tirto.id - Direktorat Jenderal Perhubungan Laut (Hubla) Kementerian Perhubungan (Kemenhub) sempat jadi sorotan terkait kasus hukum. Beberapa pentolan pejabat terlilit kasus dugaan korupsi.
Bobby Reynold Mamahit, mantan Direktur Jenderal (Dirjen) Direktorat Perhubungan Laut (Ditjen Hubla) Kemenhub ditetapkan sebagai tersangka korupsi oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Oktober 2015. Setelah Bobby, dua tahun berselang, ada Antonius Tonny Budiono, yang juga adalah Dirjen Hubla tertangkap basah dalam Operasi Tangkap Tangan (OTT) KPK.
Parahnya lagi, operasi Tim Saber Pungli yang dilakukan Kepolisian RI, Oktober 2016 dan April 2017 berhasil mengamankan sejumlah staf Ditjen Hubla, para calo, hingga petugas penyelenggara pelabuhan.
Tirto sempat mengeluarkan laporan mendalam mengenai situasi penjarahan kapal perang asing di perairan Indonesia. Salah satu laporannya, Ditjen Hubla dianggap memiliki peran yang kuat dalam kasus-kasus yang terjadi. Kantor yang mengurusi soal perhubungan laut itu dianggap memiliki kesempatan soal potensi penyimpangan perizinan. Perizinan di Ditjen Hubla jadi pintu masuk aksi penjarahan kapal-kapal perang oleh sindikat internasional.
Modusnya sederhana, para pelaku dapat menggunakan perizinan dari Direktorat Kesatuan Laut dan Penjagaan Pantai (KLPP), salah satu sub direktorat di Hubla, untuk dapat beraktivitas legal di perairan. Surat Hubla juga membantu mempermudah pelaku pencurian. Para pelaku diduga memanfaatkan izin melakukan kerja salvage di titik-titik koordinat tertentu, sementara itu, jika kesempatan tersedia, mereka beraksi di titik lokasi bangkai kapal. Untuk itu, Tirto mencoba membedah perizinan kegiatan salvage di Ditjen Hubla melalui arsip dokumen.
Apa Saja Dokumennya?
Terdapat enam arsip dokumen yang kami peroleh secara langsung dari Hubla, sebagai berikut: Daftar Perusahaan Salvage dan Pekerjaan Bawah Air (periode 1990-2016), Lembar Rekapitulasi Izin Usaha Perusahaan Salvage dan Pekerjaan Bawah Air; Kegiatan salvage, Surat Persetujuan Kegiatan Salvage Tahun 2017, Pengangkatan Kerangka Kapal/Pembersihan Alur Pelayaran Tahun 2014, 2015, 2016, dan 2017.
Selain itu, ada Rekapitulasi Penerimaan PNPB Jasa Navigasi Bidang Salvage dan Pekerjaan Bawah Air Subdit PM dan Pekerjaan Bawah Air (tahun 2016), dan Rekapitulasi Penerimaan PNPB Jasa Navigasi Bidang Salvage dan Pekerjaan Bawah Air Subdit PM dan Pekerjaan Bawah Air (tahun 2017; data sampai November)
Bagaimana Dokumen Didapatkan?
Tirto mengajukan permohonan informasi melalui surat elektronik kepada Pejabat Pengelola Informasi dan Dokumentasi (PPID) Kementerian Perhubungan di lingkungan Ditjen Hubla pada 14 Desember 2017. Tiga jenis data yang diminta pada waktu itu: daftar lengkap perusahaan memiliki izin usaha salvage, izin SPK kegiatan salvage periode 2013-2016, dan penerimaan negara bukan pajak atas jasa kegiatan salvage. Pihak PPID kembali kami hubungi secara langsung pada 20 Desember 2017.
Selain untuk mendapatkan informasi terkini atas status permohonan, kami juga perlu memastikan bahwa permohonan informasi itu sedang dalam proses. Pada hari yang sama kami melakukan permohonan informasi kembali secara langsung dengan menggunakan form permintaan data.
Pada 29 Desember 2017, petugas PPID menghubungi kami bahwa data yang sebelumnya sudah diminta dapat diambil secara langsung. Pada saat menerima, kami hanya mendapatkan tiga arsip dokumen untuk “Daftar Perusahaan Salvage dan Pekerjaan Bawah Air (periode 1990-2016)”; “Lembar Rekapitulasi Izin Usaha Perusahaan Salvage dan Pekerjaan Bawah Air; Kegiatan Salvage”; “Surat Persetujuan Kegiatan Salvage Tahun 2017”. Arsip dokumen izin SPK kegiatan salvage periode 2013-2016, dan penerimaan negara bukan pajak atas jasa kegiatan salvage tidak diberikan, dinyatakan tidak ada, dan belum kami peroleh pada saat itu.
Setelah melakukan wawancara kepada Menteri Perhubungan (Menhub) Budi Karya, dan mengadukan kesulitan mendapatkan data dan dokumen tersebut, kami mendapatkan respons langsung dari Menhub. Sehari setelah bertemu Menhub, pada 8 Januari 2018, dokumen lainnya akhirnya dikirim melalui surat elektronik.
Apa Yang Dapat Dibaca?
Dari empat dokumen yang akan dibedah, memberi gambaran pentingnya transparansi dalam informasi publik, termasuk soal perizinan di Hubla.
Empat dokumen itu adalah “Daftar Perusahaan Salvage dan Pekerjaan Bawah Air” (periode 1990-2016); Lembar Rekapitulasi Izin Usaha Perusahaan Salvage dan Pekerjaan Bawah Air, Kegiatan Salvage; Surat Persetujuan Kegiatan Salvage Tahun 2017; dan Pengangkatan Kerangka Kapal/Pembersihan Alur Pelayaran Tahun 2014, 2015, 2016, 2017.
Pertama, informasi mengenai rekapitulasi kegiatan salvage (halaman terakhir dokumen Surat Persetujuan Kegiatan Salvage Tahun 2017) akan kami coba bandingkan dengan dokumen lain. Kegiatan salvage untuk tahun 2017 (tercatat 70 kegiatan) kami coba bandingkan dengan jumlah total dalam “Surat Persetujuan Kegiatan Salvage Tahun 2017”. Hasilnya, dalam dokumen tercatat ditunjukkan adanya 72 kegiatan. Ada perbedaan 2 kegiatan. Sementara, jika menggunakan dokumen lain, “Pengangkatan Kerangka Kapal/Pembersihan Alur Pelayaran Tahun 2017” hanya tercantum 10 kegiatan selama tahun 2017.
Untuk tahun yang berbeda, rekapitulasi kegiatan salvage untuk tahun 2016dalam dokumen “Pengangkatan Kerangka Kapal/Pembersihan Alur Pelayaran Tahun 2016hanya disebutkan sejumlah 15 kegiatan. Juga, dari dokumen yang sama, untuk tahun 2015 hanya termuat 7 kegiatan; dan 5 kegiatan di tahun 2014.
Perlu diberikan konteks, dokumen “Lembar Rekapitulasi Izin Usaha Perusahaan Salvage dan Pekerjaan Bawah Air; Kegiatan Salvage” dan “Surat Persetujuan Kegiatan Salvage Tahun 2017” didapatkan melalui PPID tanggal 29 Desember 2017.
Sementara, dokumen “Pengangkatan Kerangka Kapal/Pembersihan Alur Pelayaran Tahun 2014, 2015, 2016, 2017” didapatkan8 Januari 2018, setelah wawancara dengan Menteri Perhubungan Budi Karya, dan mengadu perihal kesulitan akses data tersebut.
Meski juga perlu dicatat, ada kemungkinan bahwa perusahaan yang telah memiliki surat persetujuan/izin dimungkinkan tidak melakukan kegiatan sama sekali. Sehingga bisa saja terjadi perbedaan jumlah kegiatan. Atau memang database terkait dengan hal ini memang tidak rapi secara administrasi.
Kedua, dari dokumen “Pengangkatan Kerangka Kapal/Pembersihan Alur Pelayaran Tahun 2016” kita juga dapat memberi konteks kapan perizinan itu dikeluarkan. Siapa yang berwenang/pejabat terkait pada saat izin itu resmi dikeluarkan dari Hubla?
Setelah dilakukan penelusuran, kegiatan salvage yang melibatkan kapal Pioner 88 (PT Jatim Perkasa Salvage) dan Dongfu 881 (PT Haribaan) dikeluarkan pada periode Dirjen Hubla, Bobby R Mamahit. Atau kurang dari sebulan sebelum Bobby ditetapkan sebagai tersangka oleh KPK.
Sementara itu, sembilan perizinan lainnya, dengan kapal MV Laut Lestari (PT Keruk Laut Nusantara), KBR Benoa I dan KBR Survey (PT Karya Benoa Raya), Armada Salvage 8 (PT Mitra Armada Kirana), KM Riksi Adli (PT Dharma Surya Perkasa), KM Dongfu 881 (PT Indonesia Bahtera Bahari) dikeluarkan pada periode Dirjen Hubla, Antonius Tonny Budiono. Periode ini juga berkonteks bahwa Tonny belum tertangkap basah oleh OTT KPK. Pioner 88 dan Dongfu 881, Armada Salvage 8, sendiri diduga kuat merupakan kapal-kapal yang telah digunakan dalam menjarah bangkai-bangkai kapal.
Ketiga, kami juga mencoba melakukan perbandingan tiga data atas informasi latar belakang kapal dan perusahaan yang ada. Yakni, antara “Pengangkatan Kerangka Kapal/Pembersihan Alur Pelayaran Tahun 2016” dengan data terbuka (open data) dari Pusat Data Hasil Layanan Sistem Informasi Manajemen Lalu Lintas Angkutan Laut (Simlala) Kemenhub. Simlala dapat diakses melalui https://simlala.dephub.go.id/pusatdata/ juga dengan dokumen “Perusahaan Salvage & Pekerjaan Bawah Air” yang diberikan PPID pada 29 Desember 2017.
Dokumen Lengkap Perbandingan Data Informasi Perusahaan Kapal Bisa Dilihat di Bawah Ini:
Hal yang didapatkan adalah, hampir 15 perizinan di tahun 2016 itu memiliki Nomor dan Tanggal SIUP (Data Simlala Kemenhub) yang berbeda dengan Nomor dan Tanggal Izin Usaha pada dokumen “Perusahaan Salvage & Pekerjaan Bawah Air”.
Sebagai contoh, KM Armada Salvage 8 (PT Mitra Armada Kirana) untuk perizinan ke-9, ke-10, dan ke-13 menampilkan hasil berbeda antara SIUP dengan Izin Usaha. Hasilnya? No.SIUP/ Tanggal SIUP: B X-322/AL.001, 28 Augustus 2014 tercatat untuk Karmada Salvage itu. Sementara dalam data arsip dokumen ditunjukkan data: Nomor & Tanggal Izin Usaha: 1/1/IU-PBA/PMDN/2016 pada 15 Januari 2016.
Untuk PT Karya Benoa Raya juga tercatat memiliki informasi berbeda. Data Simlala Kemenhub menunjukkan :No. SIUP/ Tanggal SIUP: B X-581/AL.00 11 November 2015 dan pada data dokumen ditemukan informasi No & Tanggal Izin Usaha: 2/1/IU-PBA/PMDN/2015 6 November 2015. Selain itu, informasi KM Riksi Adli dari PT. Dharma Surya Perkasa malah tidak ditemukan sama sekali di Simlala Kemenhub ataupun arsip dokumen.
Tentu catatan ini hanyalah gambaran faktual saja atas dokumen yang dicoba diminta melalui mekanisme permohonan informasi publik. Dalam konteks Hubla mendapatkan sorotan atas berbagai skandal, tentu keterbukaan data, kelayakan informasi dokumen, termasuk konsistensi data yang satu dengan data lain sangat diperlukan. Kasus korupsi yang masih menerpa Hubla juga menjadi catatan soal transparansi di lembaga ini.
Penulis: Frendy Kurniawan
Editor: Suhendra