Menuju konten utama

Jika Pilkada DKI Minus Ahok dan Risma

Sejak Ahok menyatakan maju sebagai gubernur melalui jalur independen, hampir semua elite parpol paham, hanya boleh ada satu calon buat melawan petahana yang elektabilitasnya sangat tinggi. Tapi jika Ahok ternyata gagal mencalonkan diri, diprediksi muncul lebih dari dua pasang kandidat.

Jika Pilkada DKI Minus Ahok dan Risma
Warga yang tergabung dalam relawan lingkungan Surabaya berunjuk rasa dukung Risma tetap pimpin Surabaya, di Surabaya, Jawa Timur, Selasa (9/8). [antara foto/zabur karuru/ama/16]

tirto.id - “Kan saya sudah bilang, saya senang sekali kalau semua kepala daerah nyalon gubernur di Jakarta. Supaya waktu pencalonan (kampanye) terjadi dialog kinerja, bukan SARA.”

Begitulah kalimat Basuki Tjahaja Purnama, alias Ahok, ketika ditanya kesiapannya menghadapi Tri Rismaharini. Tentu, jika kader partai banteng ini diinstruksikan Megawati untuk maju dan menjadi pesaingnya dalam Pilkada DKI Jakarta.

Entahlah, mengapa Ahok menyinggung-nyinggung soal kemungkinan munculnya isu SARA (Suku, Agama dan Ras) jika dirinya maju dalam perhelatan Pilkada tahun depan. Namun, jika melihat peta kemungkinan koalisi partai-partai politik jika Ahok muncul, sepertinya kekhawatiran Ahok bisa saja mencuat ke permukaan.

Bagaimana logikanya?

Sebenarnya, saat Ahok masih menyatakan maju dari jalur independen, sudah ada pamahaman dari para elite partai politik bahwa untuk melawan Ahok yang memiliki elektabilitas tinggi, hanya boleh dimunculkan satu lawan. Memunculkan dua lawan untuk menghadapi Ahok, sama saja memberi “kemenangan” cuma-cuma bagi Ahok. Maklum, potensi suara warga Jakarta yang tak menyukai Ahok bakal terpecah.

Parpol-parpol yang mengusung simbol Islam dan tak menyukai Ahok, sejak awal juga telah menyadari bahwa calon gubernur yang bakal mereka ajukan hanya boleh satu orang saja. Partai seperti PKS, PPP, atau PAN, tampaknya sejak awal memang bakal mencari lawan yang seimbang buat Ahok.

Simak pernyataan Zulkifli Hasan, Ketua Umum DPP PAN. “Kami coba mencari alternatif, agar masyarakat Jakarta punya alternatif pilihan. Saya usulkan Risma, semoga Mega dan PDIP setuju. Kalau setuju, Risma jadi kandidat kuat imbangi Ahok,” kata Zulkifli kepada tirto.id.

Jika PDIP tak sepakat, PAN bakal tetap membangun sebuah koalisi demi menarik Risma ke Jakarta. “Koalisi siapapun yang inginkan Risma maju,” tegasnya.

Dendam Gerindra

Ahok kini diusung oleh koalisi tiga partai pecahan “Golkar” era Orde Baru, yakni Partai Golkar, Partai Hanura pimpinan Wiranto dan Partai Nasdem pimpinan Surya Paloh. Dengan demikian, tujuh partai lainnya memang berpotensi besar berada di seberang, di bawah pimpinan PDIP. Mereka bisa bersatu mendukung Risma yang merupakan kader PDIP.

Sinyal merapatnya ketujuh partai itu sudah muncul dengan terbentuknya “Koalisi Kekeluargaan” yang disebut sebagai gagasan bersama para elite tujuh partai di tingkat DKI Jakarta. Terdiri dari PDI Perjuangan, Demokrat, Gerindra, PAN, PKB, PKS dan PPP.

Menarik menyimak apa yang disampaikan Muhammad Taufik, Ketua DPD Gerindra DKI Jakarta. Menurutnya, ketujuh partai tersebut justru lebih solid karena mereka telah sepakat soal siapa calon gubernur dan calon wagub.

“Untuk posisi cawagub, tujuh partai sepakat untuk memilih Sandiaga Uno. Sementara untuk gubernur, diserahkan kepada Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan,” katanya.

Pernyataan Taufik ini tentu saja “mencengangkan”, jika melihat bagaimana PDIP dan Gerindra pernah bersitegang pada Pilkada DKI Jakarta 2012, terkait dukungan buat pasangan Jokowi-Ahok. Maklum, saat itu, Gerindra merasa dikhianati oleh Ahok yang pada awalnya justru disokong Prabowo dan Gerindra.

Calon Level Dua

Pertanyaan yang kemudian tak kalah menarik, bagaimana jika ternyata Ahok gagal maju karena salah satu dari tiga parpol mencabut dukungan?

Peta koalisi parpol bakal berubah dan berantakan. Semua parpol bisa jadi melakukan kocok ulang dan menentukan koalisi baru dengan calon masing-masing. PDI Perjuangan pun bisa jadi mengurungkan niat untuk menarik Risma ke Jakarta.

“Kalau Ahok dijegal, Ibu Mega hampir pasti tak menginstruksikan Risma maju ke Jakarta. Sebab sebenarnya, ada elite partai yang tak sepakat jika Risma harus maju menjadi calon gubernur DKI Jakarta. Artinya, Pilkada Jakarta bisa jadi Pilkada ecek-ecek,” kata kader elite PDIP kepada tirto.id.

Menurutnya, jika tak ada Ahok, PDIP bisa saja cukup memunculkan Djarot Saiful Hidayat sembari mencari “kesepakatan” dengan parpol-parpol lainnya.

Tak hanya PDIP, partai besutan Prabowo pun bisa mengubah Sandiaga Uno menjadi calon gubernur dan bukan sekadar calon wakil gubernur. Nama Yusril Ihza Mahendra atau Adhyaksa Dault juga bisa muncul. Harap dicatat, Adhyakasa pernah mendapat sokongan dari petinggi PKS, Gerindra dan Hanura saat deklarasi menjadi cagub DKI Jakarta pada September 2015.

Pertarungan memperebutkan kursi DKI Jakarta-1 tampaknya bakal turun kualitas jika Ahok ternyata tersungkur sebelum pencalonan resmi parpol ke KPU DKI Jakarta yang ditenggat 21 September mendatang. Apalagi jika kemudian Risma tak jadi maju ke ibukota. Memang akan muncul kandidat-kandidat baru untuk menuju kursi Gubernur DKI Jakarta. Namun, dipastikan pertarungannya tidak akan sesengit jika ada Ahok, ataupun Risma.

Baca juga artikel terkait PILKADA atau tulisan lainnya dari Kukuh Bhimo Nugroho

tirto.id - Politik
Reporter: Kukuh Bhimo Nugroho
Penulis: Kukuh Bhimo Nugroho
Editor: Nurul Qomariyah Pramisti