Menuju konten utama

Mendidik Anak Laki-laki Agar Jadi Feminis  

Menjadi laki-laki feminis berarti menjadi laki-laki yang lebih manusiawi.

Mendidik Anak Laki-laki Agar Jadi Feminis   
Justin Trudeau dan Sophie Gregoire beserta 3 anak mereka. FOTO/REUTERS

tirto.id - Naskah ini terbukti merupakan saduran dari naskah "How to Raise a Feminist Son". Berkali-kali di banyak bagian, naskah ini mengambil data atau informasi dari naskah yang ditulis Claire Cain Miller di New York Times. Namun hanya sekali naskah ini merujuk (memberi hyperlink) kepada naskah aslinya -- dan itu jelas sama sekali tidak cukup. Naskah tidak dihilangkan dari laman Tirto terutama sebagai peringatan kepada kami untuk lebih berhati-hati sekaligus bentuk transparansi -- termasuk transparansi mengakui kekeliruan dan kesalahan. Kami memohon maaf atas kesalahan ini. Mekanisme internal untuk memperbaiki dan mencegah hal serupa menjadi prioritas.

Perdana Menteri Kanada Justin Trudeau dalam esai yang ia tulis untuk Marie Claire menyatakan bahwa ia ingin membesarkan anak perempuan dan anak laki-lakinya menjadi feminis. Ia khawatir dengan kondisi perempuan di Kanada yang rentan kekerasan, diskriminasi, dan beragam stereotip yang membatasi mereka mencapai impiannya.

“Sangat menjengkelkan bagi saya, mengetahui anak perempuan saya yang penuh kasih akan tumbuh di dunia yang akan mengingkari keberadaannya sebagai manusia, bersama orang-orang yang tidak akan mendengar serius suaranya, hanya karena anak saya perempuan,” kata Trudeau.

Menurutnya, kesetaraan bukan saja harus digaungkan oleh perempuan. Maka, anak laki-laki pun harus mempelajarinya.

“Membesarkan anak-anak kita menjadi feminis adalah cara kita menghormati masa depan mereka. Anak-anak kita memiliki kekuatan sekaligus tanggung jawab untuk menjadikan dunia lebih baik,” kata Trudeau.

Trudeau juga menjelaskan bahwa kesetaraan gender bukan hanya permasalahan untuk perempuan. Ia tidak ingin Xavier dan Hadrien, dua anaknya, tunduk pada keadaan dan menjadi bagian dari kelompok yang mendiskreditkan perempuan.

“Untuk itu, kita juga perlu mendidik anak laki-laki kita, bagaimana ia bisa menjadi pendukung yang kuat untuk para perempuan dan anak gadis di sekitarnya,” lanjut Trudeau.

Baca juga: Perempuan, Jangan Membebek Norma demi Disukai Laki-Laki

Hal ini pernah pula dilontarkan oleh Gloria Steinem, seorang aktivis politik dan feminis Amerika.

“Saya senang, kita sudah mulai membesarkan anak perempuan kita dengan cara yang sama ketika kita mendidik anak laki-laki, namun [kesetaraan] tidak akan berhasil sampai kita bersedia membesarkan anak laki-laki kita dengan cara yang sama ketika kita mendidik anak perempuan,” kata Steinem.

Menurut Steinem, hal tersebut penting dikarenakan peran perempuan akan tumbuh jika laki-laki di lingkungan sekitarnya juga memberikan ruang untuk perkembangan mereka. Namun, ini juga bukan melulu perihal perempuan. Anak laki-laki butuh belajar tindakan feminis agar mereka mempunyai kepekaan, empati, dan ketekunan—hal-hal yang selama ini dimasukkan dalam karakter feminin.

Baca juga: Anak yang Doyan Jumpalitan adalah Anak Cerdas

Chimamanda Ngozi Adichie dalam Dear Ijeawele, or A Feminist Manifesto in Fifteen Suggestions turut menyebutkan beberapa cara membesarkan anak laki-laki feminis.

Ia menyebutkan bahwa laki-laki sangat responsif dan mempunyai kecenderungan meluangkan waktu untuk tokoh/model idola mereka. Oleh karena itu, penting untuk mengenalkan mereka orang-orang baik. Maka, Anda jangan hanya mengenalkan tokoh laki-laki, tapi juga perempuan kuat. Perlu juga adanya diskusi tentang prestasi perempuan-perempuan yang Anda kenal, baik perempuan yang unggul di bidang olahraga, politik atau media.

Dalam hal ini, orangtua juga penting menuntun mereka untuk membaca buku atau berita yang lebih beragam. Tujuannya agar mereka lebih banyak mengenal ragam manusia. Bukan sekadar dongeng yang berkisah soal anak laki-laki yang menyelamatkan dunia dan anak perempuan harus diselamatkan, tapi juga kisah-kisah tentang perempuan-perempuan kuat.

Baca juga: Suami, Bahagiakanlah Istri dengan Beres-Beres dan Mengasuh Anak

Jika orangtua ingin menerapkan pemahaman gender, jangan melakukan hal-hal yang melanggengkan pembedaan gender itu sendiri, semenjak anak masih kecil. Misalnya perkara pembedaan jenis permainan dan warna kesukaan anak.

Terkadang orangtua secara sadar mendikte anak perempuannya menyukai warna merah muda dengan membelikan barang-barang dengan warna tersebut. Di sisi lain, anak laki-laki lebih diarahkan untuk bermain bola, mobil-mobilan, tembak-tembakan, dan beberapa kegiatan lain yang mereka anggap ‘cocok’ untuk anak laki-laki. Hal-hal seperti ini yang secara tidak sengaja membentuk batasan antara laki-laki dan perempuan, bahkan ketika mereka masih kecil.

Neuroscientists mengatakan bahwa anak-anak tidak dilahirkan dengan preferensi tersebut. Sampai pertengahan abad ke-20, merah muda adalah warna anak laki-laki dan biru untuk perempuan. Begitu halnya dengan jenis permainan yang diminati bayi.

“Penelitian longitudinal menunjukkan bahwa pemisahan jenis-jenis mainan memiliki efek jangka panjang terhadap kesenjangan gender di bidang akademis, keterampilan spasial dan keterampilan sosial,” kata Campbell Leaper, profesor psikologi University of California, Los Angeles.

Oleh karena itu, sebaiknya orangtua membiarkan mereka memilih mainan dan kegiatan yang mereka sukai. Semua anak tidak sama. Ada anak perempuan yang menyukai permainan sepakbola, ada juga anak laki-laki juga yang menyukai warna merah muda.

Dalam banyak hal, membiarkan anak-anak menjadi dirinya sendiri jauh lebih baik daripada mendikte mereka menjadi orang yang sebenarnya tidak mereka sendiri ingini. Hal ini juga menyangkut dengan pertumbuhan emosi pada anak-anak. Tony Porter, salah satu pendiri A Call to Men, sebuah kelompok yang berfokus pada pendidikan dan advokasi, menyebutkan bahwa orangtua mempunyai kecenderungan membeda-bedakan anak-anaknya terkait pengolahan emosi, bahkan semenjak mereka masih balita.

Contoh orangtua pendikte ada di sekitar kita. Orangtua, misalnya, kerap membatasi "emosi" mereka dengan melarang anak laki-lakinya menangis.

“Anak perempuan kita izinkan menjadi manusia [dengan menangis], sementara anak-anak laki-laki kita paksa menjadi robot yang tanpa emosi,” kata Porter.

Menurutnya, orangtua idealnya mengajarkan anak-anak untuk memiliki emosi penuh. “Jangan larang anak mengatakan ‘saya marah’, ‘saya terluka’, atau ‘saya butuh pertolongan’,” kata Porter.

Baca juga: Mereka Memutuskan Tidak Punya Anak

infografik feminist son

Jawanza Kunjufu, seorang penulis dan dosen anak laki-laki kulit hitam menyatakan bahwa orangtua selama ini membedakan pembagian pekerjaan rumah tangga untuk anak-anak mereka.

“Beberapa ibu memang telah ‘membesarkan’ anak perempuan mereka, tapi untuk anak laki-lakinya, beberapa ibu ‘sekadar mencintainya' saja,” kata Kunjufu mengomentari sikap orangtua yang lebih membimbing anak-anak perempuan dalam merampungkan pekerjaan rumah tangga, seperti memasak dan membersihkan rumah.

Survei menyatakan bahwa anak perempuan Amerika berusia 10 sampai 17 tahun telah menghabiskan dua jam kerja rumah tangga setiap minggu. Survei ini juga menunjukkan bahwa hanya 15 persen anak laki-laki yang mengerjakan hal yang sama dengan anak perempuan terebut kerjakan.

Padahal, tidak cuma perempuan, anak laki-laki juga butuh dididik untuk mampu merawat dirinya sendiri dan mengasuh orang lain.

"Ajari anak laki-laki kita untuk memasak, membersihkan dan merawat diri mereka sendiri. Agar mereka mempunyai kemampuan mengurus rumah tangga, sama seperti yang kita harapkan kepada anak perempuan untuk mampu juga bekerja di kantor," kata Anne-Marie Slaughter, chief executive New America.

Anak laki-laki juga penting diajarkan bagaimana caranya mengasuh orang lain. Hindari berbagi pekerjaan dengan memberi label gender.

“Mintalah bantuan anak laki-laki untuk memberi sup bagi teman yang sakit atau mengunjungi kerabat di rumah sakit. Beri mereka tanggungjawab untuk merawat hewan piaraan dan adik-adiknya. Dorong mereka untuk mengasuh dan melatih orang lain. Ini berguna untuk meningkatkan empati dan mengurangi tingkat agresivitas mereka,” kata Slaughter.

Baca juga: Nasib Laki-Laki Feminis

Selain itu, orangtua juga butuh mendukung persahabatan anak laki-lakinya dengan anak perempuan di sekitar mereka. Hal ini penting untuk mendidik mereka menghormati perempuan semenjak dini. Karena komunikasi dan interaksi dekat dengan anak perempuan semenjak kecil akan memberi lebih banyak pemahaman mengenai kesetaraan.

Orangtua bisa mengaplikasikan perilaku ini dalam menyusun kegiatan bersama (pesta ulang tahun, bermain, olahraga bersama) tanpa harus membedakan ‘ini tim perempuan’ atau ini tim laki-laki’.

"Semakin jelas pengkotak-kotakkan gender dalam mengkategorikan kelompok atau kegiatan, akan semakin memperbesar stereotip gender dan biasnya," kata Richard Fabes, direktur Sanford School, yang mempelajari gender dan pendidikan.

Selain itu anak laki-laki juga butuh dibelajarkan perihal kesopanan. Mintalah anak-anak untuk bertanya sebelum mereka menyentuh tubuh orang lain sejak dini. Ingatkan juga jika mereka berlaku intoleran, tidak sopan, dan ketika mereka berbicara yang menyinggung atau merendahkan orang lain.

Baca juga artikel terkait KESETARAAN GENDER atau tulisan lainnya dari Yulaika Ramadhani

tirto.id - Pendidikan
Reporter: Yulaika Ramadhani
Penulis: Yulaika Ramadhani
Editor: Maulida Sri Handayani