tirto.id - (Trigger warning: artikel ini mungkin mengandung konten yang dapat memicu orang-orang yang memiliki pemikiran atau keinginan untuk self harm atau bunuh diri. Segera hubungi tenaga profesional kesehatan jiwa jika Anda memiliki pemikiran atau keinginan untuk menyakiti diri sendiri atau bunuh diri).
Belakangan, publik dikejutkan oleh aksi menyakiti diri sendiri (self harm) yang dilakukan lebih dari 50 remaja di Bengkulu Utara. Frustrasi dan pencarian jati diri jadi alasan perilaku menyimpang tersebut.
“Terkait berita 52 siswa/siswi SMP yang menyayat tangan sendiri, mereka lakukan setelah melihat media sosial TikTok,” kata Kapolres Bengkulu Utara AKBP Andy Pramudya Wardana.
Para remaja itu menggunakan benda-benda tajam seperti silet dan kaca untuk membuat goresan ringan di kulit. Lukanya kecil dan tidak dalam, efeknya pun bukan untuk mengakhiri hidup, tapi membikin rasa sakit sesaat.
Kejadian ini mirip seperti fenomena yang terus terulang di berbagai negara selama beberapa musim. Misalnya Momo Challenge atau Blue Whale Challenge.
Momo Challenge sempat ramai dibicarakan pada 2018 lalu. Momo diwakilkan oleh sebuah ilustrasi gadis dengan visual mengerikan yang menjadi kedok oknum untuk meretas data dan informasi pribadi pengguna. Aktor di baliknya memanfaatkan informasi tersebut untuk memeras korban.
Para korban akan diberi “tantangan” oleh Momo, mulai dari level rendah dan terus naik hingga level berbahaya dan mengancam nyawa. BBC menulis bahwa beberapa pemain akan mendapat respons pesan dengan gambar kasar dan agresif dari Momo. Sebagian lain mengatakan mendapat respons ancaman.
Unit Investigasi Kejahatan Siber di Negara Bagian Tabasco, Meksiko, mengatakan bahwa tren Momo bermula dari tantangan di Facebook yang meminta anak-anak berkomunikasi dengan nomor asing.
Momo Challenge kabarnya telah membuat seorang gadis Argentina berusia 12 tahun bunuh diri dengan mengikatkan lehernya pada sebatang pohon di belakang rumah.
Serupa seperti tantangan Momo, fenomena Blue Whale Challenge juga naik daun pada 2017. Permainan ini diyakini telah membuat banyak anak terluka karena meminta mereka mengukir gambar paus biru di lengan menggunakan benda tajam. Anak-anak juga diminta menonton video dan menyelesaikan tantangan mengerikan lain dalam jangka waktu 50 hari.
Rodrigo Nejm, seorang ahli informatika dari Safernet, seperti ditulis BBC, memperingatkan orang tua agar mendidik anaknya untuk menjaga data pribadi. Pasalnya, anak-anak yang menggunakan gawai belum tentu punya kedewasaan dalam mengenali situasi berbahaya.
“Legenda urban selalu ada, internet tak merubah hal itu, dan penjahat memanfaatkannya,” kata Nejm.
Pengalihan dari Rasa Sakit secara Mental
Tren Blue Whale Challenge diduga telah diikuti oleh ratusan anak di dunia, sementara Momo Challenge juga telah menyebar dari Argentina ke Amerika, Prancis, dan Jerman. Tren di TikTok yang membuat lebih dari 50 remaja di Bengkulu Utara menyakiti diri sendiri mungkin juga sudah menyebar ke wilayah lain.
Ada beberapa alasan yang melatarbelakangi tren berbahaya justru membuat gandrung anak-anak. Alasan pertama karena ia bersifat layaknya penyakit menular.
Studi garapan epidemolog dari Universitas Ottawa Ian Colman (2020) menyebut bahwa perilaku self harm punya kecenderungan “menular” di kalangan remaja. Untuk sampai pada simpulan ini, Colman meneliti dan mensurvei data lebih dari 1.400 remaja Ontario, Kanada, berusia 14-17 tahun. Responden yang pernah mengetahui perilaku self harm temannya punya risiko 2-3 kali lebih besar untuk memikirkan atau bahkan sudah melakukan tindakan serupa.
"Perilaku menyakiti diri sendiri lebih umum dilakukan ketimbang upaya bunuh diri atau kematian akibat bunuh diri," kata Ian Colman seperti dikutip laman resmi Universitas Ottawa.
Hal ini patut diwaspadai karena perilaku self harm bukan hanya tanda seorang remaja mengalami tekanan mental. Ia juga merupakan prediktor perilaku bunuh diri di kemudian hari.
Alasan lainnya, anak-anak melakukan hal berbahaya itu untuk menyingkirkan perasaan terpendam. Rasa sakit fisik mengalihkan mereka sementara dari rasa sakit psikologis.
Data dari NHS Digital yang dipublikasikan oleh The Guardian menunjukkan bahwa di Inggris, jumlah anak usia 3-9 tahun yang menyakiti diri sendiri meningkat 27 persen selama 2012-2017. Kelompok usia ini juga mendapat persentase peningkatan 13 persen hanya pada periode 2016-2017 untuk aksi lompatan berbahaya.
Di periode yang sama, 107 anak kelompok usia tersebut dirawat di rumah sakit karena menyakiti diri sendiri. Ada banyak anak berusia mulai dari tiga tahun yang menggosok kulit menggunakan karet, membenturkan kepala ke dinding, mencabut rambut, menggigit, menggaruk, dan menampar diri sendiri.
“Semua itu mereka lakukan untuk mendapat perasaan lega,” kata Suzanne Skeete, seorang pekerja kesehatan mental kepada The Guardian.
Sementara itu, Harsheen Arora, seorang psikolog di India, mengatakan bahwa anak-anak ini tak memiliki kesiapan mental untuk mengolah informasi yang begitu banyak dalam internet. Anak-anak yang emosinya tak stabil, tertekan secara emosional, dan mengalami ragam konflik remaja mudah terjebak paparan negatif internet.
Bagi mereka, tantangan menyakiti diri sendiri tampak seperti penyaluran yang mereka butuhkan.
“Tantangan itu berkembang dengan memanipulasi dan memainkan emosi,” kata Aurora dikutip dalam laman Indian Express.
Alasan terakhir, anak-anak sering kali ingin dipandang “mampu” dan pemberani lantara tantangan self harm itu memberi klaim pencapaian. Ada dua tipe anak yang mungkin mudah terjerat, yakni anak tipe pemberani atau petualang dan mereka yang umum diejek sebagai “pecundang”. Kelompok terakhir, lanjut Aurora, merasa menemukan teman senasib dalam tantangan mengerikan itu.
“Mereka cenderung mengambil tantangan dan merasa pantas bernasib seperti itu sebagai pengorbanan akhir memuliakan diri sendiri.”
Pada akhirnya, peran orang tua tetap penting dalam hal pengawasan kepada anak-anak. Terutama, ketika mereka berhadapan dengan arus teknologi dan informasi dalam internet. Penting mengecek saluran aktivitas maya mereka, memantau perubahan perilaku, dan selalu menyediakan waktu khusus untuk bertukar cerita.
Editor: Fadrik Aziz Firdausi