Menuju konten utama
Kasus Mercy Maut Solo

Mengaku Tak Terima Uang, Ayah Korban Minta Hukuman Iwan Diringankan

"Kami meminta kepada majelis hakim untuk memberikan kebebasan bersyarat kepada terdakwa. Kami menyadari bahwa ini adalah sebuah kecelakaan yang tidak disengaja," kata Suharno.

Mengaku Tak Terima Uang, Ayah Korban Minta Hukuman Iwan Diringankan
Suasana sidang pledoi kasus pembunuhan dengan terdakwa Iwan Adranacus di Pengadilan Negeri Surakarta, Kamis (10/1/2019). tirto.id/Irwan A. Syambudi

tirto.id - Suharno ayah alamhum Eko Prasetio yang menjadi korban dugaan pembunuhan meminta agar hukuman Iwan Adranacus terdakwa pembunuhan anaknya itu diringankan.

Dalam sidang pledoi kasus pembunuhan dengan terdakwa Iwan Adranacus di Pengadilan Negeri Surakarta, Kamis (10/1/2019), Suharno memberikan pernyataan kepada majelis hakim.

"Kami meminta kepada majelis hakim untuk memberikan kebebasan bersyarat kepada terdakwa. Kami menyadari bahwa ini adalah sebuah kecelakaan yang tidak disengaja," kata Suharno.

Suharno mengatakan bahwa ia sudah mengikhlaskan kepergian putranya. Untuk membuat perasaanya lega ia juga telah memaafkan orang yang diduga menyebabkan putranya tewas di jalan.

"Setidaknya diringankan hukumannya kalau tidak bisa diberikan kebebasan atau kebebasan secara bersyarat," tambahnya.

Lanjutnya lagi, pemaafan dan permintaan agar hukuman Iwan diringankan dilakukannya bukan karena uang. Ia mengaku memang pernah ditawari uang oleh Iwan hingga miliaran tetapi ia menolaknya.

"Saya bicara ini bukan karena saya dibayar [...] Berbeda dengan anak mantu saya dan besan saya yang telah mendzolimi saya. Mereka menerima uang tanpa kompromi baik [menerima uang] dari rumah sakit tempat anak saya kerja dan dari terdakwa," kata dia.

Namun demikian, Suharno berkata tidak mempermasalahkan hal itu. Ia berharap agar uang yang telah diberikan oleh Iwan dapat digunakan dengan baik terutama untuk keperluan masa depan cucunya.

Terdakwa mengakui telah memberikan santuan uang kematian, biaya permakaman, dan santunan untuk istri dan anak korban senilai Rp1,1 miliar. Dana kompensasi untuk keluarga korban itu diterima oleh ahli warisnya.

Dengan memberikan dana kompensasi itu, Iwan berharap keluarga korban dapat meringankan beban keluarga Eko. "Minimal ada ucapan dan dukungan yang meringankan dari keluarga korban," kata Iwan.

JPU menuntut terdakwa Iwan Adranacus dengan hukuman lima tahun penjara. Iwan didakwa melakukan pembunuhan dengan sengaja menabrak Eko Prasetio hingga tewas.

Dua JPU yakni Titiek Maryani dan Satriawan Sulaksono yang membacakan surat tuntutan secara bergantian, menuntut supaya majelis hakim Pengadilan Negeri (PN) Surakarta yang memeriksa dan mengadili perkara ini berkenan untuk memutuskan bahwa terdakwa bersalah.

"Berkenan untuk memutuskan, pertama menyatakan terdakwa Iwan Adranacus terbukti bersalah melakukan tindak pidana dengan sengaja merampas nyawa orang lain. Sebagaimana diatur dan diancama pasal 338 KUHP," kata Titiek saat sidang tuntutan di PN Surakarta, Selasa (8/1/2018).

Kemudian juga menuntut agar terdakwa dijatuhi hukuman pidana penjara sesuai dengan diatur dan diancam pasal 338 KUHP.

"[Menuntut untuk] menjatuhkan pidana terhadap diri terdakwa Iwan Adranacus dengan pidana penjara selama lima tahun dikurangi selam terdakwa berada di dalam tahanan sementara dengan perintah terdakwa tetap ditahan," katanya.

Iwan Adranacus adalah Presiden Direktur PT Indaco Warna Dunia. Ia ditetapkan sebagai tersangka pembunuhan karena diduga menabrak pengendara sepeda motor dengan sengaja di samping Mapolresta Surakarta, Rabu (22/8/2018).

Peristiwa ini terjadi saat mobil Mercedez-Benz bernomor polisi AD 888 QQ yang ditumpangi Iwan (40) menabrak sepeda motor Honda Beat berpelat nomor AD 5435 OH yang dikendarai Eko Prasetio (28) di Jalan K.S. Tubun, samping timur Polresta Surakarta sekitar pukul 12.00 WIB. Peristiwa berlangsung 20 menit dan berawal dari cekcok mulut.

Baca juga artikel terkait KASUS PEMBUNUHAN atau tulisan lainnya dari Irwan Syambudi

tirto.id - Hukum
Reporter: Irwan Syambudi
Penulis: Irwan Syambudi
Editor: Nur Hidayah Perwitasari