tirto.id - Indonesia dan tiga negara lainnya diundang Organisasi Kesehatan Dunia atau World Health Organization (WHO). Banyak yang mengira undangan ini berkaitan dengan “keberhasilan” penanganan COVID-19 padahal undangan itu dikirim semata-mata karena suatu negara sudah berhasil secara administratif menyelesaikan Intra-Action Review (IAR).
Direktur Jenderal WHO Tedros Adhanom Ghebreyesus menyatakan IAR merupakan upaya meninjau ulang kesiapsiagaan dan strategi merespons COVID-19. Harapannya, suatu negara dapat mengetahui mana saja metode yang berhasil (best practice), mana yang belum berhasil atau jauh dari kenyataan lapangan (gap), dan memastikan suatu negara tahu mana saja yang perlu diubah ke depannya.
Yang tak kalah penting menurut Tedros, suatu negara tidak hanya menyelesaikan IAR tetapi juga mengimplementasikannya. Hal yang sama juga berlaku bagi negara lain yang ingin mempelajari hasil peninjauan ulang milik Indonesia.
“Anda dapat berlatih, membuat simulasi tapi waktu terbaik untuk melihat kemampuan respons adalah saat kondisi darurat terjadi. Saat itulah Anda dapat melihat apa yang bekerja, apa yang tidak berhasil, dan apa yang perlu Anda tingkatkan,” ucap Tedros dalam konferensi pers virtual WHO, Jumat (6/11/2020).
Peninjauan ulang ini menggunakan pendekatan selayaknya instropeksi diri alias tidak dilakukan pihak ketiga termasuk WHO. Kalau pun WHO punya peran, itu hanya sebatas fasilitator.
Tedros bilang Indonesia bersama Thailand dan Afrika Selatan hadir sebagai sedikit negara yang menyelesaikan IAR cukup cepat. Saat ini ia baru mengantongi IAR dari 21 negara dan menunggu sisa negara lainnya merampungkan IAR.
Overclaim Pencapaian
Penjelasan Tedros ini pun berlainan dengan klaim Kementerian Kesehatan, Kamis (5/11/2020). Sekretaris Jenderal Kemenkes Oscar Primadi mengatakan undangan konferensi pers IAR merupakan respons WHO atas keberhasilan Indonesia menangani COVID-19 dan menjalankan pedoman IAR.
“Tentunya ini merupakan kesempatan baik, Indonesia sudah dipandang berhasil dalam mengendalikan pandemi COVID-19 ini dan WHO secara khusus mengundang bapak Menteri Kesehatan, bersama Director General WHO Tedros untuk sharing dan memberikan informasi bagaimana Indonesia mampu mengendalikan pandemi ini dengan baik,” kata Oscar dalam keterangan tertulis di situs Kemenkes.
Benar saja, penjelasan Menteri Kesehatan Terawan Agus Putranto, Jumat (6/11/2020) mengarah pada apa saja yang dilakukan Indonesia selama proses peninjauan ulang penanganan COVID-19 melalui IAR. Ia bilang pemerintah mendapat banyak masukan mengenai apa saja yang perlu ditingkatkan lagi setelah mengetahui mana metode yang berhasil maupun tidak berhasil.
Terawan sebenarnya menerima pertanyaan dari wartawan mengenai, “Apa saja respons yang tidak berhasil dan bagaimana pemerintah RI berupaya memperbaikinya.”
Sayangnya, pertanyaan ini tak terjawab Terawan. Terawan hanya memastikan pemerintah sudah menjalankan rekomendasi IAR. Antara lain memperluas jaringan laboratorium, RS rujukan dan merekrut lebih banyak tenaga pelacakan sekaligus meningkatkan pelatihannya.
Selanjutnya ia malah menjelaskan ulang apa makna IAR dari paparan awalnya. Di samping itu, Terawan juga sempat mengeluhkan kendala menjalankan IAR yang melibatkan lebih dari 138 pemangku kepentingan lintas sektor.
“Kementerian Kesehatan RI telah berupaya melalui 9 pilar respons strategis COVID-19. IAR berfungsi sebagai alat untuk mengidentifikasi mana kekuatan dan kelemahan yang dapat kita tingkatkan,” ucap Terawan.
Penanganan COVID-19 Belum Membaik
Epidemiolog Universitas Indonesia (UI) Pandu Riono mengatakan IAR bukanlah sebuah pedoman yang dibuat oleh WHO untuk dijalankan suatu negara. IAR justru merupakan peninjauan ulang yang harus dibuat sendiri oleh pemerintah dengan memetakan apa saja yang telah dilakukan sejak awal pandemi berikut hasilnya dengan bertanya langsung pada pemangku kepentingan yang terlibat.
“Mana metode yang berhasil dan tidak berhasil menurut kita sendiri. harapannya dipakai untuk perbaikan mengatasi pandemi,” ucap Pandu kepada Tirto saat dihubungi, Sabtu (7/11/2020).
Pandu mengetahui dan memantau pelaksanaan IAR yang berlangsung bilang jika pemerintah mau transparan, masih banyak indikator IAR yang menunjukan metode penanganan COVID-19 RI tidak berhasil. Istilah lebih halus dalam IAR yakni, “Perlu diperbaiki dan ditingkatkan lagi.”
Ia mencontohkan ada persoalan pelacakan (tracing) dan keterbatasan lab. Lalu kapasitas tes Indonesia masih terbatas dan belum merata di semua wilayah. Per Oktober 2020 hanya ada 5 dari 34 provinsi yang memenuhi syarat minimum tes WHO.
Belakangan spesimen yang dites RI malah turun. Per 31 Oktober misalnya jumlah spesimen hanya 29.001 sehingga kasus baru ikut turun menjadi 3.143. Per 2 November turun lagi menjadi 26.661 sehingga kasus baru hanya 2.618.
Namun, per 5 November jumlah spesimen sudah kembali ke 39.581. Jumlah kasus baru COVID-19 pun naik dengan sendirinya menjadi 3.860.
Pandu bilang diundang WHO, Jumat (6/11/2020) lalu adalah satu hal. Sayangnya, undangan itu tak akan berarti apa-apa jika pemerintah Indonesia tidak segera berbenah diri dan benar-benar mengimplementasikan hasil evaluasi IAR.
“Kalau mereka tahu kelemahan-kekurangan sendiri ya perbaiki. Ini udah November, IAR kelar Agustus 2020. Sekarang perbaiklah atau jangan-jangan Menkes enggak ngerti apa-apa,” ucap Pandu.
“Ini tugas pemerintah RI bukan WHO,” tandasnya.
Penulis: Vincent Fabian Thomas
Editor: Restu Diantina Putri