tirto.id - Pada satu kesempatan Presiden Joko Widodo (Jokowi) di depan para anggota Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia mendorong dunia usaha untuk percaya diri untuk terus mengembangkan usaha. Iklim usaha di Indonesia saat ini dianggap sangat baik dengan catatan-catatan positif di atas kertas.
“Kepercayaan itu ada. Contoh dari investment grade, ini sudah jelas. Dari Moody’s ada, First Rating ada, Standard & Poors juga ada. Tapi, kenapa kita masih enggak percaya diri?” tanya Jokowi di acara Rakornas Kadin Indonesia, pada awal Oktober 2017.
Jokowi heran dengan para pelaku usaha yang belum percaya diri untuk berekspansi bisnis. Padahal, daya tarik Indonesia secara global juga meningkat, dari peringkat ke-8 ke peringkat ke-4 versi United Nations Conference on Trade and Developments. Selain itu, Bank Dunia menempatkan Indonesia pada peringkat ke-72 dalam hal kemudahan berbisnis (ease of doing business/EODB). Peringkat ini naik dari sebelumnya berada di peringkat ke-91.
Baca juga: Kenaikan Peringkat Kemudahan Berbisnis Belum Menular ke Daerah
Saat ini, para pelaku usaha memang belum cukup agresif dalam meningkatkan produktivitas usahanya. Hal itu terlihat dari melonjaknya nilai kredit perbankan yang tidak terpakai nasabah alias kredit 'menganggur'.
Berdasarkan data Otoritas Jasa Keuangan (OJK), kredit tidak terpakai atau kredit yang sudah disetujui tetapi tidak dicairkan oleh nasabah (undisbursed loan) per September 2017 mencapai Rp1.401 triliun, naik 9,6 persen dari periode yang sama tahun lalu sebesar Rp1.278 triliun.
Dari total kredit menganggur, yang sudah menjadi komitmen antara bank dan nasabah (committed) tumbuh lebih tinggi sebesar 16 persen, atau menjadi Rp346,02 triliun. Sedangkan untuk uncomitted per September 2017 mencapai Rp1.054,42 triliun
Deputi Komisioner Pengaturan dan Pengawasan Terintegrasi OJK Imansyah mengatakan tingginya nilai kredit tak terpakai ini mencerminkan masih terbatasnya kemampuan peminjam dana dari sektor usaha di dalam negeri.
"Padahal perbankan sudah mempunyai kapasitas untuk menyalurkan kredit, namun ternyata tidak kunjung terealisasi," katanya kepada Tirto.
Apa yang disampaikan Imansyah cukup klop dengan data OJK lainnya terkait penyaluran kredit untuk investasi dari perbankan. Penyaluran kredit perbankan khususnya untuk penggunaan investasi memang mengalami penurunan tipis, dari posisi Januari 2017 ke posisi September 2017.
“Kalau undisbursed loan uncommitted naik biasa saja. Tapi, kalau yang committed naik, ini baru menarik. Karena ini menandakan pelaku usaha masih menahan ekspansi,” kata Bhima Yudhistira, ekonom Institute for Development of Economics and Finance (Indef) kepada Tirto.
Kredit committed adalah komitmen kredit yang tidak bisa dibatalkan oleh bank, dan dananya sudah disiapkan bank. Sebaliknya, kredit uncommitted dapat dibatalkan bank apabila kondisi debitur tidak memenuhi persyaratan. Kredit committed yang menganggur dampaknya lebih terasa kepada bank ketimbang kredit uncommitted. Pasalnya, dana yang sudah dialokasikan untuk nasabah itu tidak bisa digunakan oleh bank untuk kepentingan lainnya.
Kedua kondisi ini sama-sama tidak dikehendaki oleh debitur maupun bank. Bagi debitur, meski dana yang tidak dicairkan, debitur tetap harus membayar provisi kepada bank sebagai bagian dari biaya perjanjian kredit atau administrasi. Sementara bagi perbankan, adanya kredit yang belum tersalurkan atau tertahan membuat bank akan kehilangan kesempatan (opportunity loss) untuk meraup pendapatan bunga.
Apa yang menjadi penyebab kredit yang belum tersalurkan meningkat?
Bila menilik adanya pelemahan realisasi kredit investasi, dan tingginya kredit yang tidak terpakai nasabah, maka mengindikasikan adanya persoalan di sektor riil. Misalnya progres pembangunan proyek yang molor, permintaan atau daya beli konsumen yang tak membaik.
Selain itu, bertambahnya kredit menganggur juga bisa disebabkan prinsip kehati-hatian yang diterapkan oleh pihak bank. Misalnya, bank mensyaratkan adanya penyelesaian setiap termin proyek sesuai dengan akad kredit yang telah disepakati. Proyek-proyek di sektor riil mencakup infrastruktur hingga manufaktur.
Baca juga: Rontoknya Bisnis Department Store
Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat rata-rata pertumbuhan produksi manufaktur besar dan sedang periode Januari-September 2017 tumbuh 4,62 persen. Namun, capaian ini sedikit menurun dibandingkan rata-rata pertumbuhan produksi manufaktur besar dan sedang pada Januari-September 2016 yang sempat mencapai 4,67 persen.
Beberapa pihak mengaitkan persoalan ini dengan kebijakan pemerintah terkait perpajakan. Peraturan Pemerintah (PP) No. 36/2017 tentang Pengenaan Pajak Penghasilan Atas Penghasilan Tertentu Berupa Harta Bersih yang Diperlakukan atau Dianggap sebagai Penghasilan, sempat membuat khawatir. Belum lagi soal, langkah Ditjen Pajak kepada wajib pajak yang mengikuti amnesti pajak malah terkena bukti permulaan (buper) soal potensi pidana perpajakan.
“Sentimen otoritas pajak yang gencar menarik pajak belakangan ini juga menjadi salah satu pertimbangan dunia usaha untuk menahan kreditnya,” kata David Sumual, Ekonom PT Bank Central Asia Tbk. (BBCA).
Baca juga: Menyoal PP 36, Episode Baru Memburu Harta Wajib Pajak
Kredit perbankan per Oktober 2017 tumbuh 8,18 persen dari periode yang sama tahun lalu. Jika dilihat dari data pada Januari-Oktober 2017, kredit perbankan baru naik 4,18 persen (year to date). Rendahnya pertumbuhan kredit ini tentu akan berimbas secara luas termasuk perekonomian. Tahun ini, pemerintah memperkirakan pertumbuhan ekonomi ditaksir hanya bisa mencapai 5,1 persen, lebih rendah dari target dalam APBN-P 2017 sebesar 5,2 persen.
Meningkatnya kredit bank yang belum tersalurkan tentu menjadi potensi kehilangan kesempatan. Namun, di tengah masalah ini, Bank Indonesia (BI) optimistis penyaluran kredit perbankan akan tumbuh dua digit, yakni mencapai 10-12 persen pada 2018 dengan simpanan dana pihak ketiga naik 9-10 persen.
“Ini juga disesuaikan dengan prediksi pertumbuhan ekonomi nasional dan ekonomi global yang mulai membaik secara gradual pada tahun-tahun mendatang,” kata Agus DW Martowardojo, Gubernur Bank Indonesia.
Untuk mencapai target-target optimistis itu tentu tak hanya butuh kepercayaan diri dari otoritas moneter Bank Indonesia atau pemerintah tapi juga dunia usaha. Kepercayaan diri dunia usaha terbangun bila ada kepastian.
Penulis: Ringkang Gumiwang
Editor: Suhendra