Menuju konten utama

Mencari Biang Keladi Merembesnya Beras Khusus Vietnam ke Pasar

Beras khusus dari Vietnam merembes ke pasar lokal. Penyebabnya disinyalir karena konsumen asli mereka daya belinya menurun.

Mencari Biang Keladi Merembesnya Beras Khusus Vietnam ke Pasar
Pekerja mengemas beras ke dalam karung di Pasar Induk Beras Cipinang, Jakarta, Kamis (2/1/2020). ANTARA FOTO/Nova Wahyudi/wsj.

tirto.id - Wakil Ketua Komisi IV DPR Dedi Mulyadi mengatakan beras impor dari Vietnam dengan kualitas khusus rembes ke pasar. Harganya hanya Rp9 ribu per kilogram, jauh lebih murah dari beras lokal yang rata-rata dijual Rp12 ribu per kilogram.

"Di pasar hari ini ada beras impor dari Vietnam, yang impornya Sarinah, harganya Rp9.000, impornya dari Vietnam. Balai Karantina [Pertanian] tahu enggak?" kata Dedi dalam rapat dengar pendapat bersama Kementerian Pertanian, Kemenko Perekonomian, PT Pupuk Indonesia, dan Himbara, di Ruang Sidang Komisi IV, Kompleks DPR RI, Jakarta, Senin (17/1/2021).

Menurutnya beras-beras tersebut merugikan para petani lokal. Maka dari itu ia meminta Kementan tidak mengizinkan impor beras. "Saya minta Kementan berpihak kepada petani dan punya sikap," kata dia.

Direktur Jenderal Tanaman Pangan Kementan Suwandi membenarkan memang ada beras khusus dari Vietnam. Namun itu bukan diimpor dengan tujuan meningkatkan stok dalam negeri, tapi untuk kalangan tertentu yang tak dicatat Badan Pusat Statistik (BPS). Karena untuk kalangan khusus, dalam rapat itu juga dia bilang beras ini biasanya "tidak masuk ke pasar tradisional."

Selama 2020 Indonesia tidak mengimpor beras untuk masyarakat umum. Berdasarkan data BPS, hingga akhir tahun produksi besar diperkirakan mencapai 31,63 juta ton, naik 0,31 juta ton alias 1 persen dari 2019. Jika diasumsikan konsumsi beras tetap 29,37 juta ton, maka ada surplus 2,26 juta ton.

Setahun sebelumnya, produksi beras ada di angka 31,31 juta ton, lebih rendah 2,63 juta ton atau setara 7,75 persen dari 2018 yang menyentuh 33,94 juta ton. Kebutuhan beras pada tahun itu hanya 29,6 juta ton sehingga ada surplus 4,37 juta ton. Meski ada surplus, di tahun itu Indonesia masih mengimpor beras 444.508 ton.

Penyebab

Ketua Umum Asosiasi Bank Benih dan Teknologi Tani Indonesia (AB2TI) Dwi Andreas Santosa mengatakan Indonesia sudah lama mengimpor beras jenis khusus tersebut. Pangsa pasarnya adalah restoran dan masyarakat kelas atas. "Rata rata impor beras dari kalangan swasta itu di angka 200 ribu-300 ribu ton per tahun," kata dia kepada reporter Tirto, Rabu (20/1/2021).

Masalahnya, saat ini daya beli di sektor tersebut tengah berkurang sehingga penyerapannya tak maksimal. Kondisi ini yang disinyalir jadi biang keladi situasi yang dikritik Dedi Mulyadi. "Akhirnya stok yang mereka miliki melimpah, lalu ada kemungkinan itu dilepas ke pasar umum," katanya.

Lesunya penyerapan beras premium ini terkonfirmasi lewat kondisi terkini bisnis hotel dan restoran. Sekretaris Jendral Perhimpunan Hotel dan Restoran Indonesia (PHRI) Maulana Yusran memaparkan sekitar 95 persen restoran yang ada di Jakarta dan sekitarnya mengurangi suplai makanan.

"Mereka [pengusaha restoran dan hotel] beli stoknya per hari, sudah seperti rumah tangga. Enggak bisa seminggu apalagi sebulan. 95 persen resto sudah melakukan ini," kata dia kepada reporter Tirto, Rabu. "Ini dilakukan untuk berjaga jaga karena takut bahan makanan busuk dan mengurangi potensi rugi."

Semua strategi ini dalam rangka merespons kebijakan pembatasan sosial di masa pandemi yang diperketat. Jika biasanya restoran masih bisa menyiapkan menu makan malam, saat ini jam operasi dibatasi hanya sampai jam 19. Pun dengan makan siang yang otomatis berkurang karena kebijakan bekerja dari rumah. "Gerakan ekonomi enggak dikasih ruang, otomatis enggak akan ada yang mau beli."

Hal senada dikatakan Wakil Ketua Umum Perhimpunan Hotel dan Restoran Indonesia (PHRI) Bidang Restoran Emil Arifin. "Kami stok sangat minimum. Semua yang gampang busuk kami kurangi. Kalau beras mungkin enggak terlalu cepat busuk tapi tetap stoknya sama [dikurangi]," katanya. Pengurangan stok juga dapat menghemat biaya listrik karena semua bahan makanan membutuhkan pendingin.

Peneliti dari Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Rusli Abdulah mengatakan sangat mungkin ada yang menjual beras yang harganya sebenarnya mahal dengan lebih murah. "Kalau pedagang, ya, mending terjual aja [daripada] enggak laku," katanya kepada reporter Tirto, Rabu.

Beruntungnya kasus ini terjadi pada awal tahun, bukan di Marer-April atau pada musim panen. Jika masalah ini muncul di bulan-bulan itu, beras petani jelas akan terganggu. "Untungnya saat ini sedang masa tanam," katanya.

Namun bukan berarti pemerintah tidak perlu berbuat sesuatu. Dia bilang pemerintah harus memastikan kasus rembesan tak berlangsung lama.

Pemerintah, misalnya, harus segera mendata berapa banyak beras impor yang masuk ke Indonesia sampai awal tahun 2021. "Pemerintah harus punya data berapa beras impor yang belum terserap. Kalau ada, ini harus diserap sama pemerintah supaya enggak ganggu harga beras di masa panen."

Hal senada diungkapkan Direktur Eksekutif Core Mohammad Faisal. Menurutnya jangan sampai permasalahan rembes jadi hal yang lumrah.

"Tetap ada peluang rembes karena pasar dalam negeri itu besar, demand kuat, apalagi barang yang dikonsumsi oleh golongan atas itu bisnis yang menguntungkan sekali. Ini perlu diinvestgasi karena kemungkinan harga beras khusus yang dijual di bawah HET (harga eceran tertinggi) tetap ada," kata dia, Rabu.

Baca juga artikel terkait BERAS IMPOR atau tulisan lainnya dari Selfie Miftahul Jannah

tirto.id - News
Reporter: Selfie Miftahul Jannah
Penulis: Selfie Miftahul Jannah
Editor: Rio Apinino