Menuju konten utama

Adakah Dalil Soal Haram Ucapkan Selamat Natal bagi Umat Islam?

Adakah dalil soal haram ucapkan selamat Natal bagi umat Islam? Bagaimana hukum mengucapkan selamat Natal di agama Islam. Berikut penjelasan selengkapnya.

Adakah Dalil Soal Haram Ucapkan Selamat Natal bagi Umat Islam?
Ribuan pasang mata Jemaat Katolik yang sedang menjalani misa natal di Gereja Katolik Santa Servatius, Kampung Sawah, Bekasi, Jawa Barat. Rabu (25/12/2019). tirto.id/Alfian Putra Abdi

tirto.id - Adakah dalil soal haram ucapkan selamat Natal bagi umat Islam? Sebelum lebih jauh, tahukah Anda bahwa hukum ucapkan selamat Natal bagi kaum muslim merupakan salah satu perdebatan yang kerap muncul menjelang hari raya umat Kristiani.

Meskipun demikian, umat Islam sebaiknya dapat menyikapi perbedaan pendapat itu secara bijak, sehingga tidak menimbulkan perpecahan.

Para ulama dalam menghukumi mengucapkan selamat Natal terbagi menjadi dua yakni yang mengharamkan dan membolehkan. Perbedaan di antara kedua, yakni bagaimana mereka melihat serta mengkategorikan ucapan selamat Natal.

Para ulama yang mengharamkan melihat ucapan selamat Natal termasuk kategori akidah (keyakinan) yakni doa dan kerelaan atas agama orang lain. Oleh sebab itu, mereka mengharamkan mengucapkan selamat Natal bagi kaum muslim.

Di sisi lain, para ulama yang membolehkan mengkategorikan ucapan selamat Natal sebagai bentuk muamalah (pergaulan) yakni wujud toleransi yang dijunjung tinggi Islam. Maka dari itu, para ulama tersebut membolehkan mengucapkan selamat Natal bagi kaum muslim.

Dalil Soal Haram Ucapkan Selamat Natal bagi Umat Islam

Ilustrasi membaca Al Quran

Ilustrasi membaca Al Quran. FOTO/iStockphoto

Tidak ada dalil dalam Al-Qur'an dan hadis yang secara jelas dan tegas menerangkan keharaman maupun kebolehan mengucapkan selamat Natal, kendati Rasulullah Saw. dan para sahabat hidup berdampingan dengan orang Yahudi dan Nasrani. Maka dari itu, hukum mengucapkan selamat Natal masuk kategori permasalahan ijtihadi yang berlaku kaidah:

لَا يُنْكَرُ الْمُخْتَلَفُ فِيْهِ وَإِنَّمَا يُنْكَرُ الْمُجْمَعُ عَلَيْهِ

Artinya:

"Permasalahan yang masih diperdebatkan tidak boleh diingkari [ditolak], sedangkan permasalahan yang sudah disepakati boleh diingkari".

Berdasarkan kaidah fikih di atas, ulama yang memperbolehkan maupun mengharamkan mengucapkan selamat Natal, sama-sama menggunakan dalil yang hanya berpegangan pada generalitas (keumuman) ayat atau hadis.

Lantas, dalil apa saja yang digunakan para ulama yang mengharamkan ucapkan selamat Natal bagi umat Islam?

Sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya, para ulama yang mengharamkan mengucapkan selamat Natal melihat bahwa ucapan tersebut termasuk kategori akidah (keyakinan). Beberapa ulama dengan pandangan mengharamkan ucapan tersebut di antaranya Ibnu Taimiyyah, Ibnu Qayyim al-Jauziyyah, Syekh Abdul Aziz bin Baz, Syekh Utsaimin, Syekh Ibrahim bin Muhammad al-Haqil, Syekh Ibrahim bin Ja’far, hingga Syekh Ja’far At-Thalhawi.

Adapun salah satu dalil yang digunakan para ulama di atas adalah Surah Al-Furqan ayat 72 sebagai berikut:

وَالَّذِيْنَ لَا يَشْهَدُوْنَ الزُّوْرَۙ وَاِذَا مَرُّوْا بِاللَّغْوِ مَرُّوْا كِرَامًا

Arab Latinnya:

Wal-lażīna yasyhadūnaz-zūr(a), wa iżā marrū bil-lagwi marrū kirāmā(n).

Artinya:

"Dan, orang-orang yang tidak memberikan kesaksian palsu serta apabila mereka berpapasan dengan [orang-orang] yang berbuat sia-sia, mereka berlalu dengan menjaga kehormatannya,"(QS. Al-Furqan [25]: 72).

Para ulama di atas berdasarkan Surah Al-Furqan ayat 72 melihat bahwa kaum muslim yang mengucapkan selamat Natal sama dengan memberikan persaksian palsu dan membenarkan keyakinan umat non-muslim. Mereka (para ulama) juga melihat kaum muslim yang melakukan perbuatan tersebut dianggap rela terhadap kekufuran sebagaimana Surah Az-Zumar ayat 7 sebagai berikut:

اِنْ تَكْفُرُوْا فَاِنَّ اللّٰهَ غَنِيٌّ عَنْكُمْ ۗوَلَا يَرْضٰى لِعِبَادِهِ الْكُفْرَۚ وَاِنْ تَشْكُرُوْا يَرْضَهُ لَكُمْۗ وَلَا تَزِرُ وَازِرَةٌ وِّزْرَ اُخْرٰىۗ ثُمَّ اِلٰى رَبِّكُمْ مَّرْجِعُكُمْ فَيُنَبِّئُكُمْ بِمَا كُنْتُمْ تَعْمَلُوْنَۗ اِنَّهٗ عَلِيْمٌ ۢبِذَاتِ الصُّدُوْرِ

Arab Latinnya:

In takfurū fa'innallāha ganiyyun ‘ankum, wa lā yarḍā li‘ibādihil-kufr(a), wa in tasykurū yarḍahu lakum, wa lā taziru wāziratuw wizra ukhrā, ṡumma ilā rabbikum marji‘ukum fa yunabbi'ukum bimā kuntum ta‘malūn(a), innahū ‘alīmum biżātiṣ-ṣudūr(i).

Artinya:

"Jika kamu kufur, sesungguhnya Allah tidak memerlukanmu. Dia pun tidak meridai kekufuran hamba-hamba-Nya. Jika kamu bersyukur, Dia meridai kesyukuranmu itu. Seseorang yang berdosa tidak memikul dosa orang lain. Kemudian, kepada Tuhanmulah kembalimu, lalu Dia beritakan kepadamu apa yang telah kamu kerjakan. Sesungguhnya Dia Maha Mengetahui apa yang tersimpan di dalam dada,"(QS. Az-Zumar [39]: 7).

Selain dua ayat di atas, dalil lain yang digunakan para ulama yang mengharamkan mengucapkan selamat Natal bagi umat Islam di antaranya hadis sebagai berikut:

  • "Bedakanlah dirimu dari orang-orang musyrik, panjangkanlah jenggot dan cukurlah kumis," (HR Al-Bukhari dan Muslim dari Ibn Umar Ra).
  • "Siapa yang meniru suatu kaum maka ia adalah bagian dari mereka," (HR Abu Dawud dari Ibnu Umar Ra).

Baca juga artikel terkait NATAL 2023 atau tulisan lainnya dari Syamsul Dwi Maarif

tirto.id - Sosial budaya
Kontributor: Syamsul Dwi Maarif
Penulis: Syamsul Dwi Maarif
Editor: Yulaika Ramadhani