Menuju konten utama

Mempersoalkan Tarif Mahal Telkomsel

Media sosial diramaikan dengan peretasan situsweb Telkomsel. Peretas mengangkat masalah tarif data Telkomsel yang dianggap terlalu mahal. Benarkah demikian?

Ilustrasi Telkomsel. FOTO/Telkomsel

tirto.id - Saat situs penyedia jasa telekomunikasi Telkomsel diretas, jagat internet riuh dengan ucapan selamat, kegembiraan, dan dukungan kepada para peretasnya. Namun, beberapa masih ada yang merasa hal ini adalah tindakan yang tak benar.

Bagi mereka yang girang, mendukung, dan senang atas diretasnya situs Telkomsel nyaris menyuarakan hal yang sama. Tarif yang ditetapkan Telkomsel dianggap terlalu mahal. Berdasarkan riset Tirto, perbandingan tarif berbagai operator dari masing-masing situs resmi mereka per 28 April 2016, Telkomsel memang paling tertinggi dibandingkan operator lain seperti Indosat Matrix dan XL (dengan asumsi satuan disamakan per 100kb dan menit).

Misalnya saja layanan data untuk Kartu Halo tarifnya Rp600/100kb padahal operator lain hanya mematok Rp100/100kb dan sebagian lagi Rp300/100kb. Memang untuk layanan Telkomsel lainnya seperti Simpati dan AS tarifnya lebih rendah hanya Rp300/100kb.

Sementara itu berdasarkan tarif paket terkini Telkomsel, dengan kisaran harga Rp60.000, Telkomsel menawarkan beberapa paket kuota. Dengan harga Rp52.500, Telkomsel menawarkan Paket Flash 600 MB per bulan dengan tambahan akses Hooq dan VIU selama 30 hari serta VideoMax sebesar 1 GB. Paket Flash (Ekstra Topping 4GB) sebesar 1 GB per bulan dipatok seharga Rp57.500. Paket ini juga menyediakan ekstra data 4G sebesar 1GB, serta Flash Midnight sebesar 2 GB yang berlaku selama pukul 00.00 - 07.00. Pelanggan juga dapat tambahan mengakses Hooq dan VIU selama 30 hari serta VideoMax sebesar 1 GB.

Kompetitor lainnya seperti Smartfren, dengan harga Rp60.000 bisa mendapat paket internet dengan kuota 2GB. Adapun Axis memberikan paket internet dengan kuota 5GB dengan harga Rp60.800. Paket internet ini berlaku selama 24 jam dengan masa aktif 60 hari. Sementara itu, XL dengan Paket XTRA Combo senilai Rp59.000 bisa mendapatkan kuota internet 6GB yang terdiri dari 4GB untuk 4G dan 2GB untuk 2G/3G/4G. Paket-paket ini memang tak bisa disandingkan satu sama lainnya karena tarifnya berbeda dan syarat dan ketentuan yang berlaku dari masing-masing operator.

"Harga kami terjangkau, bukan murah ya. Karena kalau terlalu murah juga tidak bagus. Kita perlu mempertimbangkan faktor keberlanjutan (sustainable). Kalau harganya murah, tapi nggak sustainable, yang rugi kan masyarakat sendiri juga. Lalu mengenai ketersediaan juga," kata Direktur Utama Telkomsel, Ririek Adriansyah dalam konferensi pers, Jumat (28/4/2017)

Sebagai operator, Telkomsel memang pastinya sudah punya hitungan harga yang dipengaruhi banyak hal. Salah satunya soal jangkauan dari Sabang sampai Merauke yang memerlukan investasi dan biaya operasional. Namun, bagi konsumen yang terpenting bagi mereka adalah kualitas dan tarif yang terjangkau.

Keluhan konsumen soal mahalnya tarif ini bukan hanya membandingkan antar operator saja. Berto Tukan, seorang penyair dan penulis cerpen, pernah mengeluh bagaimana disparitas harga paket internet Telkomsel untuk Indonesia Timur lebih mahal dan jauh lebih buruk kualitasnya dengan yang ada Indonesia Barat khususnya di Jawa. Berto hanya salah satu pelanggan Telkomsel yang juga memprotes mengapa ada ketidakadilan dalam penentuan harga. Mahalnya harga kerap kali tidak disertai dengan kualitas pelayanan jaringan yang bermutu.

Pelanggan Telkomsel seperti Berto mereka terpaksa menerima layanan dengan harga mahal tanpa bisa berbuat apa-apa. Keluhan paling banyak adalah mereka diberikan paket data yang sebenarnya tidak dibutuhkan, seperti kuota HOOQ dan VIU. Karena tak pernah digunakan kuota-kuota ajaib semacam ini bisa menumpuk hingga berpuluh-puluh giga, sementara kebutuhan primer untuk kuota internet dan telepon kerap hilang dengan ajaib.

Pengguna layanan Telkomsel pasti pernah mengalami momen di mana muncul pertanyaan, bila memang tak puas dengan layanan mengapa tak berpindah ke operator lain? Persoalannya, pelanggan Telkomsel telah terlanjur "nyaman" dan malas mengganti karena mereka mesti memulai lagi relasi dengan nomor baru yang mungkin tidak sebaik operator sebelumnya. Sebagai salah satu operator perintis di Indonesia, Telkomsel tentu punya basis pelanggan yang sudah besar.

Pelanggan Telkomsel menunjukkan peningkatan dari tahun ke tahun. Sepanjang 2016 Telkomsel memiliki 173,920 juta pelanggan, angka ini naik 13,9 persen dibandingkan 2015 sebesar 152,641 juta pelanggan. Pengguna akses jaringan perangkat 3G/4G tercatat selama 2016 sebanyak 82,647 juta unit.

Jumlah pelanggan yang besar tentu berdampak pada kinerja mereka sebagai sebuah korporasi papan atas telekomunikasi. Pada 2016 lalu Telkomsel meraih pendapatan sebesar Rp86,72 triliun, naik 14 persen dibandingkan tahun sebelumnya sebesar Rp 76,05 triliun. Dikutip dari Info Memo laporan keuangan 2016 milik Telkom, Pendapatan Telkomsel masih dikuasai oleh bisnis Legacy (Suara dan SMS) yakni menghasilkan Rp56,06 triliun di 2016 naik 4,5 persen dibandingkan periode 2015 sebesar Rp 53,65 triliun. Laba bersih di 2016 sebesar Rp28,19 triliun atau naik 26,1 persen dibandingkan periode 2015 sebesar Rp22,36 triliun.

Kinerja kinclong Telkomsel bukan berarti anak usaha PT Telkom ini bersih dari berbagai masalah. Selain masalah kritikan tarif internet, mereka juga pernah terjerat persoalan kartel tarif SMS pada kasus hampir satu dekade lalu. Pada Juni 2008 Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) membuktikan praktik kartel layanan pesan singkat (SMS) oleh enam operator selama periode 2004-1 April 2007 telah merugikan konsumen hingga Rp2,827 triliun.

Salah satu perusahaan yang terbukti bersalah adalah Telkomsel dan didenda Rp25 miliar. Sesuai dengan proporsi dan pangsa pasar operator tersebut selama empat tahun praktek kartel SMS berlangsung, Telkomsel mengakibatkan kerugian konsumen terbesar yang mencapai Rp2,1 triliun.

Persoalan para operator telepon seluler termasuk KPPU adalah masalah tabiat dalam berbisnis. Namun ada persoalan lain yang lebih besar yang dihadapi oleh para pelanggan operator di Indonesia, yaitu soal infrastruktur konektivitas atau telekomunikasi di Indonesia.

src="//mmc.tirto.id/image/2017/04/28/Infografik-Telkomsel-Sabit.jpg" width="860" alt="Infografik Telkomsel " /

Konektivitas di Indonesia

Di Sulawesi, Nusa Tenggara, dan Papua jangan harap bisa mengakses internet di desa terpencil. Di kota besar ibu kota provinsi pun kadang perlu berusaha keras untuk bisa mendapatkan jaringan yang bermutu atau sinyal yang baik. Seseorang saat bergeser sinyalnya ponselnya bisa hilang atau telepon bisa putus tanpa alasan.

Ada hal lain yang sebenarnya mengerikan tentang akses internet dan bagaimana distribusi jaringan yang fair. Masyarakat di Jawa mungkin belum pernah merasakan menggunakan layanan jasa komunikasi di Indonesia Timur. Ini bukan masalah satu operator belaka, tapi nyaris seluruh operator yang ada di Indonesia belum mampu memberikan layanan baik kepada masyarakat Indonesia Timur. Kebanyakan mereka dipaksa menerima paket kuota internet mahal dengan layanan yang buruk nyaris tanpa pilihan.

Laporan Global Connectivity Index (GCI) 2017, menyebutkan Indonesia sebagai negara dengan angka rata-rata konektivitas nasional yang menurun. Tahun ini, Indonesia menempati peringkat ke-40, turun satu peringkat dari posisi 2016 yang sempat di posisi ke-39. Penurunan peringkat ini berlawanan dengan upaya koneksi internet transmisi data kecepatan tinggi (broadband) yang diluncurkan sehingga mempengaruhi pengembangan pusat data.

Masalah konektivitas ini berbanding terbalik dengan gairah pasar para pengguna internet di Indonesia yang terbilang tinggi secara volume maupun intensitasnya. GCI menyebut bahwa rata-rata waktu yang dihabiskan oleh masyarakat Indonesia untuk mengakses internet melalui laptop per harinya adalah 4,7 jam.

Torehan ini lebih tinggi daripada Malaysia dan Vietnam yang masing-masing hanya 4,6 jam. Apalagi bila dibandingkan dengan Meksiko hanya 4,4 jam, Australia saja hanya 3,6 jam, dan Kanada malah 3,8 jam aja. Sementara penggunaan perangkat ponsel untuk mengakses internet juga tinggi. Waktu yang dihabiskan oleh masyarakat Indonesia untuk mengakses internet melalui mobile per harinya adalah 3,5 jam. Sebagian besar waktu yang dihabiskan oleh masyarakat Indonesia untuk mengakses internet adalah membuka media sosial. GCI juga menyebut per hari masyarakat Indonesia menghabiskan 2,9 jam di depan gawai untuk membuka media sosial.

Murahnya gawai dengan teknologi yang bisa mengakses internet dan beragamnya penyedia jasa layanan komunikasi membuat boom internet jadi melebar. Ponsel yang dulu digunakan hanya untuk telepon dan SMS, kini berkembang menjadi berselancar di media sosial dan membuka streaming YouTube.

Sehingga wajar saja jika konsumen di Indonesia membutuhkan layanan data atau internet yang “Terluas, Tercepat!” seperti slogan Telkomsel. Bukan itu saja, konsumen juga menuntut tarif yang terjangkau. Tuntutan terakhir inilah yang akhirnya memicu peretasan Telkomsel.

Baca juga artikel terkait TELKOMSEL atau tulisan lainnya dari Arman Dhani

tirto.id - Ekonomi
Reporter: Arman Dhani
Penulis: Arman Dhani
Editor: Nurul Qomariyah Pramisti