tirto.id - Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) kembali mengkaji fungsi dan jabatan wakil kepala daerah. Wacana ini mengulang hal sama saat ada pembahasan Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang Pilkada pada 2012.
Pada pembahasan RUU Pilkada lalu, Kemendagri yang masih dipimpin Gamawan Fauzi menilai posisi wakil kepala daerah tak perlu ditentukan melalui pemilihan kepala daerah. Gamawan saat itu juga menganggap wakil kepala daerah bisa beragam jumlahnya di tiap wilayah.
Usulan Gamawan kala itu didasari pasal 18 ayat (4) UUD 1945, yang mengatur pemilihan secara demokratis harus dilakukan untuk memilih gubernur, bupati, dan wali kota. Jelas tak ada kata "wakil" dalam aturan itu, sehingga menurut Gamawan penentuan pendamping kepala daerah bisa dilakukan tanpa pilkada.
“Konsep kami [pada 2012], wakil ditunjuk kepala daerah dari birokrasi [tapi] ditolak DPR, akhirnya sistemnya menjadi paket,” kata Direktur Jenderal Otonomi Daerah Kemendagri Sumarsono di kantornya, Senin (5/2/2018).
Setelah enam tahun berlalu, penelitian kembali dilakukan untuk menentukan format kerja wakil kepala daerah. Menurut Sumarsono, kajian harus dilakukan guna melihat fungsi dan peran wakil dalam menjalani tugas pemerintahan daerah sehari-hari.
Kajian dilakukan setelah maraknya kabar perselisihan antara kepala dan wakil kepala daerah. “Wakil merasa berjuang sama-sama, dalam prosesnya ingin sama-sama. Merasa posisinya ingin punya kewenangan yang sama dan jelas,” ujarnya.
Kasus terbaru misalnya perselisihan Bupati Tolitoli Mohammad Saleh Bantilan dengan wakilnya Abdul Rahman H Buding pada Januari 2018 dan mengundang komentar warganet karena rekaman gambar pertengkaran sempat beredar luas di media sosial.
Ada juga perselisihan antara Gubernur Kalimantan Utara Irianto Lambrie dengan wakilnya Udin Hianggio pada Oktober 2017. Kemudian, pada 2016 sempat terjadi konflik antara Bupati Kabupaten Kuantan Singingi, Sukarmis, dengan wakilnya.
“Kalau kajian ditolak, tidak ada revisi (aturan). Kalau positif, kenapa tidak kita tinjau kembali bersama DPR,” kata Sumarsono.
Dampak Kajian Posisi Wakil Kepala Daerah
Kajian mengenai jabatan wakil kepala daerah oleh Kemendagri dinilai dapat berdampak pada banyak hal. Salah satu imbasnya ialah akan ada kebutuhan besar untuk mengisi posisi birokrasi demi menggantikan peran wakil di pemda.
Jika posisi wakil ditiadakan, peran pendamping kepala daerah harus digantikan pejabat dari birokrasi. Pengisian jabatan birokrasi yang setara dengan tugas wakil itu harus memperhatikan jumlah aparat di daerah.
“Ini bisa jadi modus jual-beli jabatan baru, karena posisi deputi kan jadi penting. Kepala daerah sebenarnya kan tidak bisa bekerja sendiri, dia butuh tim. Kalau hanya sekda tidak cukup,” ujar pengamat politik dari Universitas Indonesia Sri Budi Eko Wardani.
Ketiadaan posisi wakil kepala daerah juga dipercaya bisa mengurangi biaya politik dalam pilkada. Direktur Eksekutif Puskapol UI ini mengatakan, penghematan bisa terjadi karena tidak ada lagi perdebatan antarpartai politik untuk menentukan figur pengisi calon kepala dan wakil kepala daerah.
Jika pilkada hanya memilih figur kepala daerah tanpa wakil, intensitas negosiasi antarpartai akan berkurang. Sri percaya parpol akan cepat mengambil keputusan ihwal siapa kandidat yang diusung dalam pilkada.
"Kemudian potensi adanya calon tunggal mungkin akan lebih tinggi. Bisa jadi terjadi fenomena borong partai (oleh petahana dalam pilkada)," kata magister dari FISIP UI ini.
Pada sisi lain, Sri menyebut, ketiadaan posisi wakil kepala daerah juga bisa berdampak negatif terhadap kelancaran jalannya pemerintahan di suatu wilayah. Saat posisi wakil dipertahankan, pengisian posisi puncak di pemda ketika kepala daerah berhalangan dapat dilakukan segera. Namun, ketika wakil tidak ada, pergantian pengisi jabatan kepala daerah akan dilakukan dengan mekanisme yang lebih rumit.
“Kalau kepala daerah berhalangan bagaimana gantinya? Nanti kan bisa makan waktu lagi menunjuk Plt (pelaksana tugas) dan bisa waduh itu lama deh waktunya," ujarnya.
Lebih Baik Perbaikan Sistem
Kajian yang dilakukan Kemendagri mendapat respons dari Sekretaris Badan Pendidikan dan Pelatihan Pusat DPP PDIP Eva Kusuma Sundari. Eva menilai, perbaikan sistem kepemimpinan di daerah sudah seharusnya dilakukan perbaikan tapi tidak dengan penghilangan jabatan wakil kepala daerah.
Menurut Eva harus ada kelembagaan pembagian kerja yang jelas antara kepala daerah dan wakilnya. “Jadi peran wakil harus ada portofolio tegas dan definitif, bukan karena belas kasihan sepihak pimpinan daerah," ujarnya.
Ia juga mengungkap sulitnya parpol mencalonkan kandidat jika hanya ada posisi kepala daerah yang diperebutkan dalam pilkada. Kesulitan muncul karena parpol akan tersandera syarat minimal dukungan untuk mengajukan kandidat di pilkada. "Sejauh ini hanya PDIP yang mampu daftar sendirian loh, dan tidak di banyak tempat," kata Eva.
Menanggapi ragam pandangan itu, Mendagri Tjahjo Kumolo mengatakan kajian kementeriannya terhadap posisi wakil kepala daerah tak akan menghilangkan jabatan wakil kepala daerah. Menurut Tjahjo, penelitian hanya dilakukan untuk memperkuat posisi wakil dan memperkecil potensi konflik antara kepala daerah dengan pendamping.
“Jadi kajiannya bukan terus harus menghilangkan wakil, tapi bagaimana ini apakah menyangkut pola pembagian kekuasaannya,” ujar Tjahjo, Rabu (7/2/2018).
Mantan Sekretaris Jenderal PDIP ini mengklaim tak akan mengarahkan kajian untuk merevisi UU Pilkada atau UU Pemda karena pemimpin di daerah tak bisa diisi hanya oleh satu orang dan peran wakil juga dianggap tak bisa digantikan Deputi atau Asisten Kepala Daerah.
“Wakil itu melaksanakan tugas kalau kepala daerah berhalangan tetap maupun tidak, atau kalau dia mendapat penugasan dari kepala daerah.”
Penulis: Lalu Rahadian
Editor: Mufti Sholih