tirto.id - Pada Kamis sore (28/3), saya berada di Stasiun Dukuh Atas BNI, Jakarta. Saat masih di area stasiun bawah tanah ini, indikator sinyal provider XL Axiata dan Indosat Ooredo yang saya gunakan masih manteng dan bertahan pada layanan 3G.
Namun, semuanya berakhir setelah berselang 11 menit, saat rangkaian kereta MRT dengan tampilan mulus tiba, lalu bergegas berangkat. Saat pintu kereta menutup, sinyal kedua provider yang saya gunakan langsung hilang seketika.
Karena penasaran, saya pun mencoba menghubungi seorang kawan dari smartphone yang dilengkapi provider XL Axiata. Hasilnya nihil. Tertera tulisan Not registered on network di pada smartphone.
Nasib yang sama juga terjadi pada smartphone dengan kartu provider Indosat Ooredoo. Tampilan laman YouTube yang saya buka kala menunggu kedatangan kereta, mendadak memberitahukan tidak bisa diakses karena nir sinyal.
Hilangnya sinyal provider XL Axiata dan Indosat Ooredoo berlangsung setidaknya selama 6-7 menit, sepanjang jalur MRT bawah tanah yang membentang sampai dengan Stasiun Senayan.
Pengguna provider lain yaitu Tri (3), juga mengalami tiarap sinyal seperti saya di sepanjang jalur bawah tanah MRT. Ini seperti pengalaman Diskha, yang menaiki MRT pada 21 Maret 2019 lalu bertepatan dengan ujicoba MRT oleh Presiden Joko Widodo dan Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan.
Menurut perempuan berusia 30 tahun ini, sinyal provider Tri yang ia gunakan hilang sepanjang jalur bawah tanah MRT. “Karena naik MRT bareng temen-temen, jadi menikmati pemandangan sekitar stasiun aja. Foto-foto bareng temen-temen, tapi baru bisa unggah ke media sosial pas udah keluar dari stasiun. Iri sih sama temen-temen lain yang masih bisa tetep eksis, tapi gimana, nikmatin aja, hehehe..,” katanya kepada Tirto.
Keandalan layanan sinyal saat berada di jalur MRT bawah tanah memang baru bisa dinikmati oleh pengguna provider Telkomsel dan Smartfren. Bob Apriawan, Direktur Jaringan Telkomsel menyatakan perseroan telah memasang 48 BTS di 13 stasiun yang dilewati MRT Jakarta. Secara keseluruhan ada 74 sektor dengan 222 NE BTS mixed 2G, 3G, dan 4G.
Bergabung bersama Telkomsel, provider Smartfren Telecom bakal menggelar jaringannya di rute MRT Jakarta, pada 27 Maret 2019 sudah tahap negosiasi final. Tiga provider telekomunikasi lain yaitu XL Axiata, Indosat Ooredoo dan Tri, mengaku masih berupaya merampungkan finalisasi penyediaan jaringan di rute MRT Jakarta.
Presiden Direktur dan CEO Indosat Ooredoo Chris Kanter bahkan pada akhir Maret 2019 kemarin sempat mengatakan biaya yang harus digelontorkan operator untuk memasang jaringan telekomunikasi di jalur MRT Jakarta dianggap terlalu tinggi. Menurut Chris, ongkos sewa jaringan telekomunikasi senilai Rp600 juta per bulan itu bukan hanya kemahalan, tapi sangat mahal. Bagi operator ini tentu dilema, antara kepentingan layanan prima dan tambahan biaya.
“Satu tahun mestinya tidak sampai Rp600 juta,” kata Chris melansir CNN Indonesia.
Terkait harga yang ditawarkan tersebut, Indosat berharap ada dukungan peraturan yang memudahkan operator untuk hadir melayani masyarakat di wilayah ruang publik. “Karena telekomunikasi menjadi kebutuhan vital masyarakat di ruang publik tersebut. Saat ini kamu masih terus bernegosiasi secara intensif dengan pihak terkait termasuk pemerintah dan asosiasi untuk kerja sama di sepanjang jalur MRT Jakarta,” jelas VP Corporate Communication Indosat, Turina Farouk kepada Tirto.
Dian Siswarini, Direktur Utama PT XL Axiata menyebutkan hingga saat ini pihaknya masih melakukan negosiasi harga dengan penyelenggara infrastruktur telekomunikasi MRT. “Betul, harga masih sangat tinggi. Saat ini masih belum ada kesepakatan harga,” ucap Dian kepada Tirto.
Menurut Dian, negosiasi masih akan dilanjutkan bersama dengan operator-operator lain yang tergabung dalam Asosiasi Penyelenggara Telekomunikasi Seluruh Indonesia (ATSI). Selain itu, pihaknya juga berharap Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo) dan juga Badan Regulasi Telekomunikasi Indonesia (BRTI), dapat menjadi fasilitator negosiasi.
Pihak PT Tower Bersama Infrastructure Group Tbk (TBIG) adalah perusahaan yang menyediakan infrastruktur jaringan seluler dan internet nirkabel di sepanjang rute MRT Jakarta. Menurut Direktur dan CFO TBIG Helmy Yusman Santoso, pihaknya menawarkan beberapa pilihan untuk paket sewa jaringan telekomunikasi di sepanjang jalur MRT Jakarta yang bisa dimanfaatkan sesuai kebutuhan masing-masing operator telekomunikasi.
“Kami juga menawarkan free trial atau uji coba gratis untuk jaringan. Ini dilakukan supaya operator bisa menghitung traffic-nya,” jelas Helmy kepada Tirto.
Helmy menambahkan, nilai kontrak sewa dan layanan yang diinginkan oleh para operator telekomunikasi sedang dimatangkan secara business to business (B2B). Ia bilang karena merupakan transaksi B2B, maka informasi mengenai nilai sewa tidak bisa disebutkan lantaran bersifat confidentiality agreement (perjanjian rahasia).
Helmy menekankan, implementasi jaringan telekomunikasi di lapangan juga tergantung dari strategi, rencana teknologi, dan operasional dari masing-masing operator.
Masalah Transparansi dan Strategi Tarif
Pada kasus layanan jaringan operator di lintasan bawah tanah MRT menunjukkan, ada dua kepentingan konsumen dan kepentingan operator. Konsumen tentu ingin dilayani secara prima dan operator punya kepentingan efisiensi biaya agar bisa ditekan.
Direktur Eksekutif The Institute for Development of Economics and Finance (INDEF) Enny Sri Hartati mengatakan, sudah seharusnya perusahaan telekomunikasi mau berkontribusi di program pemerintah dengan membangun jaringan telekomunikasi di sepanjang jalur MRT. Tujuannya, agar masyarakat mendapatkan kenyamanan dalam berkomunikasi dan tertarik menggunakan layanan transportasi publik seperti MRT.
Salah satu keengganan operator telekomunikasi untuk memasang atau menyewa infrastruktur jaringan telekomunikasi di jalur MRT adalah akibat tingginya biaya instalasi jaringan. Jika banyak operator tertarik membangun jaringan, maka komponen biaya yang ditanggung oleh masing-masing operator bisa berkurang dan menjadi lebih ringan.
Biaya pembangunan jaringan telekomunikasi di MRT harusnya bisa ditanggung renteng. “Jika memang harga sudah transparan disampaikan oleh PT MRT dan PT Tower Bersama tapi ada operator yang tidak sanggup membayar, maka operator tersebut tidak boleh komplain,” terang Enny melansir Kontan.
Dari sekian operator, Telkomsel memang salah satu yang paling siap menyediakan layanan andal di jalur MRT. Berdasarkan pemberitaan Tirto sebelumnya, Telkomsel jadi salah satu operator dengan tarif paling mahal untuk paket internet dibandingkan dengan operator lainnya. Telkomsel mengklaim bahwa mahalnya tarif berkaitan dengan kualitas yang diberikan, agar pelanggan dapat menikmati layanan broadband di manapun berada.
Penetapan tarif menurut Telkomsel merujuk pada komponen biaya jaringan, termasuk untuk kebutuhan akses bandwidth internasional. Telkomsel punya hitungan harga yang dipengaruhi banyak hal, salah satunya mengenai jangkauan yang membentang dari Sabang sampai Merauke yang memerlukan investasi dan biaya operasional.
“Harga kami terjangkau, bukan murah ya. Karena kalau terlalu murah juga tidak bagus. Kami perlu mempertimbangkan faktor keberlanjutan (sustainable). Kalau harganya murah tapi enggak sustainable, yang rugi kan masyarakat sendiri juga. Lalu mengenai ketersediaan juga,” ucap Direktur Utama Telkomsel, Ririek Ardiansyah.
Para operator tentu punya pertimbangan strategis untuk menyediakan layanan andal bagi para pelanggannya termasuk pada jalur MRT. Layanan maksimal tentu jadi kunci bagi sebuah industri jasa, kecuali para operator itu masih melayani setengah hati.
Editor: Suhendra