tirto.id - Konflik antara transportasi berbasis aplikasi dan konvensional muncul karena tidak adanya pengawasan persaingan usaha. Transportasi konvensional, dalam hal ini taksi, dinilai menetapkan tarif yang terlalu mahal dan melakukan monopoli. Sementara transportasi berbasis aplikasi dinilai menetapkan praktik jual rugi atau predatory pricing. Praktik itu menyebabkan harga bisa ditekan sangat rendah sehingga mematikan pesaingnya, dalam hal ini transportasi konvensional.
Praktik-praktik usaha tersebut jelas-jelas melanggar Undang-undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat. Sang wasit, yakni Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) seharusnya mengatasi kekisruhan persaingan transportasi berbasis aplikasi dan konvensional itu.
Sayangnya, KPPU selama ini kurang bertaji. Dalam beberapa kasus, KPPU tidak bisa berperan lebih jauh dalam mengawasi persaingan usaha. Sangat jarang keputusan KPPU dijalankan dengan baik. Banyak keputusan KPPU juga seringkali dimentahkan oleh pengadilan negeri. Di tengah keputusan yang mandul itu, KPPU juga harus dihadapkan masalah internal yang cukup pelik.
Keputusan Digugat
Pada Juni 2008, KPPU menyatakan sejumlah operator bersalah dalam kasus kartel SMS. Kartel SMS itu menyebabkan kerugian konsumen hingga Rp2,8 triliun. KPPU mengganjar sanksi denda untuk lima operator hingga Rp77 miliar. Rinciannya, XL (Rp25 miliar,) Telkomsel (Rp25 miliar), Telkom (Rp18 miliar), Bakrie Telecom (Rp4 miliar), Mobile-8 (Rp5 miliar).
Namun, keputusan KPPU tidak bisa langsung dijalankan karena adanya gugatan dari para operator. Perjalanan kasus ini berakhir di Mahkamah Agung (MA). KPPU mengajukan kasasi setelah Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Pusat mengabulkan permohonan keberatan yang diajukan oleh para operator seluler terhadap putusan KPPU.
KPPU butuh waktu hingga 8 tahun agar putusannya bisa dieksekusi. Pada 26 Februari 2016, MA mengabulkan permohonan kasasi KPPU dalam perkara No. 9 K/Pdt.Sus-KPPU/2016 pada 29 Februari 2016. Lima operator harus membayar denda ke KPPU.
"KPPU sangat bersyukur mengapresiasi MA telah memenangkan KPPU dalam kartel SMS. Putusan MA luar biasa karena ini menyangkut kepentingan konsumen yang sangat banyak," kata Ketua KPPU Syarkawi Rauf.
Kasus kartel SMS hanya satu dari sekian banyak putusan KPPU yang digugat ke pengadilan. Hasil penanganan keberatan di PN maupun penanganan kasasi di MA selama periode 2000-2011, sebanyak 44 persen putusan KPPU dibatalkan oleh PN dan 56 persen diperkuat oleh PN. Sedangkan untuk tingkat MA, 27 persen keputusan KPPU dibatalkan oleh MA dan sisanya 73 persen diperkuat MA.
Data lain menunjukkan minimnya eksekusi atas hasil keputusan KPPU. Hingga kini, ada 52 perkara yang sudah ditetapkan KPPU, tetapi belum dilaksanakan. Padahal, pelaku usaha yang dinyatakan melanggar wajib melaksanakan putusan tersebut dan menyampaikan laporan pelaksanaannya kepada KPPU. Hal ini terjadi karena putusan yang dikeluarkan oleh KPPU harus dimintakan penetapan eksekusi ke PN. Artinya, putusan KPPU tidak dapat langsung dieksekusi atau dilaksanakan. Putusan KPPU biasanya jadi bukti awal penyidikan di PN bila terlapor sebuah kasus mengajukan keberatan terhadap putusan KPPU.
Masalah Kelembagaan
Selain masalah keputusan yang sering digugat dan tidak dieksekusi, KPPU juga dihadapkan dengan persoalan yang mendasar sebagai sebuah lembaga pemerintah yang mengawasi persaingan usaha. Misalnya soal status pegawai KPPU yang saat ini hanya berstatus honorer.
Ketua KPPU Syarkawi Rauf sempat mengadukan persoalan status pegawai KPPU ini ke Menteri Pemberdayaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi Yuddy Chrisnandi pada September tahun lalu.
"Kami meminta kepada Menteri PAN dan RB untuk memperjelas status kelembagaan kami. Karena selama ini kami kesulitan dengan status kelembagaan yang membuat pegawai KPPU merasa tidak memiliki jaminan status kepegawaian," kata Ketua KPPU Syarkawi Rauf.
Bila ditelisik, akar masalah kelembagaan KPPU karena berdasarkan UU, Sekjen ditetapkan oleh KPPU. Padahal di lembaga lain seorang Sekjen ditetapkan dan diangkat oleh presiden. Posisi seorang sekjen di KPPU bukan sebagai seorang pejabat eselon I atau non PNS. Sekretariat KPPU selama ini belum terintegrasi dengan sistem kelembagaan dan kepegawaian nasional di bawah Kementerian PAN dan RB.
KPPU memiliki 320 pegawai yang berada di lima wilayah yaitu Kalimantan Timur, Makassar, Medan, Surabaya, dan Batam. Dari seluruh pegawai, hanya 11 orang yang berstatus sebagai PNS. Sejak KPPU berdiri pada 1999, sudah lebih dari 150 pegawainya mengundurkan diri karena persoalan status yang tak jelas.
"Status PNS itu pun hanya untuk diperbantukan. Selama dia masih di KPPU, mereka juga sulit mendapatkan promosi jabatan," kata Syarkawi.
Persoalan ini berbuntut pada kinerja KPPU secara keseluruhan khususnya soal produktivitas mereka dalam menangani dan memutuskan perkara. Dari data KPPU terkait putusan yang sudah dilakukan, ada tren mengalami penurunan. Puncak hasil putusan terbanyak KPPU terjadi pada 2008, salah satunya soal kartel SMS. Setelah itu trennya terus turun, bahkan pada 2015 hanya memutuskan lima perkara.
Wewenang Tak Kuat
KPPU juga punya masalah soal wewenang. Berdasarkan UU No 5 Tahun 1999, kewenangan KPPU hanya sebatas menerima laporan, melakukan penelitian, penyelidikan, menyimpulkan penyelidikan, memanggil pelaku usaha, menghadirkan saksi, menetapkan keputusan, dan menjatuhkan sanksi. KPPU tak punya wewenang untuk mempermudah penyelidikan dan penyidikan seperti menyita alat bukti atau upaya paksa memanggil para terduga kasus persaingan usaha.
Anggota Komisioner KPPU Sukarmi pernah mengatakan dalam penanganan perkara, KPPU kerap kesulitan memanggil para pihak terkait, karena tak memiliki kewenangan melakukan upaya paksa. KPPU juga sering kesulitan mendapatkan bukti langsung berupa perjanjian, secara tertulis ataupun lisan dalam mengungkap kasus persaingan usaha.
“Banyak kekurangan dan kelemahan yang membuat KPPU jadi sulit bertindak, terutama mengenai hak sita dan hak paksa,” kata Sukarmi.
Kekuatan KPPU sangat jauh jika dibandingkan lembaga penegak hukum lain, misalnya KPK. Selama ini KPK terkenal dengan instrumen Operasi Tangkap Tangan (OTT) yang bisa membuat orang lain jera. Namun, KPPU hanya punya instrumen mengenakan denda atas sebuah pelanggaran.
Persoalan lainnya, denda tertinggi sesuai UU No 5 tahun 1999 hanya Rp25 miliar. Denda yang kecil ini tak memberikan efek jera terutama bagi pelaku usaha yang terlibat kartel atau monopoli yang melibatkan dana triliunan rupiah. Sempat ada usulan agar denda maksimal ditingkatkan menjadi Rp500 miliar.
Gigi Baru Melalui Revisi
Posisi KPPU yang lemah ini bukan tidak disadari oleh para pemangku kepentingan. DPR pun mengajukan revisi UU No 5 Tahun 1999 sejak 2011. Pada 2013, Rapat Pleno Badan Legislasi (Baleg) menyetujui adanya RUU tentang Perubahan atas UU Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat. Pada 2015, RUU soal ini sudah masuk prolegnas, tetapi tak berhasil dituntaskan oleh DPR. Tahun ini, RUU kembali masuk prolegnas bersama puluhan RUU lainnya.
Anggota Komisioner KPPU Nawir Messi pernah mengatakan pentingnya perubahan atas UU persaingan usaha bagi perekonomian nasional. Khususnya dengan fakta bahwa selama ini KPPU banyak menangani kasus tender yang tidak hanya berasal dari dalam negeri, tapi juga dari luar negeri. Selain itu, iklim persaingan usaha terus berkembang signifikan, sementara KPPU lahir dari UU yang dibuat 16 tahun lalu.
"UU No. 5 ini lahir dari rahimnya DPR, pemerintah, jadi memang sudah saatnya UU ini untuk segera dievaluasi. Ini penting bagi kami untuk membantu proses penegakan hukum," ujar Nawir.
Sebagai lembaga pemerintahan yang bertugas sebagai wasit persaingan usaha, KPPU harus diperkuat dengan memberikan tambahan wewenang dengan melakukan berbagai revisi pada UU No 5 tahun 1999. Revisi juga tak hanya soal kewenangan dan daya gebrak KPPU untuk lebih memberikan efek jera, juga soal kelembagaan agar di internal KPPU lebih kuat.
RUU perubahan UU No 5 tahun 1999, tahun ini kembali masuk prolegnas. Harapannya, revisi bisa memperkuat KPPU. Tanpa penguatan peran KPPU, maka akan sulit menyelesaikan kasus-kasus besar seperti kartel harga ayam, kartel daging sapi, hingga polemik transportasi yang semuanya berkaitan langsung dengan kepentingan publik. Apalagi tahun ini mulai bergulir Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA) yang tantangannya akan lebih besar karena menyangkut perilaku entitas bisnis lintas negara.