Menuju konten utama

Menanti Taji Pemerintah Basmi Menjamurnya Konten Pornografi Anak

Kolaborasi pemerintah dengan kebijakan PSE (Penyelenggara Sistem Elektronik) adalah salah satu langkah untuk membasmi menjamurnya konten pornografi anak.

Menanti Taji Pemerintah Basmi Menjamurnya Konten Pornografi Anak
Ibu dan anak menggunakan smartphone. Getty Images/iStockphoto

tirto.id - Konten pornografi anak di Indonesia bak jamur di musim hujan. Angkanya baru-baru ini dilaporkan pemerintah terbilang fantastis.

Pekan lalu, Kamis (18/4/2024) di Jakarta, Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Menko Polhukam), Hadi Tjahjanto, menyatakan temuan pornografi anak di Indonesia tembus jutaan kasus.

Dalam kurun waktu empat tahun, ada sekitar 5,5 juta konten pornografi anak yang tercatat di Indonesia. Menkopolhukam mengklaim, tahun lalu Kominfo sudah menurunkan sebanyak 1,9 juta konten pornografi anak yang beredar di dunia maya.

Temuan ini membuat Indonesia tercatat sebagai peringkat empat secara internasional dan peringkat dua dalam regional ASEAN soal konten pornografi anak terbanyak.

“Permasalahan ini saya yakin adalah fenomena gunung es, di lapangan akan lebih banyak tidak sesuai dengan data yang kita terima,” kata Hadi.

Laporan tersebut tentu menimbulkan kekhawatiran dan kemirisan, terutama di hati para orang tua. Sudah waktunya ada langkah serius dari pemerintah membasmi pornografi dan prostitusi anak yang marak dijumpai di Internet.Regulasi yang mendukung perlu disertai dengan penegakan hukum yang bertaji.

Salah satu rencana yang diambil pemerintah untuk membasmi peredaran konten pornografi anak adalah menggodok rancangan peraturan pemerintah (RPP) tertang tata kelola perlindungan anak oleh penyelenggara sistem elektronik (PSE).

RPP ini adalah mandat dari Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) yang telah direvisi.

Isinya, mewajibkan penyelenggara sistem elektronik atau PSE menjamin dan memberikan perlindungan anak yang mengakses internet.

Menteri Komunikasi dan Informatika (Menkominfo), Budi Arie Setiadi, buka suara soal rencana pemerintah ini kepada awak media, Jumat (19/4/2024) di Kantor Kominfo, Jakarta.

Ia menyatakan, Indonesia termasuk sedikit negara yang mulai menerapkan regulasi tata kelola perlindungan anak oleh PSE.

“Kami sedang menyusun RPP-nya sebagai turunan dari Undang-Undang (UU) Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE),” kata Budi.

Budi menyebut pornografi anak sebagai penyakit sosial yang perlu dibasmi. Dia menyatakan temuan konten pornografi anak selalu ada hampir di semua platform dunia maya.

Kominfo, kata Budi, akan bekerja sama dengan kementerian/lembaga lain untuk menyempurnakan RPP yang ditargetkan rampung tahun ini.

“Begitu anak jadi korban, maka bisa jadi pelaku, dan [mengalami] trauma. [Ini] kolaborasi [dengan] Kemen PPPA, Kemenag, dan perang pornografi terhadap anak,” tegas Budi.

Foto Body Anak-anak yang sedang bermain

Foto Body Anak-anak yang sedang bermain di reruntuhan komplek Keraton Surosowan. Tirto.id/Fadrik Aziz Firdausi

Direktur Eksekutif ELSAM, Wahyudi Djafar, menyampaikan bahwa RPP terkait tata kelola perlindungan anak oleh penyelenggara sistem elektronik (PSE) memang suatu kewajiban yang harus dilakukan pemerintah sesuai UU ITE baru.

Pasal 16A Ayat (1) UU Nomor 1 Tahun 2024 tentang Perubahan Kedua atas UU No 11/2008 tentang ITE menyebutkan, penyelenggara sistem elektronik wajib memberikan perlindungan bagi anak yang mengakses sistem elektronik.

Dalam memberikan produk, layanan, dan fitur bagi anak, PSE wajib menerapkan teknologi dan langkah teknis operasional untuk memberikan perlindungan dari tahap pengembangan sampai tahap penyelenggaraan.

Maka dalam hal ini, perlindungan yang dimaksudkan terhadap hak anak, mencakup penggunaan produk, layanan, dan fitur yang dikembangkan dan diselenggarakan oleh PSE.

“Pornografi secara umum di Indonesia memang cukup tinggi ya dibanding negara lain. Karena di kita kan konsepnya larangan dan jadi semacam alasan agar publik menggunakan berbagai cara untuk mengakses konten pornografi tersebut,” kata Wahyudi kepada Tirto, Senin (22/4/2024).

Ia berpendapat, penyusunan RPP jangan sampai asal jadi tanpa memperhatikan metode memperkuat perlindungan anak dalam memanfaatkan dunia digital. Salah satu yang bisa dimandatkan kepada PSE adalah menerapkan langkah jaminan usia bagi pengguna atau age assurance.

“Diatur, jadi anak itu mengakses konten di PSE sesuai dengan umurnya. Dan kewajiban PSE juga adalah mengembangkan berbagai macam teknologi seperti AI untuk mengidentifikasi anak yang memakai medsos tertentu atau gim tertentu,” terang Wahyudi.

PSE harus tahu betul dan memiliki cara untuk memastikan bahwa konten yang diakses untuk anak-anak aman. Sebab, banyak modus pemalsuan umur yang terjadi dunia maya sehingga moderasi konten kepada anak-anak menjadi lemah.

Kolaborasi pemerintah lewat regulasi, dengan kebijakan yang diambil PSE merupakan salah satu langkah untuk membasmi menjamurnya konten pornografi anak.

“Itulah mengapa mereka (PSE) harus melakukan perkembangan teknologi untuk identifikasi umur agar tahu betul dia (pengguna PSE) anak atau bukan. Tentu soal konten yang didistribusikan dan dikonsumsi di PSE tersebut jadi bisa dimoderasi,” tutur Wahyudi.

Mekanisme pemantauan konten tidak layak agar anak tidak bisa diakses menjadi penting dikembangkan. Metode filterisasi umur menjadi tanggung jawab PSE untuk melindungi anak dari konten-konten yang tidak layak bagi mereka.

Tantangannya, kata Wahyudi, regulasi terhadap pornografi berbeda-beda di setiap negara. Ada negara yang melegalkan pornografi meski sudah pasti--seperti di Indonesia--pornografi anak pasti dilarang karena bentuk penyimpangan. Namun ini bisa menjadi celah yang harus mampu dibaca oleh PSE dan dicegah pemerintah.

“Ketika ada unsur pornografi anak harus ada penegakan hukum. Dan kerja sama dengan PSE untuk filtering karena pemerintah tidak punya akses ke sana. Pemerintah harus mengambil dan mengembangkan langkah sistemik untuk literasi digital juga,” ungkap Wahyudi.

ANAK PENGUNGSI KORBAN GEMPA LOMBOK

Sejumlah anak bernyanyi bersama dengan relawan di tempat penampungan pengungsi korban gempa bumi di Pemenang, Lombok Utara, Lombok Utara, NTB, Selasa (7/8/2018). ANTARA FOTO/Zabur Karuru

Galakkan Penegakan Hukum

Pemerintah juga perlu terus menggalakkan penegakan hukum agar bisa membongkar praktik pornografi dan prostitusi anak yang tak jarang saling berkaitan.

Perlu langkah yang tidak sekadar reaktif, namun disertai upaya-upaya melakukan monitoring dan penyisiran konten pornografi anak. Pasalnya, konten pornografi anak sudah begitu mudah ditemukan di platform media sosial, bahkan diperjualbelikan dengan terang-terangan.

Kasus-kasus terbongkarnya pornografi anak bisa menjadi pelajaran. Misalnya, ketika Aparat Kepolisian Resor Kota (Polresta) Bandara Soekarno-Hatta (Soetta), Polda Metro Jaya, berhasil membongkar jaringan internasional jual beli pornografi anak sesama jenis lewat aplikasi Telegram. Saat itu, delapan korban anak dengan rentang usia 12 sampai 16 tahun menjadi korban.

Kasus ini berasal dari laporan masyarakat sejak 21 Agustus 2023 mengenai tindak pidana pornografi jaringan internasional.

Selanjutnya, pihak kepolisian melakukan penyelidikan dan berkoordinasi dengan Federal Bureau Of Investigastion (FBI) U.S. Ada lima orang pelaku yang dicokok dalam kasus ini, dan keuntungan perbuatan bejat mereka mencapai hampir Rp100 juta.

Ahli hukum pidana Universitas Trisakti, Abdul Fickar Hadjar, membenarkan bahwa kasus pornografi anak tidak jarang melibatkan jaringan internasional. Sehingga diperlukan terobosan lintas negara dalam penegakan hukum untuk membabat pornografi anak di Indonesia.

“Kerja sama lintas negara itu menjadi kebutuhan yang utama, mengingat peredarannya yang melintas batas negara,” tutur Abdul kepada Tirto, Senin.

Menurutnya, pornografi anak di Indonesia tumbuh subur karena diserap pasar dengan antusias. Artinya, kata dia, konten bejat itu dusukai pasar, terutama kalangan anak-anak. Maka, monitoring harus dimulai secara internal dari level keluarga.

“[Suburnya konten ini] menggambarkan cueknya atau sikap lemahnya peran negara alias pemerintahan dalam pemberantasan pornografi,” tegas Abdul.

Data Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) menunjukkan, periode 2021-2023 tercatat 2.455 kasus anak korban kejahatan seksual, 303 kasus anak korban eksploitasi ekonomi dan seksual, serta 128 kasus penculikan/perdagangan anak.

Bahkan pada 2022, KPAI pernah melaporkan ke Pusat Pelaporan dan Analisa Transaksi Keuangan (PPATK) bahwa transaksi video porno dan seksual melibatkan anak di bawah umur di Indonesia mencapai Rp114,26 miliar.

Wakil Ketua Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI), Jasra Putra, menyatakan paparan pornografi dan judi online pada anak di Indonesia sudah masuk dalam level darurat. Jasra menilai, perlindungan anak-anak di ranah daring menghadapi tantangan besar, sebab tidak mudah melakukan intervensi.

“Meski ada pembatasan, agar anak terlidungi. Tapi pada kenyataannya sangat sulit ya. Karena belum ada alat yang bisa mendeteksi cepat, ketika kejahatan tali temali industri candu meng-grooming anak melalui jaringan pribadinya,” kata Jasra kepada Tirto, Senin.

KPAI menyampaikan data tiga tahun terakhir, 2021 sampai 2023, ada 287 anak menjadi korban kejahatan pornografi, 194 anak sebagai korban perundungan di dunia maya, 60 anak menjadi korban penculikan, 16 anak menjadi korban perdagangan, 118 di ekesploitasi dengan motif ekonomi, 70 anak diperkerjakan, dan 115 anak di jebak dalam dunia prostitusi.

Masalahnya, anak kerap tidak memahami bahwa mereka sedang dimasukkan dalam perangkap yang akan membawanya dalam situasi yang sangat buruk.

Jasra menegaskan, betapa daruratnya kondisi ini sehingga negara harus segera mengambil peran mengantisipasi. Di sisi lain, terdapat sejumlah kasus dan anak-anak yang menjadi korban pornografi masih belum mendapatkan pendampingan psikologis dari pemerintah setempat.

KPAI turut mendukung rencana pemerintah yang ingin membentuk satuan tugas untuk membasmi pornografi anak. Menurut Jasra, KPAI mengajak semua pihak untuk mendukung hal ini agar pemberantasan pornografi anak bisa serius ditangani oleh negara.

Rencana Pemerintah

Selain membentuk satgas dan menggodok RPP terkait tata kelola perlindungan anak oleh penyelenggara sistem elektronik (PSE), pemerintah juga terus mengupayakan lahirnya Peraturan Presiden (Perpres) Tentang Peta Jalan Pelindungan Anak Di Ranah Dalam Jaringan.

Hal ini disampaikan oleh Deputi Peningkatan Kualitas Anak, Perempuan dan Pemuda Kemenko PMK, Woro Srihastuti Sulistyaningrum.

Woro menyatakan, pornografi menjadi perhatian bersama kementerian/lembaga. ke depan, dengan hadirnya gugus tugas pencegahan dan penanganan pornografi, akan semakin memperkuat upaya pemerintah.

“Ini Perpres yang dikawal Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KPPA). Kemenko PMK sendiri bertindak menjadi panitia antarkementerian,” kata Woro di Kantor Kemenko PMK, Jakarta, Senin.

Penyusunan Perpres akan melibatkan berbagai kementerian/lembaga seperti Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kemenkominfo), Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbudristek), Kementerian Agama (Kemenag), serta Kementerian Kesehatan (Kemenkes).

Selain itu, dengan Kementerian Sosial (Kemensos), Badan Siber dan Sandi Negara (BSSN), dan Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK).

Baca juga artikel terkait PORNOGRAFI ANAK atau tulisan lainnya dari Mochammad Fajar Nur

tirto.id - Hukum
Reporter: Mochammad Fajar Nur
Penulis: Mochammad Fajar Nur
Editor: Irfan Teguh Pribadi