tirto.id - Syubhat adalah perkara yang diragukan hukum halal atau haramnya.
Ketika suatu perkara tidak jelas status hukumnya, maka Islam mengajarkan untuk meninggalkan perkara tersebut agar tidak terjatuh pada perkara haram.
Dalam buku Ensiklopedi Hukum Islam (1996) dituliskan bahwa syubhat adalah suatu hal yang ketentuan hukumnya tidak diketahui dengan pasti, apakah dihalalkan atau diharamkan.
Pada pengertian yang lebih luas lagi, syubhat adalah sesuatu yang tidak jelas apakah benar atau tidak, atau masih mengandung kemungkinan benar atau salah.
Contoh perkara syubhat di masa kenabian ditunjukkan ketika Rasulullah SAW menemukan buah kurma sisa yang tergeletak. Karena khawatir terbuang sia-sia, maka beliau SAW memakannya.
Lantas, di malam harinya, Rasulullah tidak bisa memejamkan matanya. Lalu, seorang istrinya bertanya, "Mengapa engkau tidak dapat tidur, Ya Rasulullah?"
"Aku khawatir, jangan-jangan kurma itu dikirimkan ke sini untuk disedekahkan," jawab beliau Saw.
Ketidakjelasan terhadap perkara halal dan haram itulah yang dinyatakan syubhat oleh Rasulullah. Karena itulah, beliau Saw. bersabda:
"Yang halal sudah jelas dan yang haram juga sudah jelas. Namun di antara keduanya ada perkara syubhat [samar] yang tidak diketahui oleh banyak orang. Maka barang siapa yang menjauhi diri dari yang syubhat berarti telah memelihara agamanya dan kehormatannya. Dan barang siapa yang sampai jatuh [mengerjakan] pada perkara-perkara syubhat, sungguh dia seperti seorang penggembala yang menggembalakan ternaknya di pinggir jurang yang dikhawatirkan akan jatuh ke dalamnya ... " (H.R. Bukhari).
Jika seorang muslim tidak mengetahui dengan jelas status suatu perkara, apakah boleh atau tidak dalam Islam, maka sebaiknya ia bersikap wara' atau meninggalkan perkara syubhat tersebut.
Menjaga diri dari perkara yang samar status halal atau haramnya adalah bagian dari kesempurnaan takwa di sisi Allah Swt.
Jenis-jenis Syubhat
Dalam Islam, perkara syubhat ini terbagi menjadi tiga jenis, menurut ulama mazhab Syafi'i, Muhammad bin Ibrahim Ibnu Mundzir an-Naisaburi (242 – 318 H). Penjelasannya adalah sebagai berikut.
Pertama, sesuatu yang haram bercampur dengan yang halal. Misalnya, buah hasil curian termasuk makanan haram. Lalu, buah ini tercampur dengan sekeranjang buah halal lainnya.
Dalam hal ini, makanan haram yang bercampur dengan makanan halal, serta tidak bisa dibedakan, buah mana yang hasil curian [haram] dan buah yang halal, maka ia tergolong perkara syubhat.
Kedua, perkara halal, lalu muncul keraguan. Misalnya, seseorang sudah berwudu untuk salat, lalu ia ragu apakah sudah batal atau belum.
Dalam kasus ini, perkara syubhatnya tidak berpengaruh apa-apa karena keraguan itu muncul atas hal yang pasti (sudah berwudu). Karenanya, ia dapat tetap salat dan ibadahnya tergolong sah.
Ketiga, perkara yang belum jelas status halal atau haramnya. Misalnya, ketika seseorang bepergian ke negara atau wilayah non-muslim, kemudian ia makan di restoran atau warung makan milik penduduk asli sana.
Jika ia tidak bertanya, maka ia tidak tahu status makanan tersebut. Jika makanan itu daging, belum tentu hewan tersebut disembelih sesuai syariat Islam, atau bisa jadi juga daging yang haram.
Karena itulah, ulama mengajarkan doa jika sudah terlanjur memakan makanan syubhat dengan bacaan berikut, sebagaimana dilansir NU Online.
اللَّهُمَّ إِنْ كَانَ هَذَا الطَّعَامُ حَلَالًا فَوَسِّعْ عَلَى صَاحِبِهِ وَاجْزِهِ خَيْرًا وَإِنْ كَانَ حَرَامًا أَوْشُبْهَةً فَاغْفِرْلِيْ وَلَهُ وَأَرْضِ عَنِّيْ أَصْحَابَ التَّبِعَاتِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ بِرَحْمَتِكَ يَا أرْحَمَ الرَّاحِمِيْنَ
Bacaan latinnya: "Allahumma in kana hadzat tha'amu halalan fawassi' 'ala shohibihi, wajzihi khairan wa in kana haraman au syubhatan fagfirlii walahu waardhi 'anni wa ash haabattab'aata yaumal qiyamati birahmatika yaa arhamarraahimiin"
Artinya: “Ya Allah, jika makanan yang saya makan ini halal, maka luaskanlah rezekinya [orang yang memberi makan] dan balaslah dengan kebaikan. Dan jika makanan ini adalah haram atau syubhat maka ampunilah aku dan dia, dan jauhkanlah para penerima konsekuensi [atas dosanya sendiri] dariku kelak di hari kiamat dengan kasih sayang-Mu, wahai Allah yang Maha Penyayang di antara para penyayang.”
Penulis: Abdul Hadi
Editor: Dhita Koesno