Menuju konten utama

Kontroversi Simbol Garuda di Istana Negara Ibu Kota Baru

Desain istana di ibu kota baru dikritik tak ramah lingkungan dan penuh dengan simbol jargonistik yang politis.

Kontroversi Simbol Garuda di Istana Negara Ibu Kota Baru
Visualisasi Gedung Istana Ibukota baru. Instagram/Igtv/Suharso monoarfa

tirto.id - “IKN juga akan memiliki istana negara dengan nuansa lambang negara burung garuda yang mencerminkan bahwa Indonesia adalah bangsa yang besar dan negara yang kuat.”

Kalimat itu muncul dalam video rancangan ibu kota negara (IKN) baru di Kalimantan Timur yang diunggah oleh Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional Suharso Monoarfa di Instagram pekan lalu. Gambar ini tak pernah muncul sebelumnya, bahkan saat Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) Basoeki Hadimoeljono mengumumkan pemenang sayembara gagasan desain IKN Desember lalu.

Nyoman Nuarta, pemahat patung asal Bali, mengatakan lewat Instagram bahwa rancangan istana tersebut merupakan karyanya. Beberapa karyanya yang terkenal adalah Patung Garuda Wisnu Kencana, Patung Fatmawati Soekarno, Monumen Jalesveva Jayamahe, serta Monumen Proklamasi Indonesia.

Gambar rancangan istana tempat presiden akan berkantor tersebut beberapa hari ini viral bahkan menuai kritik.

Asosiasi Profesi Ikatan Arsitek Indonesia (IAI), Green Building Council Indonesia (GBCI), Ikatan Ahli Rancang Kota Indonesia (IARKI), Ikatan Arsitek Lanskap Indonesia (IALI), dan Ikatan Ahli Perencanaan Wilayah dan Kota (IAP) mengatakan “bangunan gedung istana negara seharusnya menjadi contoh bangunan yang secara teknis sudah mencirikan prinsip pembangunan rendah karbon dan cerdas sejak perancangan, konstruksi, hingga pemeliharaan gedungnya,” dalam pers rilis, 28 Maret lalu. Dan itu semua tak didapat dari rancangan bangunan ini.

“Gedung patung burung tersebut tidak mencerminkan upaya pemerintah dalam mengutamakan forest city atau kota yang berwawasan lingkungan,” kata mereka.

Sekretaris Jenderal IAI, Ariko Andikabina, menjelaskan lebih jauh soal pernyataan sikap aliansi asosiasi. Menurutnya, penggunaan burung garuda sebagai metafora tidak cocok. Ariko mengatakan bangunan yang mengandalkan metafora akan selalu bertumpu pada citra yang menyisakan banyak pertanyaan.

“Metafora akhirnya meninggalkan banyak lubang: apa fungsi ruang di ketiak atau bokong bangunan dengan metafora burung? Yang mungkin akan memberikan impresi tidak sesuai dengan harapan,” kata dia saat dihubungi wartawan Tirto, Rabu (31/3/2021) siang.

Pendekatan metafora juga sudah ditinggalkan di dunia arsitektur sehingga tidak dapat dijadikan representasi kemajuan sebagaimana yang digadang-gadang, katanya.

Lalu, melihat bentuknya yang gigantis, maka muncul pertanyaan sejauh mana bangunan ini akan ramah lingkungan, tidak berlebihan mengekstraksi bahan baku, dan memiliki jejak karbon yang rendah.

Pertanyaan lain dari sisi keamanan. “Apakah bangunan yang tingginya 70-80 meter atau setara 18 atau 20 lantai, dengan kaca sebagai kulit bangunan dapat menjamin keamanan kepala negara?” kata dia.

Ia mengaku belum pernah menemukan ada negara lainnya yang memiliki bangunan kantor presiden seperti itu. “Enggak ada negara lain yang modelnya kaya gitu.”

Dalam siaran pers, asosiasi mengusulkan agar istana jangan berbentuk seperti itu. Burung garuda, katanya, bisa saja sekadar menjadi momen atau tugu di posisi strategis tertentu.

Selain itu mereka juga berharap pembangunan IKN secara umum memiliki pendekatan lingkungan.

“Memulai pembangunan tidak harus melalui bangunan gedung, tetapi dapat melalui 'tugu nol' yang dapat ditandai dengan membangun kembali lanskap hutan hujan tropis seperti penanaman kembali pohon endemik Kalimantan yang nantinya menjadi simbol bahwa pembangunan IKN memang merepresentasikan keberpihakan pada lingkungan, yaitu membangun hutan terlebih dahulu baru membangun kotanya.”

Simbol Politik dan Kuasa

Dosen semiotika desain Fakultas Seni Rupa dan Desain Institut Teknologi Bandung (FSRD ITB) Acep Iwan Saidi mengatakan burung garuda tak lagi menjadi simbol kultural karena ia telah disepakati menjadi lambang negara yang bersifat politis serta hanya didominasi oleh elite penguasa masa lalu. Akhirnya, kata Acep, burung garuda sebagai “image simbolik” telah mengalami dekulturalisasi dan denaturalisasi.

Oleh karena itu, ia menilai sudah tidak tepat memilih burung garuda sebagai ikon atau desain istana yang baru.

“Jika citra politik dan kekuasaan yang ingin ditonjolkan, sah-sah saja itu digunakan. Akan tetapi, jika yang ingin dikedepankan keberagaman, kenusantaraan, atau nilai-nilai kultural, penggunaannya tidak tepat. Burung Garuda, sekali lagi, telah menjadi simbol politik dan kekuasaan—bersifat politis,” kata dia saat dihubungi wartawan Tirto, Rabu sore.

Lebih dari itu ia juga menilai istana negara yang baru tak perlu dibentuk dengan tanda-tanda simbolik macam burung garuda atau metafora lain. Sebab Indonesia, kata dia, sudah terlalu lama dicekoki oleh politik simbol “yang nyaris kesemuanya bermuara ke dalam jargon.”.

“Bangsa ini dididik oleh jargon, dicekoki oleh ilusi-ilusi kedigdayaan,” kata dia.

“Mari kita berpikir lebih rasional dan bijaksana. Mari kita lebih bicara dan bertindak esensial, bukan bentuk. Kita pilih estetika arsitektural yang lebih bersahaja. Mungkin perlu dipertimbangkan pula detail-detail arsitektural yang mengingatkan bangsa ini pada keprihatinan, bahkan pada keburukan-keburukan, biar dari situ generasi depan bisa belajar. Selama ini, kita hanya dicecoki ajaran 'kebaikan jargonik' sehingga menjadi tidak tahu tentang keburukan,” katanya.

Baca juga artikel terkait ISTANA NEGARA atau tulisan lainnya dari Haris Prabowo

tirto.id - Sosial budaya
Reporter: Haris Prabowo
Penulis: Haris Prabowo
Editor: Rio Apinino