Menuju konten utama

Mencegah Salah Kaprah Pendidikan dan Pemanfaatan AI

Dalam mengajarkan AI, kita harus fokus pada kompetensi dengan pemikiran kritis dan kreatif, seraya menempatkan manusia sebagai pusatnya.

Mencegah Salah Kaprah Pendidikan dan Pemanfaatan AI
Header Perspektif Firman Kurniawan. tirto.id/Ecun

tirto.id - Setiap teknologi, menuntut cara berpikir penggunaannya. Ini untuk memperoleh hasil yang optimal. Teknologi yang berkembang bertujuan memperoleh hasil yang lebih baik. Seluruhnya penggunaannya menuntut cara berpikir tertentu. Tak bisa diperoleh jumlah potongan kayu yang sama atau lebih banyak, jika gergaji dipakai dengan cara yang sama dengan golok. Alat yang beda tapi digunakan dengan cara berpikir yang sama, maka hasilnya oasti beda juga.

Karenanya ilustrasi di atas relevan saat membahas cara membangun pikiran yang tepat untuk menggunakan teknologi yang berbasis artificial intelligence (AI). Pendidikan berperan mengajarkan pengembangan pikiran yang mampu menemukan cara yang berbeda, dengan hasil yang lebih baik. Orang-orang yang memahami teori pendidikan, menyusun cara mengembangkan pikiran yang sesuai dengan teknologi yang digunakan.

Semua pihak bertanggung jawab agar: pertama, teknologi tak digunakan secara salah. Kedua, teknologi digunakan dengan cara yang sama dibanding sebelumnya, namun dengan hasil yang diharapkan lebih baik. Dan ketiga, mencegah penggunaan teknologi yang justru menghilangkan watak alamiah manusia, termasuk kecerdasannya. Dengan kata lain, hal ini mencegah irelevansi manusia.

Ilustrasi yang pertama: penggunaan pisau yang salah. Alih-alih memakainya untuk mempersiapkan bahan makanan di dapur, ini malah digunakan untuk menodong orang. Analogi ini terasa pas terjadi ketika AI digunakan untuk memproduksi konten yang mengandung disinformasi. Deepfake diproduksi untuk memfitnah dan memeras seseorang. Misalnya dalam kategori kejahatan, AI-Generated Child Sexual Abuse Material (CSAM).

Praktiknya dengan cara memasangkan wajah seorang anak –yang fotonya terserak di media sosial tak terproteksi— dengan gambar tubuh orang lain, tanpa busana. Ketika gambar beredar, tak bisa dibedakan dari foto aslinya. Peredarannya menghebohkan, anak dalam Deepfake terfitnah. Ini juga berlaku dengan modus lain. Sebelum gambar diedarkan, foto rekayasa dijadikan sebagai alat pemerasan. Negosiasi meminta anak membayar tebusan, agar fotonya tak diedarkan. Banyak peristiwa seperti ini. Tak tertutup, juga terjadi di Indonesia. Teknologi yang semula bertujuan baik, berubah jadi salah ketika digunakan oleh tangan yang salah.

Yang kedua: saat komputer baru dikenal di tengah masyarakat, muncul olok-olok di antara para pemakainya: ‘memperlakukan komputer sebagai mesin ketik’. Ini lantaran banyak pemakai perangkat baru ini, memproduksi teks dengan komputer tapi dalam kaidah mesin ketik. Ia hanya sekadar menyalin rancangan yang sebelumnya ditulis di atas kertas. Tujuannya agar tak banyak kesalahan saat dipindahkan ke layar. Dan ketika terjadi kesalahan, mengoreksinya pun dengan menghapus satu persatu huruf. Padahal ada sarana ‘delete’.

Ketidaktepatan juga terjadi saat hari ini pembelajaran kerap dilangsungkan di ruang-ruang virtual seperti Zoom, Gmeet, Msteams dan lainnya. Dengan penggunaan perangkat digital ini, semua aktivitas tersimpan sebagai data.

Seluruh data rapi tersimpan, mulai dari materi pembelajaran yang dibahas, personal host dan co-host yang bertanggung jawab, lamanya pembelajaran, jumlah peserta yang mengikuti pembelajaran dari awal hingga akhir, bahkan peserta yang meninggalkan perkuliahan di tengah proses. Setelah pembelajaran selesai, datanya dapat diakses kembali, sebagai catatan yang dapat dianalisis. Ini tak memerlukan tindakan analog. Menjadi ganjil, ketika Sang Pengajar mencatat kehadiran dengan memanggil dan mencatat satu persatu peserta pembelajarannya. Ini masih sering terjadi, bahkan di berbagai perguruan tinggi terkemuka. Transformasi teknologi di sini gagal berjalan dengan peningkatan pemanfaatannya.

Sedangkan yang ketiga: saat muncul berita, adanya seorang pejabat Indonesia yang menjadi juri lomba penggunaan AI. Tentu informasi itu bertujuan menyebarkan pemahaman seolah adopsi AI di Indonesia tak ketinggalan dari negara lain. Di sekolah-sekolah, keterampilan penggunaan AI sudah dipelajari dan hasil pembelajarannya didemonstrasikan dalam lomba.

Hanya saja, jika pemenang ditentukan oleh hasil akhir yang dibuat oleh AI, maka tujuan lomba itu salah kaprah. Itu artinya AI hanya memberi hasil, tapi tak dibarengi dengan pencapaian pembelajaran AI. Maka untuk ajang macam itu, nama yang sesuai harusnya ‘lomba menyusun prompt untuk menghasilkan karya’. Dalam realitasnya, hasil AI yang hebat ditentukan oleh kemahiran menyusun prompt yang diketikkan sebagai perintah.

Berikutnya, memasukkan pemanfaatan AI --bahkan sejak sekolah dasar-- tak sama artinya dengan mengajarkan penggunaan perangkat yang bertujuan mengganti kecerdasan alamiah manusia. Ini potensi salah kaprah yang lain.

Mengajarkan penggunaan AI di berbagai tingkat sekolah, bukanlah dalam pengertian yang direduksi sebagai pengalihan kecerdasan manusia ke kecerdasan perangkat. Metode pemecahan persoalan secara esensial, tetap harus diajarkan. Begitu juga pengembangan kemampuan berpikir dalam mempertimbangkan dan membandingkan alternatif pemecahan masalah secara kritis.

Penggunaan AI ditujukan untuk penggunaaan yang melampaui batas kecerdasan manusiawi. Ini termasuk menghitung jumlah yang sangat besar dalam waktu singkat, mengartikulasikan pikiran dalam berbagai bahasa, mengerjakan hal rutin yang membosankan, juga menemukan ide kreatif melampaui kelaziman.

Salah kaprah yang dinormalisasi ini bakal berakibat serius. Dunia pendidikan justru berkontribusi menihilkan kecerdasan manusia. Ini akhirnya menggusur eksistensi manusia pada totalitas teknologi. Dunia pendidikan harusnya mengajarkan cara berpikir jitu dalam penggunaan AI. Cara berpikir ini harus seluruhnya berbeda dibanding saat menggunakan teknologi sebelumnya: kalkulator, penerjemah, alat terkomputasi, juga mesin pencari. Garis tebalnya ada pada setiap teknologi menuntut cara berpikirnya masing-masing.

Relevan dengan seluruh uraian di atas, pengembangan cara berpikir AI yang tak hendak menggantikan posisi manusia, tertuang dalam pesan inklusi AI, UNESCO.

“Artificial Intelligence in Education: UNESCO Advances Key Competencies for Teachers and Learners” (2025), menyebut, AI sangat menjanjikan bagi dunia pendidikan. Namun ini bisa terjadi jika diterapkan dengan cara yang aman dan etis.

Penerapan seperti itu dapat tercapai jika guru dan siswa memiliki keterampilan yang dibutuhkan. Keterampilan untuk menavigasi arena pembelajaran baru, sehingga AI dapat melayani semua orang di mana saja. Dalam aplikasinya, guru berkomitmen untuk memastikan siswanya memahami cara kerja AI, cara penggunaannya dengan kritis, dan tak hendak menggantikan manusia dalam proses-proses penting, termasuk dalam pengambilan keputusan.

Ini artinya, kita harus fokus pada kompetensi dengan pemikiran kritis dan kreatif, seraya menempatkan manusia sebagai pusatnya. Seluruhnya relevan dengan posisi manusia sebagai pusat pengembangan dan pemanfaatan teknologi. Persoalan teknologi --tentu termasuk yang berbasis AI-- bukan semata persoalan aspek teknisnya saja. Adaptasi terhadap teknologi, hanya dinilai sebatas kemampuan menggunakan perangkat. Pendapat ini terkonfirmasi dengan pendapat dalam “The Culture of Technology” yang ditulis Arnold Pacey (1983).

Pacey menyebutkan, manusia tak boleh lagi mendekati teknologi dalam pandangan sempit alias tunnel vision, yang hanya berfokus pada aspek teknis. Melampaui itu, manusia harus melihat teknologi dalam visi moralitas yang terintegrasi. Istilah kemajuan harus memiliki definisi yang lebih rinci dengan spektrum nilai dan perspektif yang lebih luas. Maka, agar kemajuan dapat terjadi holistik penting untuk mendidik tak hanya warga negara, tetapi juga profesional dalam sains dan teknologi. Ini dapat diikuti dengan munculnya dialog di antara kedua kelompok warga negara itu.

Jika melakukan pendekatan itu, alih-alih menjadi pihak yang terancam, manusia bisa menjadi pusat aktivitas yang terintegrasi sejak awal pengembangan dan pemanfaatan AI. Praktiknya: mencegah penggantian kecerdasan manusia dengan kecerdasan buatan. Apalagi yang dapat mengundang penggusuran seluruh eksistensi manusia.

Keberadaan AI menjadi penunjang kecerdasan manusia yang paripurna. Yang kemajuan pemanfaatannya, terindikasi dari termuliakannya manusia. Seluruhnya dapat diukur dari kesejahteraan, akibat meningkatnya kualitas ekonomi, sosial, dan budaya manusia. Karena itu perlu adanya dialog antara warga negara --profesional ilmu pengetahuan dan teknologi, termasuk para pendidik—untuk kemajuan oleh AI.

Salah kaprah dalam pengajaran AI ini harus dicegah. Para pejabat negara, pembuat kebijakan, tak boleh mendorong dunia pendidikan mengajarkan penggunaan AI dengan cara tidak tepat. Kecuali sudah siap dengan risikonya: manusia dan kemanusiaan musnah.

Penulis adalah pemerhati Budaya dan Komunikasi Digital. Pendiri LITEROS.org

*) Isi artikel ini menjadi tanggung jawab penulis sepenuhnya.