tirto.id - Tepat pukul 24.00 WIB pada 31 Maret 2017, program amnesti pajak ditutup yang diwarnai antrean panjang di berbagai kantor pajak. Itu adalah batas terakhir kesempatan bagi wajib pajak untuk melaporkan kekayaannya yang selama ini tertutup rapat dari pantauan aparat pajak.
Amnesti pajak sudah bergulir sembilan bulan lamanya semenjak berlaku 1 Juli 2016, dengan dasar hukum Undang-undang No. 11/2016 tentang Pengampunan Pajak, pemerintah memberi keringanan dan pengampunan bagi para penunggak pajak. Mereka dibebaskan dari denda dan tagihan pajak asalkan mendeklarasikan kekayaannya dan membayar uang tebusan yang besarannya jauh lebih kecil dari tagihan pajak yang seharusnya mereka bayar.
Besarnya uang tebusan berbeda-beda di tiap periode. Pada periode pertama, nilai yang harus dibayar hanya 2 persen total pajak yang seharusnya mereka bayar. Ini untuk deklarasi dalam negeri, untuk deklarasi luar negeri, jumlahnya uang tebusannya dua kali lipat, yakni 4 persen.
Pada periode kedua, besaran uang tebusan menjadi lebih besar, yakni 3 persen untuk deklarasi dalam negeri, dan 6 persen untuk deklarasi luar negeri. Di periode ketiga yang berakhir kemarin (31/3/2017), uang tebusan meningkat menjadi 5 persen untuk deklarasi dalam negeri dan 10 persen untuk dana luar negeri.
Ini bukan pertama kalinya Indonesia mengampuni para penunggak pajak. Pada 1964, untuk pertama kalinya Indonesia menerapkan amnesti pajak. Waktu itu, negeri ini masih dipimpin Soekarno. Penetapan Presiden No. 5 tahun 1964 dijadikan dasar penetapan pengampunan, tapi tak berhasil.
Gerakan 30 September pada pada 1965 yang mengganggu dunia politik juga berimbas pada tidak kondusifnya perekonomian untuk menjalankan amnesti pajak.
Pada 1984, amnesti pajak kembali diberlakukan. Waktu itu, pimpinan kekuasaan sudah jatuh ke tangan Soeharto. Keputusan Presiden No. 26 tahun 1984 menjadi dasarnya. Tetap saja, kebijakan itu kembali gagal. Adanya perubahan sistem pungutan pajak dari official-assessment menjadi self-assessment dianggap menjadi penyebab kegagalan.
Official-assessment adalah sistem pungutan yang besaran pajak terutang ditentukan oleh pemerintah. Sementara self-assessment ditentukan oleh wajib pajak. Direktur Jenderal Pajak Ken Dwijugiasteadi menganggap perubahan itu menjadi salah satu alasan para wajib pajak tidak melaporkan asetnya dengan benar kepada negara.
Menurut Analis dari Sucorinvest, gagalnya dua amnesti pajak itu dikarenakan kurangnya reformasi di sistem administrasi pajak, data yang miskin, dan penegakan hukum yang lemah.
Tahun ini, Ken mengklaim sistemnya jauh lebih baik dari dua kebijakan sebelumnya. Dasarnya pun lebih kuat, yakni undang-undang. Tujuan utama amnesti pajak kali ini adalah menarik kekayaan warga Indonesia di luar negeri ke tanah air atau repatriasi.
Namun sayang, sampai detik terakhir program amnesti pajak, tujuan utama itu tak tercapai maksimal. Pemerintah menargetkan dana repatriasi dari amnesti pajak sebesar Rp1.000 triliun. Dana repatriasi adalah dana yang selama ini disimpan di luar negeri, kemudian dibawa pulang ke Indonesia.
Sampai program ditutup, menurut data statistik Amnesti Pajak Kementerian Keuangan yang diakses pada Sabtu (1/4/2017) pukul 10.00 WIB, total dana repatriasi hanya Rp147,1 triliun atau sekitar 14,7 persen dari target.
Kabar baik datang dari total dana deklarasi yang ditargetkan Rp4.000 triliun. Total dana deklarasi dari dalam dan luar negeri sampai detik terakhir mencapai Rp4.700 triliun dengan porsi Rp3.687 triliun dari dalam negeri dan Rp1.032 triliun dari luar negeri.
Sucorinvest pernah merilis laporan berjudul Show Me the Money. Para analis mewawancarai individu-individu berpenghasilan tinggi atau konglomerat dengan angka kekayaan bersih Rp100 miliar hingga lebih dari Rp1 triliun. Konsultan pajak yang menjadi penasihat pajak para konglomerat juga ikut diwawancarai.
“Sebagian besar konglomerat menyambut baik adanya amnesti pajak dan tak ada masalah dengan mendeklarasikan aset mereka. Akan tetapi, mereka memilih akan tetap menyimpan asetnya di perusahaan offshore dibandingkan membawanya kembali ke Indonesia,” tulis laporan itu.
Para konglomerat ini berpikir bahwa menyimpan aset mereka di luar negeri memberi keamanan, fleksibelitas, dan juga tarif pajak yang rendah. Cara itu juga dianggap lebih baik untuk memproteksi informasi finansial dibandingkan dengan meletakkannya di dalam negeri.
Meskipun amnesti pajak memberikan insentif 50 persen uang tebusan bagi dana yang direpatriasi, mereka lebih memilih membayar sepenuhnya, dan membiarkan uang mereka tetap berada di luar negeri.
Prediksi ini tampak benar, sebab dari Rp1.032 triliun dana luar negeri yang dideklarasikan, yang dibawa kembali ke Indonesia hanya Rp147,1 triliun. Ironisnya, hingga kemarin malam masih ada Rp24,7 triliun yang belum masuk ke Indonesia, artinya hanya baru Rp121 triliun yang benar-benar masuk ke Tanah Air. Padahal bila mengungkap kembali apa yang pernah disampaikan pemerintah, potensi harta orang-orang Indonesia di luar negeri mencapai sekitar Rp11.000 triliun. Tentu ini akan menjadi persoalan bagi mereka yang tak patuh.
Hukuman Bagi yang Tak Ikut Amnesti Pajak
Direktorat Jenderal Pajak menyatakan akan fokus dan konsisten melaksanakan Pasal 18 ayat 2 Undang-undang Pengampunan Pajak. Pasal itu menyebutkan jika wajib pajak tidak ikut amnesti pajak dan Direktorat Jenderal Pajak menemukan bahwa ia masih memiliki harta yang tidak dilaporkan pada SPT Tahunan, maka harta tersebut akan dianggap sebagai tambahan penghasilan yang akan dikenakan Pajak dengan tarif normal dan sanksi administrasi.
Bagi mereka yang menunggak pajak dan menyembunyikan harta, mereka tak bisa melenggang begitu saja. Ada konsekuensi yang menanti. Apabila tidak ikut program amnesti pajak dan kemudian diketahui memiliki harta yang diperoleh sejak 1 Januari 1985 sampai 31 Desember 2015, maka akan dikenakan tarif pajak normal 30 persen ditambah dengan sanksi bunga 2 persen tiap bulan dengan bunga maksimal 48 persen.
Mereka yang ikut program amnesti pajak pun bisa mendapatkan sanksi jika tak jujur dalam mendeklarasikan harta. Bagi mereka yang ikut program ini tetapi belum melaporkan seluruhnya harta, maka harta yang tidak dilaporkan itu akan dianggap penghasilan baru dan dikenai pajak dengan tarif 30 persen sampai 200 persen.
"Memasuki era keterbukaan Informasi, tidak ada lagi tempat untuk sembunyi dari pajak. Dengan mulai diberlakukannya Automatic Exchange of Information (AEOI) paling lambat tahun 2018, serta adanya revisi UU Perbankan untuk keterbukaan data bagi perpajakan, wajib pajak tidak akan bisa menyembunyikan asetnya dari otoritas pajak," ujar Ken dalam keterangan resminya.
Bagi mereka yang menyatakan hartanya direpatriasi tetapi tidak mengikuti aturan repatriasi juga akan dikenakan hukuman.
“Jadi kalau memang mereka di dalam SPH (Surat Pernyataan Harta) mengatakan bahwa harta itu adalah direpatriasi, maka mereka harus mengikuti aturan repatriasi, kalau ternyata tidak, ya nanti ada konsekuensinya. Kalau halangannya administratif, kita nanti lihat bagaimana administrasinya. Kalau memang halangannya adalah niat buruk, kita nanti akan lakukan tindakan,” ujar Sri Mulyani kepada para wartawan, Jumat (31/3).
Sri Mulyani juga mengatakan bahwa perpajakan di Indonesia akan lebih terang setelah program pengampunan pajak ini, terutama terkait reformasi dan data-data baru perpajakan di masa mendatang dari 900 ribu lebih data peserta program ini.
"Sesudah hari ini, sesudah tax amnesty, seluruh kegelapan di dalam perpajakan berakhir malam ini dan besok terbitlah terang," ujar Sri Mulyani kemarin malam.
Namun, bila menilik upaya repatriasi yang tak capai target, maka amnesti pajak yang telah berakhir kemarin, nyatanya masih menyisakan ruang yang belum terang untuk kekayaan orang-orang Indonesia yang masih terparkir di luar negeri.
Penulis: Wan Ulfa Nur Zuhra
Editor: Suhendra