sejak 2006.
Kendati di atas kertas Sefcovic unggul segalanya, hasil pemilihan menunjukkan sebaliknya: Caputova menang dengan raihan 58,3 persen suara dari 98,1 persen suara yang dihitung, sementara Sefcovic meraup suara 41,7 persen. Kemenangan Caputova sekaligus menampik tren bahwa politikus populis dan anti-Uni Eropa lebih disukai rakyat. Isu korupsi dan perubahan gaya politik rupanya adalah tema utama menjelang pemilihan putaran kedua Pemilu di Slovakia.
Publik Slovakia memang tengah resah akibat berbagai kasus korupsi yang merebak. Terutama setelah kasus Jan Kuciak, seorang jurnalis investigasi yang ditemukan tewas dengan luka tembak di dada di rumahnya di Velka Maca, 65 kilometer dari ibukota Bratislava, pada Maret 2018 lalu. Tunangan korban, Martina Kusnirova, juga ditemukan tewas di tempat yang sama dengan luka tembak di kepala.
Dalam penyelidikan kala itu, polisi menyebut kasus kematian Kuciak berkaitan dengan investigasi yang tengah dilakukannya mengenai isu penggelapan pajak dan keberadaan mafia (Ndrangheta) di Slovakia. Hasil investigasi Kuciak mengindikasikan keterlibatan sejumlah orang di lingkaran pemerintahan Perdana Menteri Slovakia Robert Fico. Sebelum tewas, Kuciak juga sempat mendapat ancaman dari Marian Kocner, seorang pebisnis yang namanya tersangkut di laporan yang ia tulis.
Setahun setelah penyelidikan dilakukan, pada 14 Maret 2019 Guardianmelapokan otoritas berwenang Slovakia telah mendakwa Kocner sebagai dalang pembunuhan Kuciak. Selain Kocner, ada lima orang lain yang diduga menjadi eksekutor. Sebelumnya, pada Juni 2018, pengusaha yang dilaporkan memiliki lusinan perusahaan tersebut juga telah ditahan di rutan Kota Banska Bystrica karena kasus penipuan.
Ketika kabar tewasnya Kuciak mencuat, sekitar 40.000 orang turun ke jalan menuntut transparansi pengusutan kasus. Aksi itu merupakan yang terbesar sejak Revolusi Beludru yang menggulingkan rezim stalinis Cekoslovakia pada 17 November hingga 29 Desember 1989. Perdana Menteri Fico dan Menteri Dalam Negeri Slovakia Robert Kalinak bahkan sama-sama mengundurkan diri akibat desakan massa aksi yang kian kencang.
Di antara barisan terdepan massa aksi tersebut ada Caputova yang akan dilantir sebagai presiden pada 15 Juni 2019 mendatang.
'Erin Brockovich’ dari Slovakia dan Kekhawatiran Setelah Terpilih
Pada tahun 2000, sutradara Steven Soderbergh membuat sebuah film biografi tentang Erin Brokovich dan diberi judul sama dengan nama sang tokoh. Brokovich adalah seorang aktivis lingkungan dari Amerika Serikat yang pernah memenangkan gugatan sebesar US$333 juta atas kasus pencemaran air minum di California yang dilakukan oleh Pacific Gas and Electric Company pada tahun 1996.
Dibintangi oleh Julia Roberts, film tersebut dinominasikan untuk 5 piala Oscar: Aktris Utama Terbaik, Aktor Pendukung Terbaik, Direktur Terbaik, Gambar Terbaik, Penulisan Naskah Terbaik. Julia sendiri akhirnya memenangkan penghargaan untuk Aktris Utama Terbaik. Tak hanya penghargaan, film ini juga mendapat banyak sekali ulasan positif dari para kritikus, sebagaimana bisa dilihat di Rotten Tomatoes atau Metacritic.
Caputova kerap dijuluki ‘Erin Brokovich dari Slovakia’ lantaran sama-sama berlatarbelakang aktivis lingkungan dan pengacara. Tercatat kurang lebih selama 14 tahun, Caputova bersama organisasi serikat advokasi di Slovakia, Via Iuris, melawan perusahaan yang berusaha membangun tempat pembuangan limbah di kota kelahirannya, Pezinok. Selain mengajukan tuntutan hukum, Caputova juga menulis petisi ke Uni Eropa. Atas perjuangannya tersebut, ia pun didapuk penghargaan Goldman Environmental pada 2016.
Dalam periode melakukan gugatannya itulah Caputova kemudian mengenal Kuciak, seorang jurnalis investigasi di salah satu media Slovakia, Aktuality.sk. Ketika itu, Kuciak juga tengah mengerjakan laporan mendalam mengenai beberapa perusahaan pengemplang pajak dan mafia di lingkaran dalam pemerintah. Salah satu perusahaan yang tengah diselidiki Kuciak rupanya sama dengan yang tengah digugat oleh Caputova. Fakta lain: perusahaan tersebut dimiliki oleh Kocner.
Setelah kemudian Kuciak tewas dan diketahui bahwa dalangnya merupakan Kocner, Caputova pun memutuskan maju dalam pilpres Slovakia lewat Partai Progresif, partai kecil yang turut didirikannya sejak awal dan tidak memiliki satu pun kursi di parlemen. Partai berhaluan liberal ini dikenal vokal mendukung pernikahan sesama jenis, adopsi, dan hak-hak LGBTQ+. Isu-isu inilah, selain juga pemberantasan korupsi dan lingkungan, yang selalu menjadi bahan kampanye Caputova.
Selain dari partai, dukungan juga didapat Caputova oleh Presiden Slovakia, Andrej Kiska, yang tak lama lagi akan menyelesaikan masa jabatannya. Namun demikian, hal menarik lainnya dari Caputova adalah bagaimana ia dengan rendah hati mengakui tidak memiliki pengalaman maupun wawasan yang mumpuni dalam hal pertahanan dan keamanan. "Saya akan mengandalkan para penasihat saya saat menangani masalah-masalah itu. Dan, ketepatan waktu juga menjadi kelemahan saya," ujarnya.
Yang terbaik dari terpilihnya Caputova adalah bagaimana ia membuktikan dapat menang tanpa perlu menyerang lawan, kendatipun slogan kampanyenya cukup keras dan menohok: 'Stand Up to Evil'. Slogan ini menunjukkan bahwa ia betul-betul berkomitmen untuk selalu bertarung melalui kampanye positif demi nilai-nilai progresif dan reformasi politik. Sebuah terobosan yang menyuguhkan momen langka bagi politik Eropa Tengah.
Ketika akhirnya ia menang—baik di putaran pertama (40% suara) dan kedua (58% suara)— Caputova mengatakan kepada Guardian: “Saya senang bukan hanya karena hasilnya, tetapi terutama adalah selalu ada kemungkinan untuk tidak menyerah pada (ideologi politik) populisme, untuk mengatakan yang sebenarnya, serta meningkatkan minat tanpa perbendaharaan kata yang agresif.”
Menurut Balazs Jarabik, seorang pengamat politik dari Carnegie Endowment for International Peace, lembaga think tank yang berbasis di Washington D.C., sikap Caputova dan Partai Progresif tersebut menjadi sesuatu yang menyegarkan pandangan orang terkait kaum liberal. “Itu menunjukkan bahwa kaum liberal harus tetap liberal, dan tidak melawan propaganda dengan propaganda,” ujarnya.
Adapun hal yang mesti diwaspadai dari terpilihnya Caputova adalah: kemenangan itu terjadi dengan tingkat partisipasi rendah (lebih dari 40%). Bukan tidak mungkin pemilihan Eropa pada bulan Mei dan pemilihan parlemen tahun depan akan mendapatkan hasil yang sangat berbeda. Terlebih jika Caputova dan kaum liberal pada umumnya tidak mampu menjaga momentum politik yang telah susah payah mereka capai.
Ingat-ingatlah bagaimana pada tahun 2013, ketidakpuasan publik Slovakia terhadap status quo mengakibatkan terpilihnya Marian Kotleba sebagai Gubernur Banská Bystrica. Dia merupakan tokoh neo-fasis sekaligus pentolan partai ekstrem kanan Slovakia yang ditakik dari namanya sendiri: Kotleba.
Namun, yang terburuk adalah fakta bahwa orang macam Kotleba kini mudah ditemukan di berbagai penjuru dunia.
Editor: Windu Jusuf