Menuju konten utama

Menanti Pertarungan 2 "Superhero", Risma Versus Ahok

Basuki Tjahaja Purnama hampir pasti maju dalam Pilkada DKI Jakarta lewat dukungan Nasdem, Hanura, dan Golkar. Sementara PDI Perjuangan sejauh ini terlihat condong menjagokanTri Rismaharini . Ada yang meyakini, pertarungan bakal seru, ibarat Superman melawan Batman.

Menanti Pertarungan 2
Gubernur DKI Basuki Tjahaja Purnama (kanan) bersama Walikota Surabaya Tri Rismaharini (kiri) mengikuti rapat terbatas yang dipimpin presiden Joko Widodo bersama menteri kabinet kerja membahas penilaian standar bisnis di Kantor Presiden, Jakarta, Senin (9/5).[antara foto/yudhi mahatma/pd/16]

tirto.id - Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok sejauh ini belum tertandingi. Dalam berbagai survei, Ahok selalu unggul untuk menjadi Gubernur DKI Jakarta. Nama-nama yang sempat muncul seperti Sandiaga Uno ataupun Yusril Ihza Mahendra, belum cukup kuat untuk mengalahkan kekuatan Ahok. Hingga muncullah nama Tri Rismaharini. Wanita yang ini masih menjadi Walikota Surabaya itu akhir-akhir ini muncul sebagai salah kandidat untuk menyaingi Ahok. Jika benar terjadi, maka akan terjadi peperangan sengit antara Ahok dan Risma yang sama-sama berprestasi ketika memimpin daerahnya.

Ketua DPD I Partai Golkar DKI Jakarta, Fayakhun Andriadi mengibaratkan pertempuran Ahok dan Risma seperti pertarungan “Batman versus Superman”. “Saya punya analogi secara awam. Batman jagoan di Gotham City, sementara Superman jagoan di Metropolis City. Ini ibarat Risma jagoan di Kota Surabaya dan Ahok jagoan di Ibukota Jakarta,” kata Fayakhun yang partainya telah mendeklarasikan mendukung Ahok bersama Nasdem dan Hanura.

Menurut Fayakhun, dengan analogi seperti itu, sebenarnya sayang apabila kedua sosok potensial tersebut justru harus saling berhadapan di Pilkada DKI Jakarta.

Apakah artinya pendukung Ahok gentar atas kemunculan Risma yang notabene kader PDI Perjuangan? “Golkar tidak gentar, malah jadi enjoy karena seru. Pasti ada strateginya dan itu rahasia dapur. Ujungnya harus menang,” katanya yakin.

Peluang bakal munculnya duel maut Risma melawan Ahok memang semakin transparan jika melihat berbagai kejadian politik yang terjadi pekan lalu. Pertama, tentu harus mencermati bagaimana Ahok ternyata sudah pasti meninggalkan jalur independen setelah dipastikan tak mendaftar ke KPU DKI Jakarta pada tenggat Minggu (7/8/2016).

Artinya, Ahok dipastikan bakal maju dengan dukungan tiga partai yang jumlahnya 24 kursi, yakni Golkar 9 kursi, Nasdem 5 kursi dan Hanura 10 kursi. Sudah lebih dari cukup untuk memenuhi syarat UU No 8 Tahun 2015 tentang Pilkada yang minimal 21 kursi (20 persen kursi di DPRD).

Memang sempat muncul kekhawatiran bahwa Ahok gagal maju. Hal itu terjadi jika salah satu partai berkhianat. Namun, tanda-tanda munculnya pengkhianatan jauh panggang dari api.

“Kita seluruh pengurus itu sudah memutuskan adalah saudara Ahok. Jadi itu tidak ada lagi. Kita konsisten selalu. Begitu saya tanda tangan dan sekjen dan diketahui ketua harian, kita memutuskan satu, konsisten untuk satu,” tegas Setya Novanto, Ketua Umum DPP Partai Golkar kepada tirto.id, pada Senin (12/8/2016).

Pernyataan Setya Novanto bisa menjadi sinyal kedua bahwa Ahok bakal tetap maju. Terlebih pernyataan Setya Novanto itu diamini elite Nasdem maupun Hanura. “Membelot itu cuma isu yang dihembuskan supaya terjadi kegelisahan yang tidak penting,” kata Bestari Barus, Ketua Fraksi Nasdem DPRD DKI Jakarta. Sementara Irma Chaniago, Ketua DPP Nasdem mengatakan, “Kalau kami, konsisten kata dan perbuatan.”

Ahok Membuat Blunder

Nah, jika Ahok sudah hampir pasti maju, bagaimana dengan Risma?

Pada awalnya, Risma memang selalu menyatakan menolak jika harus meninggalkan Surabaya ke Jakarta. Sebab, banyak PR atau pekerjaan rumah dari warga kota buaya yang harus diselesaikannya.

Belakangan, Risma tampaknya tak kuasa lagi menolak ketika peta politik yang begitu dinamis membuatnya tak punya pilihan. Salah satu pernyataan yang agak benderang, ketika Risma memaparkan bagaimana Megawati Soekarnoputri telah berpesan kepadanya terkait Pilkada DKI Jakarta.

Menurutnya, Mega sempat berpesan bahwa untuk maju sebagai Gubernur DKI harus memiliki tiga hal. "Bukan pinangan. Ibu itu ngomongnya, Mbak Risma, kalau maju (Pilkada DKI Jakarta) harus pakai ini (menunjuk kepala), pakai ini (menunjuk hati), pakai ini. Gitu lho," ujar Risma mengutip Mega, di Gedung Mahkamah Konstitusi, Jakarta, pada Rabu (7/6/2016).

Risma kemudian memperjelas. "Maksudnya, aku harus rela (maju Pilkada DKI Jakarta). Enggak bisa aku, oh dipaksa gini. Itu enggak bisa," tambahnya.

Cukupkah sinyal dari Risma itu? Memang banyak yang memrediksi bahwa Risma kemungkinan besar tidak akan berangkat ke Jakarta karena terbuka kemungkinan PDIP bakal menggandengkan Ahok dengan Djarot Saiful Hidayat, kader partai banteng yang kini Wagub DKI Jakarta.

Apalagi fakta menujukkan, Ahok masih terus mencoba mengambil hati Megawati agar PDIP memberikan dukungan kepadanya.

Namun, sinyal yang menunjukkan bahwa Megawati sudah terlanjur patah arang terhadap Ahok juga semakin kuat. Sebut saja Eva Kusuma Sundari, anggota DPR Fraksi PDIP yang dikenal dekat dengan Megawati. Menurutnya, melobi Ketua Umum DPP PDIP tanpa melalui mekanisme organisasi tidak akan efektif.

“Dia (Ahok) menolak ikut mekanisme. Sementara Bu Mega minta mekanisme ditempuh. Bu Mega disiplin dalam berorganisasi,” kata Eva kepada tirto.id.

Satu lagi, kata kunci yang menegaskan bahwa Mega dan partai banteng sudah tak berminat kepada Ahok disampaikan Hendrawan Supratikno, Ketua DPP PDIP. Menurutnya, pilihan paling kuat memang seharusnya pasangan Ahok-Djarot, sebab mereka petahana yang berhasil dan berkinerja baik.

“Masalahnya kan Pak Ahok ini membuat blunder ketika membuat Teman Ahok. Menciptakan posisi tawar, bergaining power terhadap partai politik supaya dia tidak dikendalikan partai politik,” katanya kepada tirto.id.

Pada intinya, kader PDIP yang menyebut almarhum Taufik Kiemas --suami Megawati– sebagai gurunya itu, menyesalkan manuver politik Ahok. “Kalau dia dulu duduk manis saja, tidak banyak bicara, itu sudah. Semua akan mendukung dia,” tegasnya.

Kekuatan Besar Risma dan PDIP

Jika memang benar Megawati sudah kehilangan selera terhadap Ahok, agaknya menunggu kemunculan Risma sebagai penantang Ahok hanyalah soal waktu. Sebab, di antara kader andalan PDIP, hanya sosok Risma yang saat ini dinilai sanggup menandingi Ahok.

Agak sulit menerima analisa bahwa PDIP --partai pemenang Pemilu Legislatif 2014 di Jakarta– bersedia bergabung dengan Ahok dan tiga partai, hanya dengan mengajukan Djarot sebagai calon wagub pendamping Ahok.

Hal ini didukung pernyataan Ahmad Basarah, Wakil Sekjen DPP PDIP, yang menganggap Ahok telah melakukan kesalahan fatal saat mengultimatum Megawati agar mendukung pasangan Ahok-Djarot. "Jadi dengan demikian skenario Pak Ahok-Djarot, menurut saya sudah digugurkan sendiri sama Pak Ahok," katanya.

Lalu, bagaimana peta pertarungan jika Ahok dan Risma bakal muncul?

Seperti dikatakan Fayakhun Andriadi tadi, bakal terjadi pertarungan seru ibarat Superman versus Batman. Hal itu setidaknya bisa dilihat dari hasil “Survei Opinion Leader - Menakar Kandidat DKI-1 Jakarta” yang dilakukan Laboratorium Psikologi Politik (LPP) Universitas Indonesia dan dirilis pada Senin (1/8/2016).

Survei dilakukan dalam dua tahap, yakni Focus Group Discussion (FGD) dan Survei Opinion Leader. Sebanyak 206 pakar –60 persen berlatar belakang profesor dan doktor-- terlibat dalam survei yang dilakukan pada rentang 13 Juni 2016 - 28 Juli 2016. Mereka berasal dari berbagai institusi seperti Fisipol UGM, LPP UI, Pusat Penilitian LIPI, CSIS, The Habibie Center, Lembaga Survei Indonesia, atau Perludem.

Berdasarkan proses expert judgement terhadap sembilan tokoh yang dinilai layak untuk menjadi Gubernur DKI Jakarta, terlihat bagaimana bakal serunya pertarungan antara Ahok melawan Risma.

Simak saja, bagaimana Ahok menang tipis atas Risma dalam hal “Skor Total Kapabilitas” yang meliputi visioner, intelektualitas, governability, kemampuan politik, kemampuan komunikasi politik, atau leadership, yakni 7,87 melawan 7,77.

Sebaliknya, Risma justru unggul dalam hal “Karakter Personal”, yakni 8,3 melawan 7,9 untuk “Integritas Moral”, serta 7,1 melawan 5,6 untuk “Temparemen”. Sebagai petahana, Ahok memang masih jauh di atas Risma dalam hal tingkat elektabilitas calon Gubernur DKI Jakarta, yakni 47,29 persen melawan 11,33 persen.

Apakah tingkat elektabilitas bakal membuat Superman pasti berjaya?

Menarik menyimak analisa Yunarto Wijaya, Direktur Eksekutif Charta Politika, yang disampaikan kepada tirto.id, pada Jumat (12/8/2016), bahwa tingkat elektabilitas Risma memang masih jauh dibanding Ahok.

“Tapi dia (Risma) memiliki track record yang baik di Surabaya. Apabila dikombinasikan dengan mesin politik PDIP sebagai mesin politik terbesar di Jakarta, keduanya berpotensi menjadi kekuatan besar,” katanya.

Jadi, jika tak ada beliung yang memorak-porandakan peta politik, serunya pertarungan Batman versus Superman di Jakarta bakal segera tersaji di depan mata.

Baca juga artikel terkait PILKADA atau tulisan lainnya dari Kukuh Bhimo Nugroho

tirto.id - Indepth
Reporter: Kukuh Bhimo Nugroho
Penulis: Kukuh Bhimo Nugroho
Editor: Nurul Qomariyah Pramisti