tirto.id - Di sebuah malam, saya terlibat perbincangan tentang introvert dan ekstrovert. Seorang kawan—sebut saja F bercerita tentang kawan kami yang lain—sebut saja sebagai A.
Sang kawan F mengeluhkan sikap A yang suka buru-buru, seolah selalu dikejar-kejar waktu. Sebelum kami mengobrol lewat telepon, F rupanya meminta bantuan A mengantarnya ke rumah kawan lain untuk menjemput barang, tapi A langsung buru-buru pergi setelah memberi pertolongan. Padahal F ingin mengobrol dulu dengan A, karena sudah lama tidak mengobrol sebagai sahabat.
“Aku jadi ingin bikin status: Manusia zaman sekarang harusnya punya penilaian lebih tinggi pada hal-hal kecil. Misalnya pada basa-basi. Setidaknya basa-basi bisa bikin hal besar macam pertemanan kekal lebih lama,” kata F yang memancing gelak tawa.
Sang kawan F sebenarnya tidak sebal kepada A, karena A memang dikenal punya citra ‘dingin’ di lingkaran pertemanan kami. Orang-orang sudah mafhum, hanya saja F merasa ada pelajaran penting yang perlu dibuatkan status, sebagai hikmah pertemuannya dengan A pada malam itu.
Selain gelak tawa, saya juga beri gambaran pada F tentang kemungkinan perbedaan perspektif antara dirinya dengan kawan A. Sosok F memang seorang ekstrovert—senang dengan basa-basi, sementara A adalah seorang introvert—yang memang selalu jadi orang yang sedikit bicara dalam setiap percakapan. Rasanya tidak adil kalau memberi cap A sebagai orang yang tidak respek pada pertemanan, cuma karena punya sifat terburu-buru. Kawan F akhirnya sepakat, dengan mengurungkan niat membuat status.
Cerita soal pribadi-pribadi introvert yang disalahpahami seperti kisah A tentunya sering mewarnai interaksi kita antar sesama, dan bisa jadi tak lebih kompleks dari sekadar kisah kawan A dan F.
Menurut Susan Cain, penulis buku Quiet: The Power of Introverts in a World That Can’t Stop Talking, stigma dan perlakuan tak adil pada pribadi-pribadi introvert sudah berlangsung sejak abad ke-19 dan makin parah di awal abad ke-20. Bahkan menimpa hampir separuh manusia di muka bumi yang pada dasarnya adalah introvert.
Hal ini bermula ketika industri di Amerika Serikat bangkit pada awal abad ke-19. Masyarakat Barat yang punya pemikiran dasar seperti pemikiran Yunani-Romawi memuja-muja orasi, dan lebih suka pada orang-orang yang beraksi ketimbang orang yang berkontemplasi, akhirnya memandang sifat introvert seseorang sebagai kekecewaan dan parasit karena dianggap sebagai ketidakcakapan dalam berkomunikasi dan bersosial antar sesama.
Saat industri bangkit, perusahaan-perusahaan kemudian mulai mendefinisikan karakter-karakter yang dianggap layak dipekerjakan. Kecakapan dalam berkomunikasi mulai dimajukan sebagai karakter utama "yang dibutuhkan" dalam dunia industri.
Orang-orang yang lebih suka menyendiri dan diam dalam keseharian lambat laun—mau tak mau—harus menyesuaikan diri dengan karakterisasi tersebut. Ini disebut Cain sebagai "pola pikir ekstrovert", yang kemudian tumbuh subur di Amerika Serikat dan negara-negara yang ter-amerika-sasi. Pemikiran ekstrovert ini yang didefinisikan Cain sebagai “keyakinan bahwa di mana pun sosok yang ideal harus suka berteman, bersifat pemimpin, dan nyaman menjadi sorotan”.
Padahal tak semua orang suka bergaul ataupun nyaman menjadi sorotan. Terutama mereka yang introvert. Tak semua ekstrovert juga menjadi pemimpin yang baik. Pola-pola pikir demikian yang kemudian disebut Cain sebagai dasar diskriminasi tak kasat mata yang terjadi menimpa para introvert.
Mereka yang punya sifat dasar introvert cenderung jadi masyarakat kelas dua di dunia yang dominan ekstrovert. Sering disalahpahami sebagai pemalu, pendiam, antisosial. Padahal ada perbedaan yang tegas di antara satu sama yang lain.
Secara garis besar, Cain mendefinisikan introvert sebagai sikap seseorang yang mengumpulkan energinya dari dalam diri sendiri. Sementara ekstrovert adalah sikap seseorang yang mengumpulkan energi dari luar dirinya. Artinya, orang-orang introvert memang butuh waktu sendiri lebih banyak untuk mengumpulkan energi ketimbang mereka yang ekstrovert. Sehingga wajar jika orang-orang introvert tidak lebih sering berkumpul dengan kawan, energi mereka justru tersedot oleh keramaian. Sedangkan pribadi ekstrovert justru kondisi keramaian jadi sebuah energi besar bagi mereka.
Sementara mereka yang pemalu adalah mereka yang merasa tertekan atau stres ketika harus bertemu orang banyak; buah dari ketakutan atas pikiran orang lain terhadap dirinya sendiri. Introvert tidak demikian, ia tetap percaya diri dalam keramaian, hanya saja lebih senang untuk terlibat di belakang layar ketimbang harus jadi pusat perhatian.
Kesalahpahaman-kesalahpahaman ini akhirnya menggiring dunia menuntut introvert untuk berperilaku sebagaimana ekstrovert. Padahal menurut Cain, tak ada yang salah dari kedua-duanya, baik menjadi ekstrovert maupun introvert. Menurutnya, semua orang punya spektrumnya masing-masing dan tetap bisa cemerlang dengan menjadi dirinya sendiri. Justru, pemaksaan menyeberang karakter yang dialami orang-orang introvert akan berdampak buruk pada pengembangan dirinya.
"Setiap kali Anda mencoba hidup sebagai seseorang yang sejatinya bukan Anda, separuh jiwa Anda menghilang seiring waktu. Anda tidak akan ingat lagi cara menghabiskan waktu seperti biasanya,” tulis Cain.
Cain mau menegaskan bahwa orang-orang yang dipaksakan menyeberang dari karakter aslinya akan berakhir kepayahan mendefinisikan kebahagiaan yang mereka inginkan.
Dalam Quiet, Cain akhirnya berkesimpulan agar semua orang di spektrum manapun untuk saling memahami. Baik introvert dan ekstrovert tercipta untuk saling melengkapi. Ia mengutip penelitian yang menunjukkan bahwa orang-orang introvert lebih baik dalam memimpin karyawan yang proaktif karena mereka mau mendengarkan dan membiarkan mereka berkreasi, sementara orang-orang ekstrovert lebih baik memimpin karyawan yang pasif karena mereka memiliki dorongan motivasi dan inspirasi.
Keseimbangan itu yang dikejar Cain. Ia berharap dunia akan lebih adil pada orang-orang introvert yang juga akan jauh lebih berkualitas ketika lingkungannya lebih mendukung. Menurut Cain, orang introvert lebih sedikit berbuat curang dan melanggar peraturan, dianggap sebagai sosok yang empatik atau rajin oleh orang tua dan orang sekitarnya. Mereka juga kecil peluangnya mengalami kecelakaan mobil, terlibat dalam olahraga ekstrem, atau main judi besar-besaran. Semua itu berdasarkan sikap introvert yang memang lebih pasif dan tak mau macam-macam.
Di dunia yang dominan ekstrovert, selain dicap sebagai pemalu, orang-orang introvert juga sering diasosiasikan dengan penyakit kejiwaan psikopat. Hanya karena kebanyakan psikopat punya banyak sifat-sifat individualis macam seorang introvert. Masyarakat ekstrovert juga sering mencap pribadi introvert seorang antisosial dan sebagai sebuah masalah, ketimbang mengurainya sebagai salah satu kemajemukan sosial.
Dalam artikel “Jangan Sebut Anak Introvert Sebagai Pemalu” yang diterbitkan TIME, Cain menggambarkan diskriminasi yang dilakukan masyarakat ekstrovert. Ia mendeskripsikan bagaimana masyarakat bahkan meremehkan sikap-sikap introvert sejak mereka masih anak-anak. Orangtua yang memiliki anak-anak pendiam akan bersikap lebih reaktif karena punya anak pendiam ketimbang yang hiperaktif. Orang tua cenderung memaksakan perlakuan-perlakuan yang akhirnya memaksa sang anak untuk jadi pribadi yang ‘sesuai’ dengan cap ekstrovert.
Padahal menurut Cain, sikap introvert dan ekstrovert sudah bisa dilihat sejak manusia masih bayi. Sehingga perlakuan sesuai spektrumnya bisa diterapkan tanpa harus dipaksa mengikuti spektrum tertentu. Bayi yang sangat reaktif (lebih sensitif) terhadap stimulasi cenderung tumbuh menjadi seorang introvert, sementara bayi yang kurang reaktif (kurang sensitif) cenderung menjadi seorang ekstrovert yang bergantung pada energi di sekitar mereka. Pemahaman ini, menurut Cain, nantinya akan membantu memaksimalkan tumbuh kembang anak.
Uraian Cain tentang nasib introvert di dunia dominan ekstrovert ini rupanya dirayakan mereka-mereka yang merasa diwakilkan suaranya oleh Cain. Dalam tulisannya di Forbes berjudul “So Begins A Quiet Revolution Of The 50 Percent," Jenna Goudreau menulis bahwa gagasan Cain disambut baik para introvert yang merasa keberadaannya tervalidasi. Kebutuhan mereka untuk tetap seimbang dalam hidup merasa disorot untuk pertama kalinya.
Psikolog Christopher Peterson, dalam tulisannya di Psychology Today, bahkan mengakui kecenderungan para ilmuan psikologi menerbitkan hasil-hasil temuan mereka berdasarkan ‘pola pikir ekstrovert’ seperti yang digambarkan Cain. Hal ini tentu saja bisa merugikan orang-orang introvert yang akan terus dicap aneh bila dilihat dari perspektif ekstrovert.
Saya sendiri, yang akhirnya berlabel INTJ alias Introversion, Intuition, Thinking, Judgement berdasarkan tes kepribadian Myers-Birggs Type Indicator (MBTI) juga kadang merasa kesulitan untuk mengimbangkan diri dengan tuntutan dunia yang dominan ekstrovert. Penelitian-penelitian seperti yang dilakukan Cain setidaknya membantu para introvert untuk tak terjebak dalam stigma para ekstrovert.
Penulis: Aulia Adam
Editor: Suhendra