tirto.id - Tak ada hari tanpa keceriaan di wajah Caroline Channing, seorang pelayan di kedai makanan kecil di Williamsburg. Sekalipun kemalangan mulai dari jatuh miskin, tak kunjung mendapat pacar, hingga kerap mendapati bos dan pelanggan menyebalkan telah menimpanya, gadis pengujung 20-an ini tidak pernah lama tampak kehilangan energi dalam menjalani harinya.
Ia pun begitu berapi-api saat hendak memulai bisnis bar bersama rekan pelayan sekaligus kawan serumahnya, Max Black yang karakternya begitu kontras dengannya. Jika berhadapan dengan calon klien, tamu, atau orang-orang terkait bisnisnya, Caroline sangat bersemangat dan seolah hanya Tuhan yang tahu kapan ia berhenti berbicara mempromosikan segala hal tentangnya. Ia juga tidak segan mengekspresikan diri setiap kali peristiwa menyenangkan menghampirinya.
Karakter yang dimainkan Beth Behrs dalam serial 2 Broke Girls ini bisa jadi Anda temukan dalam kehidupan sehari-hari. Si periang nan supel yang seakan-akan tak pernah merasa kesulitan menjalin hubungan dengan siapa pun dan dalam kesempatan apa pun. Di tengah kerumunan, energinya akan berlipat ganda.
Saat banyak mata menatapnya, tanpa ragu ia akan menari, menyanyi, atau berbicara karena berada di bawah lampu sorot adalah kesenangannya. Dialah seorang ekstrover, sosok berseberangan dengan introver yang justru sangat menikmati momen-momen jauh dari riuh dan gemar mengobservasi dalam diam. Seperti apa ciri-cirinya dari kacamata psikologi?
Karakteristik si Ekstrover
Patrick Fagan, Senior Behavioral Insights Associate untuk Mountainview Learning dan penggagas Psych Research, menuliskan sejumlah karakteristik orang ekstrover dalam situs A Winning Personality. Beberapa di antaranya ialah percaya diri, optimis, mudah bersosialisasi, supel, dan penuh semangat. Fagan juga menekankan sifat senang mencari sensasi dari si ekstrover yang membedakannya dari introver.
Ia mengutip pemikiran psikolog Hans Eysenck yang menyebut pribadi introver maupun ekstrover merupakan hasil level rangsangan internal, yaitu level sensitivitas dalam sistem reticulo-cortical pada otak. Jika si introver memiliki level rangsangan cortical yang kronis sehingga cenderung sensitif dan hanya memerlukan sedikit stimulasi agar dapat beraktivitas atau bekerja dengan optimal, level rangsangan cortical si ekstrover justru tergolong rendah sehingga ia membutuhkan sensasi dan stimulasi eksternal dalam kesehariannya.
Sebuah riset juga menunjukkan bahwa si ekstrover bekerja lebih baik saat mendengarkan musik-musik riuh dan menyita perhatian.
The Guardianmelaporkan sebuah studi yang dilakukan Sutton Trust di Inggris menunjukkan fakta bahwa sifat asertif, suka berbicara, dan penuh antusiasme yang ditemukan dalam diri si ekstrover berasosiasi dengan pencapaian lebih tinggi saat dewasa. Kepala Sutton Trust, Sir Peter Lampl, menyatakan, “Untuk mendapat pekerjaan-pekerjaan terbaik, Anda tentunya membutuhkan nilai yang bagus. Namun, apakah itu cukup?
Riset terbaru dari Harvard menunjukkan bahwa hampir seluruh pekerjaan yang berkembang di AS selama 20 tahun terakhir merupakan pekerjaan yang menuntut kemampuan sosial dan tren ini tampaknya akan terus meningkat.” Ia juga menambahkan, kemampuan sosial seperti kepercayaan diri, aspirasi, fleksibilitas, dan kreativitas penting untuk disisipkan dalam kurikulum sekolah agar peluang sukses anak muda kian terbuka lebar di kemudian hari.
Terlepas dari sisi-sisi positif ini, si ekstrover pun mengantongi sejumlah sifat yang lantas menjadi stereotip negatif. Mereka sering diasumsikan berpemikiran dangkal, arogan atau egois, serta gila perhatian yang cenderung narsisis.
Persepsi dan Ekspektasi yang Tidak Selamanya Terbukti
Melihat karakter seseorang dengan generalisasi mutlak tentunya bukanlah opsi yang bijak. Tak ada yang benar-benar hitam atau putih di dunia ini, pun demikian dengan si Ekstrover. Meski terlihat terus tersenyum di depan publik, si ekstrover juga mengalami kepelikan-kepelikan sebagaimana orang-orang introver.
Susie Moore, yang mendaku sebagai seorang ekstrover, memaparkan sebagian hal-hal tak menyenangkan yang kerap dialaminya dan tidak sering diketahui orang non-ekstrover dalam situs Greatist. Keramahan seorang ekstrover tidak jarang diartikan sebagai bentuk godaan terhadap orang lain. Ia juga diharapkan terus ceria dalam berbagai kesempatan.
Padahal, sama seperti introver, mereka juga punya masa-masa sendu, utamanya bila mereka terjauhkan dari keramaian atau lingkaran pergaulan. Orang-orang ekstrover menurut Moore senantiasa dilekatkan dengan stigma tak tulus atau dangkal. Nyatanya, kedalaman diri seseorang tidak dapat diukur dari apa yang tampak kasat mata saja. Banyak orang ekstrover yang memperkaya wawasannya dengan menyerap pelajaran dari macam-macam media serta pertemuan dengan orang-orang yang berinteraksi dengannya.
Dalam Psychology Today, Jack Schafer, Ph.D. mengatakan bahwa si ekstrover cenderung mengambil tindakan secara spontan. Hal ini kerap diterjemahkan para introver sebagai perilaku sembrono dan tanpa rencana. Padahal, menjadi spontan dan menerapkan metode coba dan gagal adalah cara ekstrover menjalani kehidupannya.
Meski banyak sumber informasi yang membuat dikotomi antara introver dan ekstrover, bahkan mencoba menyetir pandangan bahwa salah satu di antaranya lebih unggul dari yang lain, S. K. Mangal (2002) berargumen dalam buku Advanced Educational Psychology bahwa tak sepatutnya orang berasumsi ada pemisah tegas antara keduanya.
Mengutip pendapat Jung, manusia memiliki kedua sisi tersebut, hanya saja salah satunya lebih dominan dan tampak dalam kehidupan sehari-hari. Bahkan, seseorang yang dikatakan introver dapat beralih menjadi ekstrover dan sebaliknya.
Penulis: Patresia Kirnandita
Editor: Maulida Sri Handayani