tirto.id - Banyak suara melontarkan respons miring atas kunjungan Anies Baswedan ke markas FPI di Petamburan. Padahal, dari kacamata ilmu marketing gampang-gampangan, langkah Anies tersebut sudah tepat. Sangat tepat, bila dilihat dari sisi Anies sendiri. Meski, ya, jika dipandang dari sisi partai-partai pengusungnya, ini sekadar kompensasi impulsif yang sungguh terlambat.
Mari pelan-pelan kita udari konfigurasi peta marketingnya, yang mau tak mau harus kita tarik mundur hingga tiga tahun silam.
Begini. Pilpres 2014 adalah salah satu tonggak sejarah yang lumayan signifikan dalam membentuk sosiologi masyarakat Indonesia. Sejak geger 1965, agaknya cuma Pilpres 2014 yang mampu membelah populasi rakyat Indonesia menjadi dua. Barangkali itu buruk. Namun dari perspektif pemasaran, keterbelahan semacam itu menjadi momentum strategis bagi pemain pasar, yakni kubu Jokowi maupun Prabowo, untuk membangun positioning dan branding masing-masing.
Pembentukan diferensiasi produk dan selling point kubu politik Prabowo ternyata lebih mudah dibanding kubu Jokowi. Diferensiasi tersebut berangkat dari bekal dukungan beberapa parpol berkarakter Islam. Sementara, karakter kubu lawan yang dimotori PDIP terkesan lebih majemuk, tidak berorientasi agama, sehingga sentimen yang terbangun di dalamnya lebih dominan ke sentimen kesukaan atas figur, bukan ideologi.
Maka kita saksikan, kubu Prabowo yang dimotori Gerindra dan PKS berhasil menyempurnakan citra mantan Danjen Kopassus itu sebagai tokoh yang berpihak kepada kepentingan umat Islam. Dengan strategi kampanye di kalangan bawah yang mengangkat sentimen keislaman, customer loyal pun sukses digaet, yakni masyarakat muslim yang cenderung ortodoks.
Oke, peta market demikian memang mengandung beberapa simplifikasi. Namun, sudahlah, tidak perlu denial, Anda toh paham maksud saya. Mungkin Anda akan mengatakan bahwa tidak pernah ada materi resmi kampanye Pak Prabowo yang menyebut-nyebut kejayaan umat Islam dan sejenisnya. Tapi secara riil, pada level akar rumput, brand pembela Islam itulah yang paling menancap, dan paling efektif sebagai alat pendulang loyalitas konsumen politik kubu Prabowo.
Peluang untuk menciptakan kekuatan branding politik seperti itu sangat langka terjadi. Belum tentu dalam seratus tahun ke depan datang lagi momentum spesial untuk membangun citra serupa di Indonesia.
Kalau saya jadi Pak Prabowo saya akan mati-matian menjaga image tersebut, untuk seterusnya dengan sangat berhati-hati menjaga merek yang sudah saya genggam erat-erat. Meski pada akhirnya saya gagal di Pilpres 2014, bukan masalah, toh ajang politik akan terus digelar. Brand yang telanjur kuat tak ubahnya stok mesiu dan peluru yang bisa saya tembakkan sewaktu-waktu.
Malangnya, saya bukan Pak Prabowo. Lagipula Anda semua para pendukung Pak Prabowo pasti malas juga kalau wajah tokoh idola Anda berganti dengan wajah saya.
Ah, tak mengapa, tak usah diratapi. Mari kembali ke monitor.
Meski kubu Prabowo sudah menggenggam brand dengan sangat kuat, secara mengejutkan mereka membuat langkah aneh di Pilkada DKI kali ini. Banyak orang kaget. Langkah tersebut terasa benar menyia-nyiakan kekuatan merek yang sudah sukses dibangun dengan gemilang.
Pada situasi awal pasar politik bernama Pilkada DKI Jakarta 2017, lawan utama dari penantang tak perlu diidentifikasi repot-repot. Sudah ada petahana, Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok, yang berdiri sebagai kompetitor di depan mata, dengan tiga karakter produk yang sudah tertanam di benak konsumen: 1. Tionghoa. 2. Kristen. 3. Suka bicara galak, kasar, dan jauh dari nilai kesantunan.
Di kalangan konsumen, banyak yang menyukai karakter nomor 3 petahana, karena melihat sikap kasar itu dibarengi ketegasan yang mewakili kemuakan publik atas segala praktik busuk di pemerintahan. Dengan kesukaan tersebut, rerata kelompok konsumen yang ini tidak ambil pusing dengan karakter 1 dan 2.
Di sisi seberangnya, ada market share yang sangat besar, dari mereka yang membenci karakter Si Petahana. Sebagian tidak suka karakter nomor 3 saja, apalagi poin tersebut dilengkapi dengan kontroversi-kontroversi penggusuran permukiman warga. Namun sangat banyak juga yang membenci kesemua karakter sekaligus, baik poin 1, 2 , maupun 3.
Nah, untuk menghadapi petahana dengan brand seperti itu, dan untuk mengolah pasar politik dengan situasi semacam itu, kubu Prabowo memilih Anies Baswedan.
Sekilas tampaknya memang masuk akal. Sebab jika dibandingkan apple to apple, Anies membawa tiga karakter yang bisa menjadi antitesis atas Ahok, yaitu: 1. Arab. 2. Muslim. 3. Santun dan lembut. Secara teoretis, jika konsentrasi hanya difokuskan pada bagaimana cara menghadapi kompetitor bisnis politik, langkah pemilihan Anies Baswedan sudah sangat sempurna. Anies menampilkan diferensiasi produk, yang membawa karakter-karakter kebalikan dari petahana. Di atas kertas, itu akan menarik minat pangsa pasar yang tidak menyukai Ahok.
Sayangnya, kubu Pak Prabowo agaknya lupa, bahwa mereka bukan pemain baru. Padahal, bila pemain lama ingin memenangkan pasar, upaya yang dijalankan mestinya tidak cuma berbekal diferensiasi. Sebab, yang tak kalah penting adalah memanfaatkan amunisi yang sudah tersimpan dan tersedia di gudang, yakni branding kubu Prabowo yang sudah tergenggam selama lebih dari dua tahun terakhir. Persis di sinilah titik masalahnya.
Anies Baswedan memang muslim. Namun mata awam tidak melihat dirinya sebagai aktivis Islam. Bahkan secara umum Anies dipandang membawa citra pemikiran liberal, lagipula dia pernah menjadi Rektor Universitas Paramadina yang kondang liberal. Hanya dengan karakter ini saja, sebenarnya customer telah dibikin kesulitan untuk melakukan brand recognition. Brand lama kubu Prabowo jadi kabur, sulit dikenali secara tegas.
Situasi jadi bertambah runyam karena ternyata kali ini konsumen tidak hanya dihadapkan pada dua pilihan, sebagaimana dulu terjadi pada Pilpres 2014. Andai hanya ada dua opsi produk, brand pembela umat Islam pada kubu Prabowo masih agak terjaga. Tiba-tiba muncul Agus Harimurti Yudhoyono, yang secara kekuatan brand image tak terlalu jauh berbeda dengan Anies Baswedan: sama-sama sulit mencerminkan citra pembela umat Islam. Pasar pun semakin bingung. Mereka ingin sekali memilih produk yang sangat jelas merepresentasikan brand image Islam, namun tak ada satu pun yang 100% memuaskan mereka. Dalam istilah marketing, di sini telah terjadi demand and supply gap.
Di tengah kondisi kebingungan market seperti ini, terjadilah peristiwa di Kepulauan Seribu, yang disusul aksi 411 dan 212 yang melibatkan ratusan ribu umat Islam. Rangkaian peristiwa demi peristiwa tersebut menjadi momentum yang mengangkat satu nama: Habib Rizieq Shihab. Benar, sosok ini memang telah lama dikenal. Namun baru kali inilah popularitasnya mencapai titik terpuncak.
Kemunculan Habib Rizieq dalam memimpin aksi-aksi massa menjadikan sosoknya tampil sempurna sebagai brand ambassador pembela Islam. Kebingungan customer dalam memilih “produk politik” pembawa brand Islam sekarang terjawab sudah. Problemnya, pemberi jawaban itu adalah Habib Rizieq, sosok yang bukan pemain langsung perebutan market Pilkada. Maka pertanyaannya, sebagai brand ambassador, dia jadi ambasador untuk siapa?
Habib Rizieq adalah kunci. Andai aksi 411 terjadi sebelum penetapan calon gubernur, lalu kubu Prabowo memilih Habib Rizieq sendiri sebagai cagub, persoalan pasti teratasi dengan manis. Bekal brand lama kubu Prabowo tak sia-sia, sementara diferensiasi produk untuk menandingi Petahana juga terbentuk dengan sempurna.
Namun setiap guliran sejarah memang membawa tantangan marketing tersendiri. Yang jelas, kembali lagi, sekarang nasib market share penolak petahana ada di tangan Habib Rizieq. Siapa yang didukung Rizieq di antara Anies dan Agus, dialah yang akan memenangkan pasar.
Nah, pada saat seperti inilah Anies Baswedan sowan ke Petamburan. Dengan takzim ia menyebut Habib Rizieq sebagai guru besar. Ia menonjolkan betapa pentingnya peran warga keturunan Arab dalam pembentukan ide keindonesiaan. Ia mengangkat analogi salat witir tiga rakaat sebagai ibarat atas nomor cagub yang pantas dipilih. Ia menyebut dirinya bukan muslim liberal. Lalu yang tampak remeh namun sebenarnya lumayan kuat, ia memuji-muji karya akademis intelektual Amerika tentang kelicikan lobi Yahudi.
Semua itu adalah langkah pemasaran yang jitu, dan sangat taktis untuk membangkitkan sentimen pasar padanya. Baik pasar pemilih, maupun pasar di dalam tubuh FPI sendiri. Jika sentimen ini berhasil direproduksi terus-menerus hingga hari coblosan nanti, niscaya konsumen akan melihat Anies Baswedan sangat dekat dan identik dengan Habib Rizieq. Sama-sama keturunan Arab, sama-sama fasih dengan istilah-istilah keislaman, sama-sama anti-liberal, dan sama-sama anti-Yahudi.
Aspek-aspek tersebut, malangnya, tidak melekat pada diri Agus Yudhoyono. Anies telah selangkah lebih maju dibanding Agus dalam memperebutkan Habib Rizieq, brand ambassador pembela Islam. Brand lama Anies sebagai akademisi dan intelektual yang cenderung pluralis pun pelan-pelan akan lenyap, bersama gerutuan para intelektual muda patah hati yang merasa kehilangan dia (Bukan masalah penting, toh market share-nya kecil.)
Demikianlah. Secara marketing, apa yang dilakukan Anies sungguh tepat. Namun segalanya tetap akan kembali ke Habib Rizieq. Sekali Rizieq berkata “Ayo umat Islam memilih Agus Yudhoyono”, misalnya, apa yang ditabur Anies akan tetap sia-sia.
Apa pun itu, selalu menarik untuk melihat permainan politik di mana saja sebagai konfigurasi dan aksi-aksi pemasaran. Jika mampu mencernanya dengan perspektif demikian, kita akan paham satu pelajaran sangat penting: “Meski kalangan lapis bawah tulus berjuang demi perjuangan ini atau demi perjuangan itu, bagi lapis atas semua ini tak lebih dari permainan marketing belaka.”
*) Isi artikel ini menjadi tanggung jawab penulis sepenuhnya.