tirto.id - Di antara sekian wilayah di Jakarta, terutama area selatan, Kemang dikenal sebagai kawasan para ekspat. Istilah bakunya ekspatriat. Reputasi terbentuk dari banyaknya pendatang dari Barat yang tinggal maupun berbisnis di kawasan Kemang.
Apakah, reputasi tersebut tidak akan berkembang jika para pendatangnya berasal dari Asia Timur misalnya? Atau bahkan Afrika? Umumnya istilah “ekspatriat” hanya lazim dipakai untuk menyebut pendatang kulit putih (ras Kaukasia/Western). Menurut Kamus Bahasa Inggris Oxford, “ekspatriat” merujuk pada orang yang tinggal di negara selain negara kelahiran/asalnya tanpa merinci latar belakang rasnya.
Mengapa istilah itu akhirnya terkesan rasis saat dipakai dalam kehidupan sehari-hari?
Topik ini sempat menghangat pada 2014. Sumbernya ekspat asal Kanada yang berprofesi sebagai penulis dan fotografer, Christopher DeWolf, yang menuliskan pengalamannya selama tinggal di Hong Kong di kanal Wall Street Journal.
Christopher sudah delapan tahun tinggal di “kota antar dunia”, menyadur deskripsi esais Leo Ou-fan Lee. Hong Kong adalah wilayah urban yang dibangun oleh para imigran sejak masa kolonialisme Inggris hingga kini menikmati status spesial dari Republik Rakyat Cina. Pendatang dari berbagai dunia memadati kota tersebut.
“Oleh sebab itu terasa aneh saat mendengar beberapa orang di Hong Kong disebut sebagai ekspat, yakni yang berasal dari negara-negara Barat, tapi tidak untuk yang lain. Dan perbedaannya makin keruh jika menyangkut komunitas Asia Tenggara yang mengakar dalam di Hong Kong.”
Christoper mencontohkan “pembantu rumah tangga Filipina cuma dianggap tamu, meski sudah bekerja selama beberapa dekade. Orang Cina daratan yang berbahasa Mandarin jarang dianggap ekspatriat, meski jelas bukan penduduk lokal.”
Mawuna Remarque Koutonin adalah editor laman Silicon Africa. Ia menanggapi Christopher dengan menulis di kolom Guardian untuk menyepakati nuansa rasisme yang melekat pada istilah “ekspatriat”. Kata-katanya lebih pedas lagi:
“Orang Afrika itu imigran. Orang Arab juga. Demikian pula orang Asia. Meski demikian, orang-orang Eropa adalah ekspat karena mereka tidak bisa untuk berada dalam satu level dengan orang dari etnis lain. Mereka superior. Imigran adalah istilah yang tersisih untuk ‘ras inferior’.”
Mawuna memberi ilustrasi bagaimana pekerja asal Afrika di Eropa bukanlah ekspat, melainkan imigran. Contohnya adalah rekannya sendiri yang punya pengalaman bekerja untuk organisasi-organisasi multinasional di Benua Biru, baik yang dikelola swasta maupun pemerintah.
“Imigran dengan kualifikasi tinggi, begitu mereka menyebutnya, biar terdengar lebih ‘politically correct’,” tulis Mawuna.
Yvonne McNulty adalah dosen senior yang risetnya berfokus pada riset manajemen sumber daya manusia di Singapore University of Social Sciences, pada 2017 ia mengembangkan definisi “ekspatriat” bersama rekannya Chris Brewster. Tujuannya untuk melacak syarat-syarat seseorang bisa disebut ekspat.
Hasilnya, yang dipublikasikan di The International Journal of Human Resource Management, menyatakan bahwa seorang ekspat mesti tinggal di luar negara kelahirannya secara non-permanen.
Ekspat juga harus bekerja secara legal, serta tidak sekaligus menyandang status kewarganegaraan (ganda) dari negara yang ia tinggali.
Karakteristik tersebut setidaknya cocok bagi pekerja asing di era modern. Faktanya, status ekspat punya makna lain saat digunakan di era-era terdahulu.
Yasmeen Serhan dalam laporannya untuk Atlantic mengutip pendapat Charlotte Taylor selaku ahli linguistik di University of Sussex, Inggris. Charlotte mengatakan “ekspat” pertama kali dipakai untuk menyebut pegawai Inggris yang dikirim untuk bekerja di luar negeri. Seringnya bukan karena pilihan tapi kewajiban.
“Jadi ekspatriat merujuk pada migrasi non-opsional, yakni saat seseorang dipaksa pergi ke luar negeri (expatriated).”
Pada perkembangannya, istilah tersebut mengalami perubahan makna. Charlotte mendeskripsikan seseorang yang disebut ekspat juga mesti kaya, punya mobilitas tinggi, serta bermigrasi karena pilihan. “Sedangkan mereka yang dipaksa ke luar negeri kini disebut pengungsi atau pencari suaka,” lanjutnya.
Narasumber Yasmeen lainnya adalah Sophie Cranston, dosen geografi manusia di Loughborough University, Inggris. Sophie mengatakan secara teknis “ekspatriat” adalah orang yang tinggal dan bekerja di luar negeri selama jangka waktu tertentu serta punya rencana untuk pulang ke kampung halaman.
Tidak ada kejelasan berapa lama ia akan bekerja di negara lain. Ada yang lama sekali, sampai berubah seperti penduduk lokal, namun statusnya tetap pendatang karena tidak berganti kewarganegaraan. Bagi Sophie inilah yang membedakan “ekspatriat” dan imigran, karena imigran tidak berencana pulang kampung.
Mengapa? Kembali mengutip Charlotte, imigran non-kulit putih banyak yang menjadi pengungsi atau pencari suaka karena melarikan diri dari konflik di negara asalnya. Orang kulit putih jarang melakukan hal tersebut, sehingga stereotip bahwa ekspat itu pendatang kulit putih akhirnya terbangun.
Cranston bersepakat bahwa ekspat menyandang stereotip lain, yakni pekerja asing dari kelas sosial atas atau status tinggi. “Gambaran stereotip ekspat adalah seseorang yang menyeruput gin dan tonik di tepi kolam renang saat matahari terbenam,” katanya.
Pangkal persoalannya bisa dilacak sebelum tahun 1990-an, ketika lebih jarang orang Barat yang tinggal dan bekerja di luar negeri. Mereka menjalankan tugas-tugas penting, sehingga mendapat banyak kompensasi. Antara lain upah tinggi, perumahan, dan sekolah bagus untuk anak-anak mereka.
Meski demikian, kata Cranston, stereotip ini justru membuat banyak pendatang kulit putih yang menolak disebut ekspat. Beberapa responden penelitiannya, orang kulit putih yang tinggal di negara berpenduduk mayoritas non-kulit putih, tidak ingin disebut ekspat karena mereka tidak hidup mewah.
“Gaya hidupnya tergolong biasa-biasa saja, dan karena mereka turut merasa punya ikatan yang kuat dengan (komunitas) lokal.”
Beberapa responden Cranston juga ada yang tidak mau disebut imigran. Alias harus ekspatriat. Orang-orang ini hadir dalam penelitian Amanda Klekowski von Koppenfels, dosen senior bidang migrasi dan politik di University of Kent, Amerika Serikat.
Amanda mengelaborasinya melalui kanal The Conversation. Ia mewawancarai 115 responden asal AS yang tinggal di Eropa. Beberapa di antaranya memilih untuk menikahi warga lokal serta tidak berniat pulang ke AS. Sebagian kecil menganggap dirinya sebagai imigran, tapi sebagian besar lain tidak mau.
“Mereka kebanyakan memahami ‘imigran’ dalam pengertian orang-orang yang datang ke Amerika pada abad ke-19. Yang perlu meninggalkan rumahnya, memutus hubungan dengan negara asalnya, dan mulai berintegrasi ke Amerika. Imigran Amerika kekinian tidak demikian,” tulis Amanda.
Lagi-lagi ini soal pilihan, bukan keterpaksaan. Pilihan itu hanya datang dari kepemilikan privilese. Christopher DeWolf menjelaskannya sebagai kesempatan untuk bebas pergi ke berbagai negara serta kebudayaan lain tanpa kendala teknis yang berarti, mulai dari visa hingga ongkos perjalanan.
Privilese itu tercermin pada gaya hidup orang-orang kulit putih dari negara Barat—alias para ekspat. Sesuatu yang Christopher sebut “tidak mampu diakses oleh mereka yang dianggap imigran.”
Editor: Suhendra