Menuju konten utama

Setelah PN Jaksel Perintahkan KPK, Akankah Boediono Jadi Tersangka?

KPK akan menelaah putusan hakim sebelum menindaklanjuti putusan ini.

Setelah PN Jaksel Perintahkan KPK, Akankah Boediono Jadi Tersangka?
Mantan Wakil Presiden Boediono melambaikan tangan saat memasuki mobil seusai menjalani pemeriksaan di gedung KPK Jakarta, Kamis (27/12/2017). ANTARA FOTO/Wahyu Putro A

tirto.id - Pengadilan Negeri Jakarta Selatan memerintahkan Komisi Pemberantasan Korupsi agar menetapkan status tersangka untuk mantan Gubernur Bank Indonesia Boediono, mantan Deputi Gubernur BI Muliaman D. Hadad, dan mantan Sekretaris Komite Stabilitas Sistem Keuangan Raden Pardede.

Perintah itu disampaikan dalam putusan praperadilan yang diajukan Masyarakat Anti Korupsi Indonesia (MAKI) selaku pemohon kepada KPK selaku termohon, dengan nomor gugatan Praperadilan Nomor 24/Pid.Prap/2018/Pengadilan Negeri Jakarta Selatan.

Gugatan ini terkait penghentian penyidikan terkait peran Boediono dalam kasus korupsi dalam pemberian Fasilitas Pendanaan Jangka Pendek (FPJP) dan pemberian bailout untuk Bank Century yang sudah menyeret Budi Mulya sebagai terpidana.

“Memerintahkan termohon untuk melakukan proses hukum selanjutnya sesuai dengan ketentuan hukum dan perundang-undangan yang berlaku atas dugaan tindak pidana korupsi Bank Century, dalam bentuk melakukan penyidikan dan menetapkan tersangka terhadap Boediono, Muliawan D. Hadad, Raden Pardede, dan kawan-kawan sebagaimana tertuang dalam surat dakwaan atas nama terdakwa Budi Mulya, atau melimpahkannya kepada kepolisian, dan atau kejaksaan, untuk dilanjutkan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan, dalam proses persidangan di pengadilan Tipikor, Jakarta Pusat,” kata hakim tunggal Effendi Muchtar saat membacakan putusan praperadilan di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, Senin (9/4/2018).

Dalam pertimbangannya, hakim Effendi meminta KPK bersikap adil sebagai penegak hukum dan meminta KPK melanjutkan pemeriksaan dan penuntutan agar perkara Budi Mulia diproses secara tuntas.

Hakim Effendi juga menilai, KPK harus memproses nama-nama yang terdapat dalam dakwaan apapun risiko karena sebagai konsekuensi logis KPK kepada masyarakat bahwa dalam penindakan dilarang melanggar prinsip-prinsip dan asas-asas dalam teori hukum pidana.

Saat dihubungi Tirto, Koordinator LSM MAKI Boyamin Saiman mengatakan dirinya meyakini KPK akan menjalankan putusan hakim. Keyakinan itu lantaran KPK sudah tak punya alasan untuk menunda pengusutan kasus.

“Saya yakin KPK akan patuh perintah hakim Praperadilan. [Tapi] Saya belum memikirkan langkah jika KPK mogok," kata Bonyamin, Selasa (10/4/2018).

Boyamin mengatakan putusan tak punya muatan politis dalam pengajuan gugatan praperadilan ini. Menurut mantan pengacara Antasari Azhar ini, dirinya sudah menggugat kasus century ini sebanyak enam kali dan baru kali ini dimenangkan PN Jaksel. Ia mengklaim, gugatan ini murni untuk pemberantasan korupsi.

“Kami sudah mengajukan Praperadilan kasus Century sebanyak 6 kali dan tidak ada tekanan apapun selama ini sejak 2010. Tidak adil jika kami kejar hampir semua kasus besar di KPK dan sementara kasus Century kami biarkan,” ucap Boyamin.

Salah Satu Peran Boediono di FPJP Century

Dalam surat dakwaan primer terhadap Budi Mulya, Boediono disebut sebanyak 44 kali. Ia diduga terlibat dalam penetapan status Bank Century sebagai bank gagal berdampak sistemik yang harus menerima kucuran dana FPJP dan dana talangan.

Sebelum FPJP itu dikucurkan, Bank Indonesia yang kala itu dipimpin Boediono sebagai Gubernur BI, mengubah Peraturan Bank Indonesia (PBI) Nomor 10/26/PBI/2008 tertanggal 30 Oktober 2008.

PBI tersebut mensyaratkan bank umum yang hendak mengajukan permohonan FPJP wajib memiliki capital adequacy ratio (CAR) atau rasio kewajiban modal minimum sebesar 8 persen, sementara CAR Bank Century per September 2008 hanya sebesar 2,35 persen.

Bank Indonesia kemudian mengubah PBI Nomor 1o/26/PBI/2008 dengan PBI Nomor 10/30/PBI/2008 yang menjadikan syarat pengajuan permohonan FPJP menjadi 'CAR positif'.

Perubahan PBI ini disebut Budi Mulya harus melalui persetujuan dan tanda tangan dari Boediono selaku Gubernur Bank Indonesia. “Perubahan PBI itu harus ditandatangani Gubernur BI,” kata Budi usai menjalani persidangan pada Jumat 9 Mei 2014.

Perubahan PBI ini menjadi pintu masuk pemberian FPJP yang kemudian dikucurkan pemerintah melalui KSSK kepada Bank Century dan diputuskan dalam rapat 20-21 November 2008. Dalam surat dakwaan Budi Mulya, perubahan PBI ini menjadi pintu masalah dalam kasus ini.

Tanggapan KPK

Menanggapi putusan ini, Kepala Biro Humas KPK Febri Diansyah mengatakan Komisi menghormati keputusan hakim. Ia mengatakan, KPK akan menelaah putusan hakim tersebut sebelum menindaklanjuti dengan penetapan tersangka.

“Tentu kami hormati putusan pengadilan tersebut. Berikutnya KPK akan mempelajari putusan itu dan melihat sejauh mana bisa diimplementasikan karena amar putusan tersebut relatif baru dalam sejumlah putusan praperadilan yang ada,” ujar Febri, Selasa (10/4/2018).

Febri menegaskan, KPK akan terus mengusut kasus yang merugikan keuangan negara sebesar Rp7,4 triliun--saat disidangkan kerugiaan negara disebut Rp6,4 triliun--. Ia menegaskan, KPK berkomitmen penuh untuk menyelesaikan perkara hingga selesai.

"Prinsip dasarnya, KPK berkomitmen mengungkap kasus apapun sepanjang terdapat bukti yang cukup," kata Febri.

Tirto berusaha menghubungi Luhut MP Pangaribuan selaku penasihat hukum Budi Mulya terkait putusan ini. Namun, pesan singkat yang kami layangkan melalui aplikasi pesan WhatsApp hanya dibaca.

Latar Belakang Kasus

Dalam surat dakwaan terhadap Budi Mulya, kasus ini bermula sejak 2005. Namun melansir BBCIndonesia.com, masalah di bank ini baru mencuat antara 31 Oktober hingga 3 November 2008. Kala itu, Bank Century dilaporkan mengalami masalah likuiditas serius sehingga manajemen Bank Century mengajukan FPJP senilai Rp1 triliun kepada Bank Indonesia.

Pada 5 November 2008, Gubernur Bank Indonesia Boediono menempatkan Bank Century dalam pengawasan khusus. Kemudian pada 6 November 2018, BI mulai mengawasi Bank Century dan melarang penarikan dana dan rekening simpanan di Bank Century.

Pada 13 November 2008, Menteri Keuangan Sri Mulyani melaporkan masalah Bank Century kepada Presiden Susilo Bambang Yudhoyono yang sedang berada di Washington D.C.

Kemudian pada 20-21 November 2008, Komite Stabilitas Sistem Keuangan (KSSK) yang diketuai Sri Mulyani menggelar rapat bersama Gubernur Bank Indonesia, Lembaga Penjamin Simpanan (LPS). LPS kemudian mengambil alih kepemilikan Bank Century.

Rapat terakhir ini yang kemudian menetapkan Bank Century sebagai bank gagal yang berdampak sistemik sehingga membutuhkan bantuan talangan (bailout). Belakangan dalam penyelidikan yang dilakukan KPK, Komisi menduga bailout ini diputuskan dengan berbau korupsi.

Pada November 2012, KPK kemudian menetapkan Budi Mulya dan Siti Chalimah Fadjriah sebagai pihak yang patut dimintai pertanggungjawaban. Namun dalam perjalanannya, hanya Budi Mulya yang ditetapkan tersangka lantaran Siti Chalimah Fadjriah sakit stroke dan kemudian meninggal pada 16 Juni 2015.

Budi kemudian divonis bersalah dalam kasus skandal suap Bank Century. Mantan Deputi Gubernur Bank Indonesia Bidang Pengelolaan Moneter dan Devisa itu dinilai terlibat merugikan keuangan negara sejak penyetoran Penyertaan Modal Sementara (PMS) 24 November 2008 hingga Desember 2013 sebesar jumlahnya Rp 8,012 triliun.

Pada tingkat pengadilan negeri, Budi Mulya divonis 10 tahun penjara, pada Rabu 16 Juli 2014. Ia kemudian mengajukan banding, tetapi hakim Pengadilan Tinggi Jakarta justru memperberat hukuman Budi. Hakim Widodo dan dua hakim pengadilan Tinggi memperberat hukuman Budi Mulya menjadi 12 tahun penjara.

Tidak puas dengan putusan pengadilan tinggi, Budi membawa perkara ini ke tingkat kasasi. Namun, Hakim Agung Artidjo Alkostar dan dua hakim lain memperberat hukuman Budi Mulya menjadi 15 tahun penjara.

Baca juga artikel terkait KORUPSI CENTURY atau tulisan lainnya dari Mufti Sholih

tirto.id - Hukum
Reporter: Andrian Pratama Taher
Penulis: Mufti Sholih
Editor: Mufti Sholih