tirto.id - Jumlah kasus demam berdarah dengue (DBD) di Indonesia mengalami lonjakan drastis pada awal 2020. Kementerian Kesehatan mencatat jumlah kasus DBD di Indonesia menembus angka 16 ribu dari periode Januari hingga awal Maret 2020 saja. Dari jumlah tersebut, 100 jiwa dinyatakan meninggal dunia.
Wabah DBD di Kabupaten Sikka, Nusa Tenggara Timur, misalnya, sudah berstatus Kejadian Luar Biasa (KLB). Dinas Kesehatan Kebupaten Sikka mengumumkan jumlah kasus DBD di daerah ini telah mencapai 1.195 per Selasa, 10 Maret 2020. Sementara itu, jumlah pasien yang dirawat saat ini 130 orang.
Pemerintah Kabupaten Sikka mulai melakukan pengasapan untuk membasmi sarang nyamuk yang akan berlangsung selama 14 hari ke depan. Pemda setempat juga sudah empat kali meningkatkan status KLB DBD setelah semakin banyak kasus terjadi.
Pada dasarnya peningkatan kasus DBD kerap terjadi pada awal tahun. Di bulan Januari 2019, misalnya, setidaknya terjadi 15.132 kasus di seluruh Indonesia. Bahkan ada beberapa daerah seperti Kabupaten Manggarai Barat dan Kota Kupang di Nusa Tenggara Timur yang menetapkan KLB DBD.
Menurut Direktur Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Tular Vektor dan Zoonotik, Kemenkes, Siti Nadia Tarmizi, "Upaya yang dilakukan mendorong peningkatan kegiatan preventif." Kegiatan preventif tersebut ialah pemberantasan sarang nyamuk, baik di rumah, sekolah, tempat umum maupun rumah ibadah.
Kata Nadia, pemerintah juga berupaya memastikan logistik untuk tes DBD mencukupi di berbagai wilayah, selain juga persediaan abate, insektisida serta larvasida. Nadia juga mengklaim pemerintah sudah melakukan langkah untuk mengantisipasi peningkatan kasus DBD di beberapa daerah. "Menyiagakan rumah sakit untuk antisipasi peningkatan kasus DBD dan memastikan cairan dan alat infus tersedia," imbuhnya.
Sementara itu, pada 29 Januari 2019, Sekretaris Jenderal Kementerian Kesehatan (Kemenkes) RI Oscar Primadi dalam keterangannya menyatakan bahwa upaya perubahan perilaku memang harus dilakukan dalam menyikapi DBD. Artinya, persoalan DBD bukan hanya soal nyamuk, tapi juga faktor perilaku manusia yang mendukung perindukan nyamuk meningkat.
World Health Organization (WHO) dalam laporannya berjudul “WHO Global strategy for dengue prevention and control 2012–2020” menunjukkan bahwa sebagian besar negara di Asia Tenggara merupakan endemic DBD. WHO juga menjelaskan adanya pola musiman DBD di berbagai negara. Di India, misalnya, kasus yang tinggi terjadi pada Agustus hingga November. Di Myanmar dan Sri Lanka, peningkatan jumlah kasus dilaporkan antara Mei dan Agustus. Sementara di Indonesia peningkatan kasus memang terjadi pada Januari hingga Februari.
Berdasarkan data Ditjen P2P Kemenkes RI, rata-rata ada 424 wilayah kabupaten/kota di Indonesia yang melaporkan kejadian DBD setiap tahunnya. Dalam kurun 2010 hingga 2018, jumlah kabupaten/kota yang mengalami DBD di Indonesia mencatat tren kenaikan, meski sempat menurun pada 2017.
Sementara itu untuk angka kejadian atau incident rate, ada rata-rata 49 kasus DBD per 100.000 penduduk setiap tahunnya di seluruh wilayah Indonesia.
Memang angka kejadian DBD di Indonesia sangat dinamis. Pada 2008-2010, misalnya, terjadi 65 kasus DBD per 100.000 penduduk setiap tahun. Kemudian terjadi peningkatan drastis pada 2015-2016, hingga kemudian menurun lagi pada 2017 dan 2018.
Jika membandingkan incident rate DBD pada 2017 dan 2018, ditemukan bahwa kasus DBD meningkat pada 20 provinsi. Provinsi yang mengalami peningkatan tersebut adalah Kalimantan Tengah, Sulawesi Utara, Bengkulu, Kalimantan Selatan, Kepulauan Bangka Belitung, Sulawesi Barat, Gorontalo, Kalimantan Timur, Nusa Tenggara Timur, Kepulauan Riau, Maluku, Sumatera Selatan, Kalimantan Barat, Sulawesi Tengah, Papua Barat, Maluku Utara, Jambi, Sulawesi Selatan, Sumatera Utara, dan Jawa Timur.
Namun terdapat pula daerah yang mengalami penurunan kasus DBD hingga 5 kali lipat. Di Bali, sebagai contoh, dari 105 kasus menurun hingga 21 kasus saja pada 2018. Sebagai catatan, incident rate di Bali terus mengalami penurunan dari 2016 yang mulanya mencapai 515 kasus. Penurunan kasus di Bali menandakan bahwa pencegahan kasus DBD melalui intervensi perilaku bisa dilakukan.
Selain melakukan pencegahan melalui kontrol perilaku, membaca kasus DBD dalam hubungannya dengan situasi iklim (kenaikan kasus DBD pada bulan-bulan tertentu di daerah tertentu) sesungguhnya sama pentingnya untuk diketahui publik. Dengan demikian upaya pencegahan DBD tidak hanya soal menjaga kebersihan dan upaya preventif seperti pemberantasan sarang nyamuk, tapi juga menggunakan proyeksi wilayah lengkap dengan deteksi sistem informasi geografis.
Studi terbatas atas kondisi iklim dengan pola kejadian demam berdarah oleh Dian Perwitasari dan kawan-kawan dari Pusat Teknologi Intervensi Kesehatan Masyarakat Kemenkes RI (PDF) berkesimpulan, kondisi iklim tertentu pada bulan-bulan tertentu dapat menjadi salah satu faktor kuat peningkatan jumlah kasus DBD.
Studi yang hanya dilakukan di Kota Yogyakarta (2004-2011) itu membuktikan bahwa curah hujan yang berkisar di atas 200 mm dan hari hujan lebih dari 20 hari, dengan perkiraan perubahan suhu antara ± 25-27 0C dan kelembaban sebesar 80-87% berpengaruh terhadap peningkatan jumlah kasus DBD sampai lebih dari 200 kasus.
Pola yang sama, yakni melihat peningkatan kejadian DBD di Kalimantan Tengah, Sulawesi Utara, dan Bengkulu dihubungkan dengan kondisi iklimnya, dapat kita pergunakan untuk membaca situasi terkini.
Kalimantan Tengah, misalnya. Pada Januari dan Februari, kita dapat melihat bahwa curah hujan, hari hujan, rata-rata suhu, dan kelembaban kawasan itu tidak jauh berbeda dengan angka-angka yang dicatat Dian Perwitasari dan kawan-kawan. Artinya, kasus peningkatan DBD semestinya bisa diperkirakan dari kondisi iklim yang mendukung penyebaran DBD.
Dihantui COVID-19?
Merebaknya kasus DBD di Indonesia ini jelas mengkhawatirkan. Namun, Pemerintah Indonesia tampaknya harus lebih ekstra hati-hati dalam kasus ini, terlebih ketika COVID-19 tengah merebak dengan laju yang sangat cepat.
Pada 4 Maret 2020, mengutipSouth Cina Morning Post (SMCP), laporan dari jurnal medis The Lancet yang berbasis di Singapura mencatat sejumlah kesamaan antara penyakit DBD dengan COVID-19. “Penyakit dengue dan coronavirus 2019 (Covid-19) sulit dibedakan karena mereka memiliki fitur klinis dan laboratorium yang sama,” tulis laporan itu. Sejumlah kesamaan ini berdampak pada diagnosis kasus positif DBD palsu yang seharusnya merupakan COVID-19.
Strait Timesmelaporkan bahwa terdapat dua pasien yang mengalami kasus ini di Singapura, seorang pria dan wanita yang sama-sama berusia 57 tahun. "Kegagalan dalam mempertimbangkan COVID-19 karena tes cepat dengue menunjukkan hasil positif memiliki implikasi serius tidak hanya untuk pasien tetapi juga untuk kesehatan masyarakat," sebut laporan itu.
Tidak hanya itu, laporan tersebut juga menekankan pentingnya kebutuhan untuk tes diagnostik yang cepat, sensitif, dan mudah untuk diakses untuk Sars-CoV-2 atau Virus Corona baru ini.
Editor: Ign. L. Adhi Bhaskara