Menuju konten utama

Menakar Arah Kebijakan Moneter The Fed & Dampaknya ke Ekonomi RI

Ketika suku bunga diturunkan, ia berimplikasi pada seluruh sektor—biaya pinjaman yang jadi lebih murah memungkinkan ekspansi.

Menakar Arah Kebijakan Moneter The Fed & Dampaknya ke Ekonomi RI
Gedung Federal Reserve Board, Washington DC, AS. AP Photo/Tom Williams

tirto.id - The Federal Reserve (The Fed) baru saja membuat kebijakan yang cukup agresif, yakni memangkas suku bunga acuan sebesar 50 basis poin (bps) menjadi 4,75-5,0 persen. Penyesuaian ini, tentu di luar ekspektasi pasar sebesar 25 bps atau 5,0-5,25 persen.

Pada awal perdagangan usai The Fed memberlakukan kebijakan itu, bursa Wall Street sempat menguat. Namun, ia akhirnya ditutup melemah di zona merah karena pasar melihat bahwa kebijakan moneter ini cenderung terlalu agresif.

Perlu diketahui bahwa pemangkasan suku bunga sebesar 50 bps atau lebih ini biasanya hanya dilakukan pada kondisi ekonomi yang sedang darurat,” ujar Equity Analyst Indo Premier Sekuritas, Imam Gunadi, kepada Tirto, Kamis (26/9/2024).

Dalam 30 tahun terakhir, kata Imam, The Fed tercatat hanya tiga kali memangkas suku bunga sebesar 50 bps. Itu terjadi pada momen dot-com bubble 2001, subprime mortgage 2008, dan pandemi COVID-19 2020.

Pemangkasan suku bunga sebesar itu kali ini dilakukan karena The Fed yakin bahwa tingkat inflasi AS sudah sesuai ekspektasi The Fed, yakni bergerak menuju target di kisaran 2 persen. Alasan lain adalah tingkat pengangguran yang masih tinggi. Pada Juli 2024, tingkat pengangguran di AS sempat menyentuh angka 4,3 persen dan sedikit menurun menjadi 4,2 persen pada Agustus 2024.

Pertimbangan lain adalah data terbaru CB Consumer Confidence yang turun ke 98,7—lebih rendah dari dari periode sebelumnya di angka 105,6 dan lebih rendah dari konsensus di 103,8.

Sementara itu, Bank Indonesia (BI) juga memutuskan ikut memangkas BI Rate sebesar 25 bps, dari sebelumnya 6,25 persen menjadi 6,0 persen. Penyesuaian juga dilakukan pada suku bunga Deposit Facility sebesar 25 bps menjadi 5,25 persen dan suku bunga Lending Facility sebesar 25 bps menjadi 6,75 persen.

Keputusan tersebut inkonsisten dengan rendahnya prakiraan inflasi pada 2024 dan 2025 yang terkendali dalam sasaran 2,5 persendengan ± 1 persen, penguatan dan stabilitas nilai tukar rupiah, dan perlunya upaya untuk memperkuat pertumbuhan ekonomi.

Ini tentu saja menjadi sentimen yang positif bagi pasar, mengingat ekonomi yang melambat misalnya seperti data PMI Manufaktur Juli dan Agustus 2024 yang masing-masing berada di level kontraktif (49,3 & 48,9), dan terus turun dari bulan Maret 2024. Selain itu, IDR juga sudah mulai stabil di Rp15,100-an terhadap dolar AS,” ujar Imam.

Pemangkasan suku bunga acuan sebesar 50 bps yang dilakukan oleh The Fed dan BI yang sebesar 25 bps, kata Imam, akan menjadi katalis positif bagi pasar domestik. Hal itu karena spread antara suku bunga The Fed dan suku bunga BI semakin membesar dan berpotensi membuat rupiah semakin perkasa terhadap dolar AS

Jika mengacu pada ICE Data Services, IDR terhadap USD sempat menyentuh level 15.069 pada 25 September 2024,” ujar Imam.

Chief Economist Bank Mandiri, Andry Asmoro, melihat masih terdapat ruang besar bagi The Fed dan BI untuk menurunkan suku bunganya hingga akhir tahun ini dan di 2025 mendatang. The Fed sendiri diproyeksikan akan kembali memangkas suku bunganya sebanyak dua kali pada tahun ini.

Berdasarkan konsensus pasar pada 2024, The Fed akan melakukan pemangkasan 25 bps secara bertahap pada November dan Desember.

"Ini kalau berdasarkan konsensus. Artinya, akan ada paling tidak total 100 basis pemangkasan dari Fed Fund Rate di tahun ini," ujar Andry dalam Media Gathering di Anyer, Kabupaten Serang, Banten.

Kepala Pusat Kebijakan Ekonomi Makro BKF Kementerian Keuangan, Noor Faisal Achmad, menambahkan bahwa penyesuaian suku bunga The Fed tidak berhenti pada tahun ini. Pada tahun depan, bank sentral AS itu diperkirakan akan kembali menyesuaikan suku bunga acuannya hingga 100 bps. Kemudian, masih akan ada pemangkasan 50 bps di 2026.

Long term akan berada di 3 persen,” ujar Noor dalam Media Gathering di Anyer, Kabupaten Serang, Banten.

Penyesuaian suku bunga The Fed tersebut kemungkinan akan diikuti oleh BI. BI sendiri diproyeksikan akan melakukan pemangkasan lagi pada November atau Desember. Penyesuaian ini mempertimbangkan kondisi inflasi yang relatif rendah di bawah kisaran 2,5 persen.

Tahun depan pun akan relatifmanageable. Dengan The Fed yang dipangkas ke 3,5 persen, BI akan ada ruang pemangkasan 25-75 bps,” imbuh Noor.

Bagaimana di Indonesia

Imam Gunadi menilai bahwa arah proyeksi pemangkasan suku bunga The Fed itu tentu akan menjadi sentimen juga untuk pasar di Indonesia. Pasalnya, kebijakan itu dapat mendorong BI untuk menurunkan suku bunganya sehingga ekonomi menjadi lebih bergairah.

Jadi, ada beberapa sektor yang mendapat katalis positif atas potensi pemangkasan suku bunga di periode yang akan datang,” kata Imam.

Imam juga menuturkan bahwa salah satu sektor yang bakal kena dampak positif adalah perbankan. Pasalnya, ketika suku bunga acuan dipangkas, bank biasanya menurunkan suku bunga pinjaman mereka. Ini membuat biaya pinjaman lebih rendah bagi konsumen dan pelaku usaha. Hal itu kemudian dapat mendorong pertumbuhan kredit.

Pemangkasan suku bunga juga dapat menurunkan cost of funds (biaya yang harus dibayar bank untuk memperoleh modal), terutama dari simpanan atau sumber pendanaan lainnya. Ketika Bank dapat memperoleh modal dengan bunga yang lebih rendah, mereka memiliki marjin lebih besar yang menguntungkan dari selisih antara suku bunga pinjaman dan suku bunga simpanan.

"Dengan suku bunga yang lebih rendah, pembayaran cicilan pinjaman menjadi lebih terjangkau bagi nasabah perbankan. Ini mengurangi risiko kredit macet atau nonperforming loan (NPL) serta meningkatkan kualitas aset dari perbankan,” jelas dia.

Tak hanya perbankan, sektor properti juga akan ikut kena dampak positif. Imam mengatakan bahwa ketika suku bunga acuan turun, bank biasanya menurunkan suku bunga KPR. Ini berarti biaya cicilan bulanan untuk pembelian rumah menjadi lebih rendah sehingga menjadi lebih terjangkau bagi konsumen.

Dengan cicilan yang lebih ringan, lebih banyak orang yang bisa membeli rumah dan mendorong permintaan properti residensial,” jelas dia.

Suku bunga yang lebih rendah berarti biaya pembiayaan untuk pengembang properti turun. Dengan demikian, biaya meminjam modal untuk ekspansi atau membiayai proyek konstruksi berkurang. Dengan begitu, pengembang pun jadi bisa menginisiasi proyek dengan risiko finansial yang lebih kecil.

Hal ini juga berlaku pada sektor otomotif yang dapat meningkatkan permintaan otomotif karena bunga KKB turun,” jelas Imam.

Pada dasarnya, lanjut Imam, ketika suku bunga diturunkan, ia dapat berimplikasi pada seluruh sektor yang ada. Biaya pinjaman yang menjadi lebih murah memungkinkan perusahaan untuk berekspansi, membuka cabang baru, membuka bisnis baru, membuka pabrik baru, dan lainnya.

Terbukanyapeluang ekspansi bisnis kemudian akan berdampak positif pula ke sektor lainnya. Misalnya, permintaan akan bahan baku meningkat, permintaan tenaga kerja meningkat, permintaan energi meningkat, dan jasa juga meningkat.

Maka dari itu, dengan adanya potensi pemangkasan suku bunga ke depan, hal ini tentu dapat menjadi katalis positif untuk ekonomi, khususnya di Indonesia,” ujar Imam.

Pengamat perbankan dan praktisi sistem pembayaran, Arianto Muditomo, mengamini bahwa penurunan suku bunga di berbagai negara akan menciptakan lingkungan dengan biaya pendanaan yang lebih murah. Hal ini secara umum akan mendukung investasi dan belanja modal oleh perusahaan serta mendorong konsumsi rumah tangga.

Permintaan kredit perbankan diharapkan meningkat, terutama di sektor-sektor yang bergantung pada pembiayaan seperti properti, manufaktur, dan infrastruktur,” ujar Arianto kepada Tirto, Kamis (26/9/2024).

Risiko juga Perlu Dipantau

Kendati memberikan dampak positif, Arianto juga melihat ada potensi risiko yang dapat terjadi. Salah satunya adalah risiko kenaikan inflasi. Pasalnya, suku bunga yang tetap rendah dalam waktu lama berisikomemicu naiknya tingkat inflasi, terutama jika permintaan agregat melonjak lebih cepat daripada pasokan.

BI harus berhati-hati mengatur inflasi agar tetap terkendali,” ujar dia.

Risiko lainnya adalah ketidakpastian global. Menurut Arianto, keputusan bank sentral global untuk menurunkan suku bunga mungkin juga merefleksikan kekhawatiran terhadap perlambatan ekonomi global. Jika pemulihan ekonomi global tidak stabil, sektor ekspor Indonesia bisa terkena dampaknya sehingga perusahaan-perusahaan yang tergantung pada pasar internasional akan menghadapi risiko lebih besar.

Selanjutnya adalah risiko terhadap kredit bermasalah (NPL). Meskipun suku bunga rendah mendorong pertumbuhan kredit, kata Arianto, bank harus tetap mewaspadai potensi risiko kredit bermasalah (NPL) jika kondisi ekonomi global atau domestik memburuk, seperti perlambatan pertumbuhan ekonomi atau ketidakpastian geopolitik.

Jadi, secara keseluruhan, suku bunga rendah memberikan banyak peluang untuk ekspansi ekonomi, tetapi bank sentral dan pelaku industri perlu mewaspadai risiko-risiko yang muncul dari kondisi ini,” pungkas dia.

Baca juga artikel terkait MONETER atau tulisan lainnya dari Dwi Aditya Putra

tirto.id - News
Reporter: Dwi Aditya Putra
Penulis: Dwi Aditya Putra
Editor: Fadrik Aziz Firdausi