Menuju konten utama

Menyoal PP 36, Episode Baru Memburu Harta Wajib Pajak

Ingar bingar soal amnesti pajak memang sudah berakhir sejak Maret lalu, tapi dengan adanya PP 36 menjadi episode baru pemerintah dalam mengejar harta para wajib pajak.

Menyoal PP 36, Episode Baru Memburu Harta Wajib Pajak
Petugas pajak melayani warga yang mengikuti program Pengampunan Pajak (Tax Amnesty) di Kantor Direktorat Jendral Pajak, Jakarta, Jum'at (31/3).ANTARA FOTO/Atika Fauziyyah

tirto.id - David, seorang karyawan swasta di Kota Bandung mengaku agak khawatir, usai mendengar kabar pemerintah berencana mengenakan tarif pajak penghasilan (PPh) dan sanksi kepada wajib pajak yang belum melaporkan hartanya dalam Surat Pemberitahuan (SPT), setelah masa periode amnesti pajak berakhir.

“Selain karena memang tidak ikut tax amnesty, saya juga memang belum melaporkan seluruh harta saya. Karena saya pikir lapor harta itu untuk perusahaan atau orang kaya saja,” kata David berkeluh kepada Tirto.

Kekhawatiran David ini merupakan buntut dari terbitnya Peraturan Pemerintah (PP) No. 36/2017 tentang Pengenaan Pajak Penghasilan Atas Penghasilan Tertentu Berupa Harta Bersih yang Diperlakukan atau Dianggap sebagai Penghasilan yang diteken Presiden Jokowi pada 6 September 2017.

Aturan ini merupakan tindak lanjut dari program amnesti pajak yang dilakukan pemerintah sejak 1 Juli 2016 hingga 31 Maret 2017. Janji pemerintah kala itu, setelah pengampunan pajak berakhir, maka tibalah masa penegakan hukum. PP 36 inilah yang jadi alatnya.

Baca juga:Gertak Sambal Kala Target Pajak Harus Ditambal

Artinya kehadiran PP ini akan menjadi senjata bagi para petugas pajak untuk melakukan sanksi dan pungutan pajak tambahan bagi wajib pajak (WP) yang belum melaporkan seluruhnya atau baru sebagian, baik yang mengikuti amnesti pajak maupun yang tidak mengikuti amnesti pajak.

PP ini lahir dari UU No 11 tahun 2016 tentang pengampunan pajak, pada pasal 18 jelas mengatur "direktur Jenderal Pajak menemukan data dan/atau informasi mengenai Harta Wajib Pajak yang diperoleh sejak tanggal 1 Januari 1985 sampai dengan 31 Desember 2015 dan belum dilaporkan dalam SPT Pajak Penghasilan, atas Harta dimaksud dianggap sebagai tambahan penghasilan yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak pada saat ditemukannya data dan/atau informasi mengenai Harta dimaksud, paling lama tiga tahun terhitung sejak Undang-Undang ini mulai berlaku (sampai 2019).

Menurut Direktur Eksekutif Center for Indonesia Taxation Analysis (CITA) Yustinus Prastowo, pasal ini ditafsirkan bila Ditjen Pajak tidak bisa menemukan data lain soal harta, hingga 1 Juli 2019 terhadap wajib pajak yang tidak ikut amnesti pajak seperti contoh dalam kasus David, maka hartanya tidak bisa kena pajak yang diatur dalam ketentuan PP 36.

Namun, patut diingat, PP ini juga bagian dari jeroan pasal 13 UU Pengampunan Pajak, yang intinya untuk memastikan proses repatriasi dan investasi dari konsekuensi wajib pajak yang ikut amnesti pajak bisa sesuai sebagaimana mestinya. Sekaligus penegakan hukum bagi para peserta wajib pajak yang sudah ikut amnesti pajak, tapi tak sepenuhnya jujur melaporkan hartanya.

PP No. 36/2017, mengatur WP yang tidak melaporkan hartanya secara benar akan dikenai Pajak Penghasilan (PPh) terhadap harta bersih WP yang belum dilaporkan atau terutang dan sanksi administrasi perpajakan berupa kenaikan sebesar 200 persen. Ketentuan PPh ini mencakup WP Badan dikenai tarif PPh sebesar 25 persen, WP Orang Pribadi 30 persen dan WP Tertentu 12,5 persen.

Baca juga:Yang Terjadi Bila Batas Pajak Oleh-oleh Luar Negeri Naik

Sekadar ilustrasi, Tuan A—ikut program amnesti pajak—merupakan karyawan yang menerima gaji dari perusahaan tempat bekerja sebesar Rp120 juta per tahun. Selain gaji, Tuan A juga mendapatkan penghasilan Rp1,5 miliar dari usaha jasa pencucian motornya.

Namun, Ditjen Pajak menemukan data/info bahwa Tuan A memiliki harta sewa tanah dan bangunan Rp50 juta, serta bunga deposito Rp5 juta pada tahun pajak 2015, sehingga menjadi tambahan penghasilan mencapai Rp55 juta.

Setelah dihitung kembali, total penghasilan bruto Tuan A pada tahun pajak 2015 seharusnya mencapai Rp1,675 miliar. Berdasarkan pasal 4 PP No. 36/2017, Tuan A dikategorikan sebagai WP tertentu, sehingga tarif pengenaan pajak penghasilan 12,5 persen.

Dengan tarif tersebut, pajak yang harus dibayarkan Tuan A atas harta yang menjadi tambahan penghasilan itu mencapai Rp6,8 juta (Rp55 juta dikalikan 12,5 persen). Selain itu, Tuan A juga harus membayar sanksi Rp13,6 juta, hasil dari 200 persen dikalikan Rp55 juta, yang sesuai dengan Pasal 18 UU Pengampunan Pajak. Jadi total yang dibayar Tuan A mencapai Rp20,4 juta.

Selain Tuan A ada juga Tuan B, ia wajib pajak yang tidak mengikuti program amnesti pajak. Dengan asumsi penghasilan yang diterima Tuan B sama seperti Tuan A, dan juga tambahan penghasilan Tuan B pada Tahun Pajak 2015 sebesar Rp55 juta. Sesuai dengan pasal 4 PP No. 36/2017, maka pajak yang dibayar Tuan B sebesar Rp6,8 juta, yang diperoleh dari Rp55 juta dikalikan 12,5 persen. Apabila telat membayar 2 bulan, maka sanksi administrasinya sebesar Rp272.000, yang dihitung dari 4 persen dikalikan Rp6,8 juta. Jadi total yang dibayar Tuan B mencapai Rp7,07 juta.

Penjelasannya, sanksi bagi wajib pajak yang tak ikut amnesti pajak tapi terkena ketentuan PP 36, maka dasarnya adalah UU No 16 Tahun 2009 tentang Ketentuan Umum dan Tatacara Perpajakan (KUP). Sedangkan untuk tarif pajaknya bagi yang ikut amnesti pajak dan yang tidak, sama-sama mengacu pada PP 36.

"Sanksinya yang tak ikut amnesti pajak 2 persen per bulan dan maksimal 24 bulan. Namun, kalau tahun pajak 2015 sementara tahun ini 2017 itu artinya kan sudah lebih jadi pasti kena maksimal 24 bulan atau 48 persen," kata Yustinus kepada Tirto.

Dari ilustrasi tersebut, bisa dikatakan WP yang mengikuti program amnesti pajak berisiko kena sanksi lebih besar—terutama WP yang tidak jujur saat melaporkan hartanya—ketimbang WP yang tidak ikut amnesti pajak. Ini konsekuensi dari wajib pajak yang sudah kena pengampunan pajak dari negara tapi masih membandel dan tak jujur.

Direktur Penyuluhan, Pelayanan dan Humas Ditjen Pajak Hestu Yoga Saksama mengatakan penerbitan PP No. 36/2017 ini ini merupakan tindak lanjut dari penerapan UU Pengampunan Pajak, dan konsekuensi lanjutan dari program amnesti pajak. Tujuan utamanya adalah rasa keadilan bagi Wajib Pajak, agar ada persamaan perlakuan antara mereka yang membayar pajak dengan jujur dan mereka yang tidak membayar dengan jujur.

“Selain itu, PP ini juga sebenarnya memberikan kepastian hukum dan kesederhanaan terkait pengenaan pajak penghasilan yang bersifat final atas penghasilan tertentu,” kata Hestu Yoga dikutip Antara.

Infografik poin utama PP

Menuai Reaksi Wajib Pajak

Aturan lanjutan dari amnesti pajak ini tak hanya menyasar wajib pajak pribadi, tapi juga badan usaha yang ikut maupun tidak amnesti pajak. Dunia usaha sempat mempertanyakan soal PP 36. Ketua Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia Rosan Roeslani mengungkapkan bahwa dunia usaha sebenarnya keberatan dengan syarat bagi peserta amnesti pajakyang tetap menjadi bidikan ditjen pajak dalam penegakkan hukum pasca amnesti telah diberikan.

Menurutnya, setelah mengikuti program pengampunan pajak, WP seharusnya tidak perlu lagi diusik. Lebih baik, pemerintah fokus kepada para WP yang tidak mengikuti program amnesti pajak selama 9 bulan yang lalu.

Permintaan Kadin ini barangkali ada benarnya. Jumlah WP yang melaporkan Surat Pemberitahuan Tahunan (SPT) pada 26 April 2017 baru mencapai 10,93 juta orang, atau 66 persen dari jumlah WP yang terdaftar dan wajib lapor SPT sebanyak 16,59 juta orang. Sebanyak 10,93 juta wajib pajak yang melaporkan SPT itu terdiri dari WP Badan sebanyak 322.430 perusahaan, WP Orang Pribadi Non Karyawan 983.216 orang dan WP Orang Pribadi Karyawan sebanyak 9,63 juta orang.

Baca juga:Memburu Wajib Pajak Tanpa NPWP

Yustinus Prastowo juga sepakat agar pemerintah lebih fokus melakukan tindakan lanjut atas harta yang belum ditemukan terhadap WP yang tidak mengikuti program amnesti pajak. Alasannya karena sempitnya waktu hanya sampai 1 Juli 2019. Selain itu, cara ini sebagai upaya kelonggaran dan bentuk apresiasi kepada para wajib pajak yang telah mengikuti program pengampunan pajak.

"Masak sudah ikut tax amnesty jadi malah semakin cemas. Saya harap pemberian sanksi itu disesuaikan dengan profil wajib pajak," kata Yustinus.

Persoalan pajak memang menjadi ihwal yang sensitif, salah-salah bila kurang sosialisasi dan pemahaman maka bisa bisa berdampak pada wajib pajak. Pada dasarnya PP 36 yang masih hangat ini hanyalah sebuah episode baru dari "drama" pengampunan pajak, yang dilanjutkan dengan penegakan hukum. Namun bagi sebagian wajib pajak bisa memunculkan kebingungan bahkan bisa membuat khawatir dan cemas seperti yang dialami David.

Bagi wajib pajak yang merasa cemas, Yustinus Prastowo menyarankan segera melakukan pembetulan SPT asalkan sebelum terbit surat ketetapan pajak. "Enggak ada sanksi. Tapi ini harus cepet-cepatan karena kalau ditjen pajak sudah kirimkan surat ketetapan pajak ke wajib pajak, ya terlambat juga. Wajib pajak harus lebih cepat membetulkan SPT," serunya.

Baca juga:Akhir Pengampunan Pajak yang Belum Membawa Terang

Baca juga artikel terkait PAJAK atau tulisan lainnya dari Ringkang Gumiwang

tirto.id - Ekonomi
Reporter: Ringkang Gumiwang
Penulis: Ringkang Gumiwang
Editor: Suhendra