tirto.id - Mahkamah Agung (MA) kembali menjadi sorotan karena mutasi yang dilakukan terhadap 22 hakim, Senin (23/4/2018). Salah satu hakim yang dimutasi adalah Effendi Mukhtar, pemberi vonis dalam praperadilan kasus Bank Century yang diajukan Masyarakat Anti Korupsi Indonesia (MAKI), pada 9 April lalu.
Berdasarkan keterangan dalam laman resmi MA, Effendi dipindahkan dari Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Selatan ke PN Jambi. PN Jaksel adalah pengadilan Kelas IA Khusus, sedangkan PN Jambi berada satu tingkat di bawahnya, yakni Kelas IA.
Atensi terhadap keputusan MA itu diberikan lantaran sebelum dimutasi Effendi memerintahkan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mengusut kembali kasus pemberian dana talangan (bailout) terhadap Bank Century satu dekade lalu.
Effendi juga memerintahkan KPK menetapkan mantan Gubernur Bank Indonesia (BI) Boediono, mantan Deputi Gubernur BI Muliaman D. Hadad, dan eks Sekretaris Komite Stabilitas Sistem Keuangan (KSSK) Raden Pardede sebagai tersangka.
“Hal ini tentu jadi tanda tanya besar. Kenapa yang bersangkutan dimutasi? Apakah ada kaitan politis di dalamnya?” kata peneliti dari Masyarakat Pemantau Peradilan Indonesia (MaPPI) Universitas Indonesia, Aradila Caesar, Selasa (24/4/2018).
Menurut Aradila, MA harusnya terbuka saat melakukan mutasi, demosi, atau promosi hakim. Jika ada keterbukaan, masyarakat bisa menilai alasan di balik adanya pemindahan tugas hakim dari satu tempat ke tempat lain.
Arad menganggap, MA belum terbuka dalam memberi informasi seputar mutasi hakim. Ia mencontohkan, lembaga penegak hukum itu selama ini hanya menayangkan nama-nama hakim yang dipindah tanpa menyebut alasan atau jabatan barunya.
“Akuntabel itu, kan, dapat diuji dan dipertanggungjawabkan. Karena itu, kata dia, mutasi atau promosi harus menyertai alasan dan perlu dijelaskan [...] Kalau hanya mengumumkan siapa [hakim] yang dipindah itu hal mudah," kata Arad.
Alumnus Universitas Islam Indonesia (UII) itu menilai, pemberitahuan alasan mutasi dapat meminimalkan potensi terjadinya praktik korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN) saat ada mutasi hakim.
Proses Mutasi Tak Transparan
Persoalan mutasi hakim sempat mendapat sorotan kala MA memindahkan Sarpin Rizaldi dari Pengadilan Negeri Jakarta Selatan ke Pengadilan Tinggi Pekanbaru, pada 2015. Sarpin dipindahkan setelah ia mengabulkan gugatan praperadilan Budi Gunawan atas status tersangka kasus rekening gendut oleh KPK. Putusan itu terbit pada Februari, dan Sarpin mendapat promosi di Oktober 2015.
Menurut peneliti dari Lembaga Kajian dan Advokasi untuk Independensi Peradilan (LeIP) Liza Farihah juga berpendapat yang sama bahwa proses promosi dan mutasi hakim selama ini tidak jelas dan transparan. Ia menyamakan proses pemindahan hakim dengan kondisi "hutan belantara".
“Jujur saja proses promosi mutasi itu bak hutan belantara. Saya belum bisa memberi solusi, tapi minimal prosesnya lebih jelas dan transparan,” kata Liza kepada Tirto.
Menanggapi mutasi Hakim Effendi ke PN Jambi, Liza mengaku sulit berpendapat apakah hal itu wajar atau tidak. Alasannya, ia mengaku nihil informasi mengenai ada atau tidaknya nama Effendi dalam daftar hakim yang dibahas Tim Promosi Mutasi (TPM) MA.
Jika nama Effendi baru masuk bursa mutasi setelah putusannya dalam praperadilan kasus Bank Century, ia berpendapat maka pertanyaan besar patut muncul. Ia berpandangan, MA harus transparan mengungkap kronologi mutasi hakim.
“Sulit soalnya kami membuktikan itu. MA yang tahu. Saya sih mempertanyakan. Maunya bilang tidak wajar, karena kalau melihat beberapa hakim yang membuat putusan mengalahkan jaksa di kasus korupsi ada yang kena perlakuan mutasi macam hakim [Effendi] ini,” kata Liza.
Respons Mahkamah Agung
Pihak MA pun buka suara menanggapi perhatian publik atas mutasi Hakim Effendi. Kepala Hubungan Masyarakat MA, Abdullah menjelaskan mutasi Effendi merupakan hal biasa dan tak perlu dipertanyakan.
Menurut Abdullah alasan mutasi Effendi karena dia sudah lebih dari dua tahun bertugas di PN Jakarta Selatan. Abdullah menyebut, normalnya hakim senior bertugas di suatu pengadilan maksimal dua tahun.
“Sepanjang pindahnya masih di sesama pengadilan tingkat pertama, itu namanya mutasi [...] Tugas hakim adalah mengadili dan memutus perkara. Semua hakim yang mutasi sudah pasti habis memutus perkara, apapun perkaranya,” kata Abdullah.
Abdullah menegaskan, keberadaan hakim pengadilan yang berada di ibu kota juga bukan merupakan puncak karier dari sang hakim. Menurut Abdullah, semua hakim harus siap dipindahkan ke daerah manapun.
“Semua hakim di Jakarta harus banyak belajar dan persiapan mutasi ke daerah. Semua hakim hanya menunggu kapan mutasinya. Oleh sebab itu semuanya harus siap,” kata Abdullah.
Penulis: Lalu Rahadian
Editor: Suhendra