tirto.id - Presiden Joko Widodo tampak semakin ambisius untuk melanjutkan proyek kereta cepat hingga ke Surabaya di akhir masa jabatannya. Ia bahkan meminta Pemerintah Cina agar mempercepat studi kelaikan perpanjangan kereta cepat Jakarta-Bandung hingga Surabaya dapat terealisasi.
Sejauh ini, pemerintah memang baru memulai melaksanakan studi untuk perpanjangan jalur kereta api cepat dari Bandung hingga Surabaya. Pembangunan tahap kedua ini rencananya akan melewati rute Yogyakarta-Solo, hingga stasiun pemberhentian akhir di Surabaya.
Panjang rel kereta cepat Jakarta-Surabaya diperkirakan sama dengan jarak jalur kereta api Jakarta-Surabaya saat ini yakni kurang lebih 720 km. Namun, waktu tempuhnya tentu akan lebih efisien, yang semula 9 jam menjadi sekitar 4 jam.
"Bapak presiden bicara mengenai masalah kereta cepat Jakarta-Bandung dan mendorong adanya alih teknologi, serta perlu percepatan penyelesaian studi kelayakan untuk perpanjangan trase (rute) ke Surabaya," kata Menteri Luar Negeri, Retno Marsudi, usai mendampingi Jokowi bertemu Menteri Luar Negeri Cina, Wang Yi, di Istana Kepresidenan, Jakarta Pusat, Kamis (18/4/2024).
Saat dikonfirmasi lebih jauh soal kesediaan pelaksanaan program kereta cepat, Retno menekankan hal tersebut akan dibahas dalam pertemuan spesifik antara Wang Yi dengan Menko Marves, Luhut Binsar Pandjaitan.
"Tadi saya sampaikan untuk ekonomi termasuk masalah kereta cepat dan sebagainya besok baru akan dibahas di Labuan Bajo. Tadi saya sampaikan di forum HDCM Pak Menko Marves, saya, dan dari RRT akan diketuai oleh Menlu Wang," kata Retno.
Sementara itu, Direktur Jenderal Perkeretaapian Kementerian Perhubungan, Mohamad Risal Wasal, mengaku tidak mengetahui ihwal keinginan Jokowi meminta Cina mempercepat studi kelaikan perpanjangan kereta cepat hingga ke Surabaya.
Namun yang pasti, kata dia, kewenangan proyek tersebut saat ini berada di bawah Kementerian Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi (Kemenko Marves).
"Yang ini belum bisa jawab, maaf banget," ujar Risal saat dikonfirmasi mengenai keinginan Jokowi mempercepat studi kelaikan kereta cepat hingga Surabaya, Kamis (18/4/2024).
Tirto juga sudah mengonfirmasi Juru Bicara Menko Marves, Jodi Mahardi, terkait update perkembangan proyek lanjutan kereta cepat Jakarta-Bandung hingga ke Surabaya. Namun, hingga berita ini dirilis, Jodi belum merespons pesan tertulis yang disampaikan Tirto.
Dalam catatan Tirto, perencanaan pembangunan Kereta Cepat Jakarta-Surabaya memang sebetulnya sudah dilakukan sejak 2017-2018. Indonesia dan Japan International Cooperation Agency (JICA) sempat meneken Summary Record On The Java North Line Upgrading Project pembangunan Kereta Semi-cepat Jakarta-Surabaya.
Kerja sama itu menegaskan komitmen Indonesia untuk menggandeng Jepang sebagai investor sekaligus menggarap mega proyek dengan biaya Rp80-120 triliun itu, ketimbang Cina yang sebenarnya juga menginginkannya.
Meski Jepang sudah terpilih, namun kesepakatan kedua negara ini menarik untuk dibicarakan. Apalagi jika dikaitkan dengan tersingkirnya Cina.
Faktanya Cina pernah beberapa kali menggarap proyek prestisius dari Pemerintah Indonesia. Pada Oktober 2015 lalu, misalnya, Cina yang memenangkan tender proyek Kereta Cepat Jakarta-Bandung yang saat ini sudah beroperasional penuh.
Urgensi Kemudahan Mobilitas
Pengamat Tata Kota dan Transportasi, Yayat Supriatna, menilai keinginan Jokowi untuk mempercepat studi kelaikan proyek kereta cepat hingga ke Surabaya menjadi salah satu urgensi. Sebab, menurutnya, transportasi kereta cepat menjadi kebutuhan masyarakat untuk kemudahan mobilitas agar lebih efisien.
"Pertama begini, memang urgensi kebutuhan untuk kemudahan mobilitas itu sangat terasa di kita yang lebih cepat, lebih mudah, lebih efisien, dan itu kita rasakan pada saat kita musim mudik [dan] balik," ujar Yayat saat dihubungi Tirto, Kamis (18/4/2024).
Menurut Yayat, selama ini mobilitas masyarakat masih mengandalkan jalan tol. Menurutnya jika sekadar mengandalkan jalan tol, maka cukup berat. Karena beberapa persoalan dihadapi mulai dari kepadatan kendaraan, kecelakaan, dan sebagainya.
"Nah, kelihatannya mimpi untuk membangun kerta api cepat Bandung- Surabaya atau Jakarta-Surabaya, ini urgensinya tinggi," ujarnya.
Lebih jauh, Yayat melihat keinginan Jokowi meminta Cina mempercepat kajian kelanjutan kereta cepat hingga ke Surabaya diharapkan bisa menjadi solusi. Karena dari situ, bisa melihat bagaimana skenario konsep pembiayaan ke depannya.
"Atau bagaimana konsep teknologi dan bagaimana konsep rencana yang digagas. Ini bisa lebih baik daripada konsep Jakarta-Bandung selama ini sedang dijalankan," ujar dia.
Di tengah pro dan kontra, kata Yayat, memang sudah saatnya pemerintah mempertimbangkan untuk gunakan kereta api sebagai pilihan moda transportasi ke depan di Pulau Jawa. Terlebih basis rel kereta api di Tanah Air sekarang ini mengandalkan warisan sisa Belanda.
"Belum banyak pertambahan yang signifikan. Jadi dengan adanya jalan kereta api yang baru ini diharapkan jadi moda alternatif di tengah semakin mahalnya biaya penerbangan," ujarnya.
"Tapi keliatannya memang Pak Jokowi sudah mulai berpikir sudah masuknya era kereta api Indonesia untuk menjelajah semua kota besar.” Imbuhnya.
Tidak Bisa Tergesa-gesa
Ketua Forum Antar Kota dan Perkeretaapian Masyarakat Transportasi Indonesia (MTI), Aditya Dwi Laksana, menambahkan dari perspektif karakteristik dan kelaikan operasional, KA kecepatan tinggi memang lebih optimal bila beroperasi di kisaran jarak antara 250 km-800 km. Artinya bisa menghubungkan dua kota perekenomian utama seperti Jakarta-Surabaya.
Namun demikian, menurutnya, rencana perpanjangan konstruksi dan operasional KA cepat dari Bandung ke Surabaya tidak harus dilakukan secara tergesa dan serba instan. Melainkan harus dengan kajian yang matang dan komprehensif. Terutama untuk faktor kajian potensi permintaan masyarakat (demand) dan kajian finansial serta pembiayaan.
"Pembangunan kereta cepat Jakarta-Bandung dengan perencanaan yang kurang matang dan kajian yang kurang komprehensif, serta pelaksanaan yang bersifat kejar tayang, harus dihindarkan di pembangunan fase berikutnya," ujar dia kepada Tirto, Kamis (18/4/2024).
Kasus kajian proyek kereta cepat Jakarta-Bandung menurutnya, berpotensi menimbulkan dampak finansial seperti pembengkakan biaya yang signifikan, kelaikan bisnis, maupun dampak teknis.
Seperti halnya pengerjaan konstruksi yang sempat berdampak pada faktor lingkungan dan keselamatan seperti banjir di tol dan terbakarnya pipa BBM.
Sebagai informasi, kenaikan biaya atau cost overrun proyek Kereta Cepat Jakarta-Bandung sebesar 1,2 miliar dolar AS atau sekitar Rp18 triliun.
Awalnya, Cina mengajukan biaya pembangunan proyek senilai 5,5 miliar dolar AS atau sekitar Rp83,6 triliun. Namun dalam perjalanannya, biaya proyek tersebut membengkak menjadi 7,5 miliar dolar AS atau Rp114,1 triliun per November 2022.
"Harus dengan kajian yang matang dan komprehensif, terutama untuk faktor kajian potensi permintaan masyarakat dan kajian finansial dan pembiayaan," ujarnya.
Aditya menambahkan, pembangunan dan operasional Kereta Cepat Jakarta-Surabaya juga sangat perlu memperhatikan prasyarat kondisi seperti pendapatan per kapita masyarakat, jumlah penduduk, kebutuhan mobilitas masyarakat, serta harmonisasi dengan prasarana angkutan yang lain, seperti transportasi udara dan jalan tol.
Selain itu, pemerintah juga perlu mengkaji seberapa besar manfaat perekonomian dari keberadaan kereta cepat tersebut. Terutama untuk peningkatan pertumbuhan ekonomi dan pertumbuhan kawasan perekonomian baru di koridor Jakarta-Surabaya.
"Kemanfaatan dari diperpanjangnya operasional kereta cepat Jakarta-Surabaya tentulah pada peningkatan mobilitas masyarakat, dan harapan untuk peningkatan pertumbuhan perekonomian dan pembukaan kawasan ekonomi baru di sepanjang koridor Jakarta-Surabaya," ungkapnya.
Di sisi lain, Ketua Institusi Studi Transportasi (Instran), Darmaningtyas, justru menolak proyek lanjutan kereta cepat ke Surabaya. Menurutnya lebih baik proyek tersebut tidak diteruskan. Hal ini mempertimbangkan kebutuhan investasi dan biaya operasional proyek terebut.
"Siapa yang mau nanggung investasi dan operasionalnya? Itu Whoosh saja katanya untuk bayar listrik setahun bisa Rp2 triliun," tandas dia.
Penulis: Dwi Aditya Putra
Editor: Irfan Teguh Pribadi