tirto.id - Tak lama usai merdeka, dimotori oleh Presiden Sukarno, sebagaimana dipaparkan Andre Vltchek dalam buku berjudul New Capital of Indonesia: Abandoning Destitute Jakarta, Moving to Plundered Borneo (2020), "Indonesia merangkak menjadi pemimpin dunia. Masih miskin, memang, tetapi dipenuhi dengan rasa optimisme dan harapan yang tinggi." Suatu keadaan yang sangat indah yang terjadi karena, menolak uluran imperialis, Indonesia mengelola sumber daya miliknya seorang diri dengan "tegas dan tanpa kompromi."
Bagi Sukarno, salah satu cara terbaik untuk menjaga negeri yang baru merdeka agar tetap bisa berdikari adalah memindahkan ibu kota negara dari Jakarta ke titik sentral Indonesia. Titik sentral yang dimaksud adalah wilayah di tengah-tengah hutan hujan Kalimantan, antara sungai Kahayan dan Sabangau, sekitar 200 kilometer dari Banjarmasin.
Wilayah ini hanya memiliki satu desa, Pahadut, yang kemudian bertransformasi menjadi Palangkaraya. Lokasi yang sangat pas; Indonesia memiliki cukup waktu untuk melakukan serangan balik seandainya diserbu Malaysia yang waktu itu dipandang sebagai boneka Inggris. Tentu, Palangkaraya pun dipilih karena dapat memudahkan pengelolaan segala penjuru negeri berkat lokasinya.
Dalam benak Sukarno, seorang insinyur lulusan Institut Teknologi Bandung (ITB), ibu kota baru yang hendak didirikan dirancang dengan danau besar nan megah sebagai titik sentral. Dengan dukungan sistem transportasi publik yang terintegrasi, di sekeliling danau akan didirikan pemukiman, universitas, pusat penelitian, perpustakaan, museum, teater, gelanggang olahraga, dan taman bermain. Dan, karena Sukarno menginginkan Palangkaraya sebagai kota metropolis selayaknya Moskow alias "Moskow kedua," arsitek, teknisi, serta pekerja asal Uni Soviet diundang untuk membantu pembangunan ibu kota baru republik ini.
Per 17 Juli 1957, cita-cita Sukarno memindahkan ibu kota tersebut resmi dimulai. Memulai pembangunan satu per satu fasilitas, tulis Vltchek, "dengan gesit dan penuh antusias."
Nahas, belum juga semua fasilitas dasar itu berdiri, tragedi menghampiri Indonesia. Kala itu, dimulai pada 30 September (1 Oktober) 1965, Jenderal Suharto, dibantu kekuatan Amerika Serikat, berhasil merampas kekuasaan dari Sukarno. Warisan-warisan Sukarno dibabat, termasuk rencana pemindahan ibu kota.
Ibu kota baru di republik yang lalu dikuasai Suharto akhirnya menjadi kenangan semata. Belakangan, rencana Sukarno kembali muncul. Ibu kota negara direncanakan pindah. Bukan karena Sukarno berkuasa kembali, tentu saja, tetapi karena Jakarta, ibu kota berpenghuni lebih dari 10,5 juta penduduk, perlahan tapi pasti hancur akibat tata kelola yang buruk.
Jakarta
Dari sebatas tempat berlabuh kapal-kapal di zaman Kerajaan Padjajaran, Jakarta bertransformasi menjadi kota satelit milik Kesultanan Banten yang kemudian dikuasai Belanda dan, perlahan, berakhir menjadi megalopolis Asia Tenggara.
Sebagai kota, sebut Christopher Silver dalam bukunya berjudul Planning the Megacity: Jakarta in the Twentieth Century (2008), Jakarta baru mulai benar-benar dibangun pada abad ke-18 dan 19. Aktor utama pembangunan itu adalah Belanda. Pembangunan dilakukan untuk memenuhi kebutuhan penguasa dan pemodal. Di kota ini juga tata kota ditegakkan dengan basis segregasi ras.
Kala itu, di bawah kekuasaan Gubernur Jenderal Jan Pieterszoon Coen, Belanda membangun Jakarta dengan memisahkan tempat bermukim bagi kaumnya sendiri (Eropa/kulit putih), keturunan Cina, Arab, serta pribumi melalui tata kota berpola grid, lengkap dengan kanal-kanal (groot river) yang memecah Jakarta (Batavia) menjadi dua bagian, Barat dan Timur. Tata kota ini membuat pribumi tak dapat merangsek ke area yang diperuntukkan bagi kaum Eropa. Karena tata kota berpola grid ini pula, wilayah yang diperuntukkan bagi orang Eropa dibangun dengan sangat apik, mirip seperti kota-kota di Belanda, yang jauh berbeda dengan wilayah kaum pribumi.
Sayangnya, meskipun wilayah yang diperuntukkan bagi kaum Eropa dibuat apik, penghuninya tak pernah menganggap Jakarta sebagai rumah. Walhasil, kanal-kanal yang mengelilingi pemukiman orang Eropa pun tak terurus. Perlahan, kanal mati tertutup sedimen yang kian menggunung hingga mengakibatkan pelbagai penyakit seperti tipus dan malaria merebak.
Tak ingin repot, Belanda memilih membangun pemukiman baru untuk kaumnya di sebelah Utara Jakarta lengkap dengan jaringan pipa air untuk menopang hidup. Sementara pemukiman pribumi tetap dibiarkan berdampingan dengan kanal-kanal yang telah membusuk, yang diperparah lagi dengan ketiadaan jaringan pipa air.
Dari titik tersebut, Belanda "mengajari" kaum jajahannya untuk mengusahakan kebutuhan air seorang diri, entah memanfaatkan kanal-kanal yang telah membusuk atau mengambil air dari dalam tanah (akuafilter). Keadaan yang terus bertahan bahkan hingga hari ini.
Masalahnya, karena di zaman Belanda penduduk pribumi hanya berjumlah sekitar 150.000-an jiwa, usaha-usaha masyarakat mengambil kebutuhan air dari dalam tanah tak terlalu berdampak pada lingkungan. Namun, karena Jakarta kemudian menjadi "primate cities" atau pusat segala kegiatan yang menarik orang-orang dari seluruh Nusantara untuk mengadu nasib, muka tanah ibu kota republik ini tiap tahun mengalami penurunan, bervariasi antara 7,5 cm hingga 32,8 cm. Demikian menurut studi Rochman Djaja berjudul "Land Subsidence of Jakarta Metropolitan Area" (2004).
Menurut Andre Vltchek dalam New Capital of Indonesia: Abandoning Destitute Jakarta, Moving to Plundered Borneo (2020), pembangunan masif Jakarta "tak pernah memperhatikan penataan kota dan hanya manut pada kepentingan kaum berduit semata." Ini Membuat Jakarta, sebagaimana dilaporkan Vox dalam publikasinya berjudul "Why Jakarta is Sinking", perlahan meniti jalan menuju kematiannya. Ditambah buruknya sistem transportasi yang membuat masyarakat harus bergantung pada kendaraan pribadi, Verisk Maplecroft, firma konsultasi risiko bisnis asal Inggris, menganggap Jakarta sebagai "kota terburuk di dunia."
Keadaan ini akhirnya membuat pemerintah, di bawah kekuasaan Presiden Joko Widodo, memutuskan untuk memindahkan ibu kota, kabur dari masalah kritis yang menggelayuti ke Kalimantan. Bukan ke Palangkaraya, tetapi ke sebuah wilayah di antara Balikpapan dan Samarinda.
Ibu kota baru yang hendak dibangun, menurut Jokowi, akan memiliki segala fasilitas terbaik, termasuk Silicon Valley ala Indonesia, guna mengalahkan Dubai.
Ada problem besar di sini: Dubai adalah salah kota terburuk di dunia.
Dubai
Sebelum 1697 menampakkan hidungnya, Tsar Rusia Peter Agung terpesona dengan Eropa melalui buku-buku serta surat kabar yang dibacanya. Melalui pengetahuan yang dimiliki tentang Eropa dan berkaca pada keadaan negeri yang dipimpinnya, Peter menganggap bahwa Rusia, tanah suku-bangsa Rus, tertinggal jauh dibandingkan negeri-negeri jiran.
Tak ingin terus-terusan tertinggal, Peter mencanangkan proyek ambisius: memodernisasi segala aspek kehidupan agar Rusia persis seperti Eropa. Menurut Peter, modernisasi akan berhasil seandainya ia pergi ke Eropa dan "mencuri" segala ilmu pengetahuannya demi kepentingan bangsa. Sayangnya, terakhir kali seorang Tsar Rusia menginjakkan kaki di Eropa, yang terjadi adalah invasi.
Tak ingin membuat kegaduhan, Peter memutuskan pergi dengan menyamar sebagai Peter Mikhailov, tukang kayu asal Rusia yang berniat mengasah kemampuan di Eropa. Pada 1697, Peter memulai petualangannya, menginjakkan kaki di Inggris, Prancis, Jerman, dan, terutama, Belanda. Bagi Peter, Belanda adalah "pusat kekuatan Eropa" saking suksesnya menguras kekayaan Nusantara. Plus, segala ilmu pengetahuan bersarang di Belanda. Kekaguman inilai yang membuat sang kaisar tak ragu magang kerja selama empat bulan di Vereenigde Oost Indische Compagnie (VOC) di Amsterdam.
Tak disangka, usai tinggal di Amsterdam sebagai karyawan magang, cinta lokasi (dalam arti sesungguhnya) tumbuh dalam hati Peter. Sang kaisar ini jatuh cinta pada Amsterdam. Usai kembali Rusia, Peter mendirikan Sankt Pieter Burk a.k.a St. Petersburg alias, diturunkan dari bahasa Belanda, "kotanya St. Peter." Kota yang berdiri di atas tanah kosong di penghujung Sungai Neva ini adalah tiruan Amsterdam, baik dari segi bangunan maupun segala fasilitas publiknya.
Lebih dari dua abad berlalu, kebijakan Peter menyalin-tempel Amsterdam ditiru penguasa lain. Bukan oleh Tsar Nicholas II--yang tewas disikat Bolshevik--melainkan Sheikh Rashid bin Makhtoum bin Hasher. Peter membangun Petersburg, Rashid membangun Dubai di Jazirah Arab.
Dalam A History of Future Cities (2014), Daniel Brook menyatakan Dubai tak pernah dibangun selayaknya sebuah kota hingga abad ke-20 meskipun menjadi titik temu perdagangan dan pelayaran (dan kini penerbangan) antara Eropa, Asia, dan Afrika. Pasalnya, Dubai berdiri di atas hamparan padang pasir yang mempersulit aktivitas manusia. Semenjak kelahiran kota ini (kira-kira 2.000 tahun yang lalu) Dubai akhirnya hanya menjadi "kota mati". Bahkan, tatkala berkuasa di Dubai pada abad ke-18, Inggris tak membangun apa pun di sana, dan membiarkan kota itu dikuasai para sheikh lokal.
Kini ketertinggalan Dubai adalah sejarah. Setelah Kekaisaran Persia menaikkan tarif bersandar bagi kapal-kapal di pelbagai pelabuhan miliknya pada awal abad ke-20, Sheikh Makhtoum bin Hasher, penguasa Dubai kala itu, bersiasat dan mendeklarasikan semua pelabuhan di Dubai gratis disinggahi, tanpa pajak. Kebijakan ini membuat Dubai akhirnya dipilih pelayar/pedagang sebagai tempat bersandar. Dus, jadilah Dubai "kota persinggahan".
Sejak itu Dubai bertransformasi menjadi "kota hidup" yang mulai bisa membiayai pelbagai pembangunan. Nahas, karena mendirikan bangunan di atas padang pasir bukan pekerjaan mudah dan berbiaya mahal, Sheikh Makhtoum membangun Dubai sebagai kota yang biasa-biasa saja. Saking biasanya, para saudagar Inggris menyebut Dubai "kota yang tertinggal di abad ke-17".
Pembangunan yang biasa-biasa saja ini akhirnya terhenti manakala minyak mengucur deras dari tanah Dubai pada 1966. Boom minyak membuat Sheikh Rashid bin Makhtoum bin Hasher, Emir Dubai yang baru saja naik takhta menggantikan ayahnya, memodernisasi Dubai secara masif. Ia menyulap kota gersang itu menjadi "London". Sebagaimana Peter Agung melihat Amsterdam, Sheikh Rashid bin Makhtoum bin Hasher memandang London sebagai kota yang "sempurna".
Sheikh Makhtoum meminta bantuan arsitek-arsitek asal Inggris untuk menyulap Dubai, "dari kota di dunia ketiga--atau mungkin dunia keempat--menjadi kota nomor satu di dunia dalam 15 tahun." Dan, karena Sheikh Makhtoum menganggap minyak tak akan selamanya muncul dari tanah Dubai, ia meminta pembangunan yang dilakukan para arsitek Inggris tersebut "dibuat seolah-olah minyak tidak pernah ada di Dubai."
Sayangnya, belum juga Dubai berubah menjadi London, selayaknya kisah klasik orang kaya baru, Sang Emir berubah pikiran. Ia memerintahkan para pembantunya untuk mencari "semua keindahan di seluruh dunia dan menirunya" di Dubai. Keputusan ini membuat Dubai kini menjadi kota modern tanpa arah. Ia membangun pelbagai infrastruktur yang membuat orang-orang yang melihatnya berdecak kagum--mulai dari Burj Khalifa, Burj Al Arab, hingga Palm Islands--tetapi tak terintegrasi dengan baik.
Tak hanya itu, karena pembangunan di Dubai berbiaya super mahal, properti harus ditebus kocek tebal bagi masyarakat yang menginginkannya.
Nahas, jauh semenjak Sheikh Makhtoum berkuasa hingga saat ini, Dubai merupakan kota yang lebih banyak diisi pendatang. Lebih tepat, pendatang ilegal yang tidak memiliki cukup uang. Walhasil,segala kemewahan Dubai hanya dapat dinikmati kalangan kaya, yakni ekspatriat--karena istilah imigran hanya untuk kaum miskin--asal Eropa.
Dubai, sebagaimana dipaparkan Ahmed Kanna dalam bukunya berjudul Dubai: The City as Corporation (2011), akhirnya bukan bertransformasi menjadi London, tetapi, seperti Belanda membangun Jakarta, kota yang sangat tersegregasi. Kota di mana yang kaya mengisolasi diri dari yang miskin. Semrawut di sekitar hunian orang miskin berada, megah di titik-titik orang kaya berkumpul. Layak ditempati pemilik Lamborghini, tetapi tidak untuk pengguna transportasi publik. Di tempat inilah perbudakan modern menjadi tulang punggung ekonomi bangsa.
Selain "City of Gold," Dubai adalah "City of Slaves," simpul Nicholas Cooper, peneliti asal University of New Mexico.
Editor: Windu Jusuf