tirto.id - Rabu pagi, 27 September 2017, Rusiyati sedang menjemur pakaian di bagian belakang rumahnya. Tiba-tiba suasana heningnya hilang. Sahut-menyahut suara berteriak meminta pertolongan bermunculan. Bunyinya berasal dari depan rumahnya. Rusiyati panik dan bergegas menuju sumber suara.
Hari itu gerimis masih mengguyur wilayah tempat tinggalnya di Johar Baru, Jakarta Pusat. Akibat dilanda hujan pada malam harinya, banjir setinggi mata kaki orang dewasa menggenangi jalan depan rumahnya. Sesampainya di halaman rumah, Rusiyati kaget. Dia melihat seorang perempuan, bernama Suriyah, tergeletak lemas di antara tiang listrik dan tiang telepon. Sementara itu seorang anak perempuan, bernama Chairunnisa, berseragam sekolah dasar sedang menangis.
“Saya kira ada yang sedang dipatuk ular, soalnya banjir jadi tidak terlihat jelas. Suami saya teriak ada yang kesetrum. [Memang] waktu saya dekati si ibu itu, kaki saya berasa ada yang nyetrum,” ujar Rusiyati saat ditemui oleh Tirto.
Rusiyati menceritakan usaha para warga setempat menyelamatkan Suriyah. Karena takut akan ikut terkena aliran listrik, Rusiyati mencari barang-barang yang kira-kira bisa buat melepaskan Suriyah dari tiang listrik. Dia mencoba mendongkel tubuh Suriyah menggunakan payung, tetapi usahanya gagal. Payungnya mental. Baru sekitar satu jam berikutnya pihak dinas pemadam kebakaran dan PLN datang memberi bantuan.
“Posisi badan tersangkut antara tiang listrik dan tiang jaringan telepon. Posisinya di tengah-tengah (antara dua tiang), jadi susah [dilepaskan]," Rusiyati mencoba mengingat detil peristiwa.
Baca juga:Disengat Tarif Listrik Nonsubsidi
Kejadian ini bermula saat Suriyah hendak mengantarkan anaknya, Chairunnisa, bersekolah di SDN 07 Johar Baru. Jalan DPS 01 Percetakan Negara 2 yang membujur di depan rumah Rusiyati adalah salah satu rute yang biasa mereka lewati.
“Waktu itu ada mobil mau lewat. Ibu minggir terus menyentuh tiang listrik. Tiba-tiba aku kelempar,” kata Chairul Nisa kepada Tirto.
Akibatnya sungguh fatal. Suriyah meninggal dunia. Saat kejadian berlangsung, Rusiyati mengaku melihat ada pembungkus salah satu kabel di tiang listrik tersebut yang terkelupas.
“Saya lihat ke atas, kelihatan tembaganya,” ujar Rusiyati.
Baca juga:Polisi Akan Panggil PLN untuk Klarifikasi Kematian Suriyah
Setidaknya Satu Kejadian Per Tahun
Peristiwa naas yang menimpa istri dari Ilung tersebut turut menambah daftar panjang korban tewas akibat tersengat arus listrik yang bersumber dari kabel yang terkelupas. Melalui penelusuran media, Tirto menemukan dalam lima tahun terakhir, kejadian serupa terjadi rata-rata satu peristiwa per tahun.
Pada Mei 2017, Antaramelaporkan dua warga Kota Pekanbaru, Riau bernama Azwar dan Ermawati meninggal akibat tersengat arus listrik. Berasal dari kabel listrik yang putus dan menempel pada genangan air, arus listrik mengalir ke tubuh Azwar, sedangkan Ermawati meninggal tersetrum akibat memegang tiang listrik di depan rumahnya.
Setahun sebelumnya, Effendi beserta anaknya Luthfatisa Annaufa, meregang nyawa setelah tersetrum kabel jaringan PLN yang putus di sekitar pemakaman Habib Shodiq, Kriyan, Kabupaten Jepara. Peristiwa tersebut terjadi pada Februari 2016.
"Pada pagi hari saat korban dan keluarganya akan berziarah, ternyata kabel yang terputus tersebut masih menjuntai di tanah," ujar Mustahdi, yang saat itu menjadi kuasa hukum keluarga korban, kepada Antara.
Kemudian pada Juni 2016, Merdekamelaporkan Minda Febrianti meninggal setelah menyentuh antena televisi. Warga Perumahan Jala Utama, Kota Pekanbaru, Riau tersebut tersetrum aliran listrik bersumber dari kabel penghubung trafo ke tiang listrik yang berada di dekat rumahnya. Kabel itu terkelupas dan menyentuh atap rumahnya.
Baca juga:Bola Panas Rencana Akuisisi PGE Oleh PLN
Sebelum Suriyah, kabel listrik di Ibukota juga pernah memakan korban. Pada Desember 2015, Niko Adeli dan Siti Nurhayati meninggal tersengat arus listrik saat beranjak dari halte di Jalan Mangga Dua Raya. Kabel bawah tanah di sekitar mereka terkelupas dan bersentuhan dengan genangan air yang diinjak keduanya.
Sementara itu, pada Oktober 2013 lima anak yang sedang ‘mandi hujan’ di sebuah lapangan di Duren Sawit, Jakarta Timur tersengat aliran listrik yang bersumber dari kabel yang ditanam dalam got. Dua di antaranya meninggal dunia.
Listrik yang mengalir pada kabel-kabel tiang listrik perumahan biasanya bertegangan rendah antara 40 Volt sampai 1000 Volt. Namun harap pikir berjuta-juta kali jika Anda ingin menyentuhnya dengan sengaja. Batas ketahanan tubuh manusia untuk arus bolak-balik (AC) adalah di bawah 40 Volt sedangkan untuk arus searah (DC) adalah di bawah 48 Volt. Di atas angka itu sudah berbahaya, bisa menyebabkan kematian.
Musibah atau Lalai?
“Kabel itu kan terisolasi dan kekuatan isolasi itu 20 sampai 30 tahun. Itu kalau normal. Tetapi kalau tidak normal seperti terkena gesekan artinya kabel jadi terbuka.”
Pernyataan tersebut disampaikan oleh Manajer Komunikasi, Hukum dan Administrasi PLN wilayah Jakarta, Aris Dwiyanto, saat dihubungi Tirto guna menanggapi kasus Suriyah. Aris menjelaskan bagian kabel yang isolasinya terkelupas itu bisa saja menyentuh sebarang objek di dekatnya. Dalam kasus Suriyah secara kebetulan kabel itu menempel di tiang PLN.
“Bukan tiangnya yang mengakibatkan orangnya meninggal. Tiang itu akibat kabel yang terkena pohon, ada angin bergeser terkelupaslah kabel itu, kebetulan [kabelnya] menempel di tiang PLN,” ujar Aris.
Aris pun berkesimpulan kasus ini merupakan force majeure—kejadian yang tidak dapat dihindari lagi—karena semua bisa teraliri listrik kalau kabel dalam keadaan tidak normal.
Tatkala meninjau lokasi meninggalnya Suriyah, Tirto menemukan kabel yang menempel pada tiang listrik di salah satu bagiannya terdesak oleh dahan dan ranting sebuah pohon. Rusiyati juga menuturkan pada akhir 2016, ada suatu hari ketika hujan, tiang listrik mengeluarkan api. “Udah dilaporin dan udah dibenerin,” ujarnya.
Sementara itu, dosen Teknik Tenaga Listrik Institut Teknologi Bandung (ITB) Syarif Hidayat mengatakan kabel listrik seharusnya berada dalam kondisi terisolasi secara sempurna, baik dalam keadaan kering maupun basah. Jika kegagalan isolasi terjadi pada fasilitas umum, hal tersebut adalah tanggung jawab pemilik fasilitas.
“Dalam kasus PLN, dia bisa diadukan. Karena dia melakukan kelalaian sedemikian rupa sehingga mengakibatkan kematian. Karena dia harus memenuhi standar, karena itu di tempat umum. Kalau di dalam rumah tentu itu tanggung jawab pemilik rumah,” ujar Syarif.
Proses pengaduan bukannya tidak pernah dilakukan. Bahkan keluarga Effendi menggugat PLN sebesar Rp 12 miliar.
Syarif menuturkan sebenarnya Indonesia telah memiliki standar nasional yang memandu pembangunan dan perawatan instalasi kelistrikan yakni Pedoman Umum Instalasi Listrik (PUIL) dan Standar PLN (SPLN). Namun menurutnya banyak tiang dan kabel listrik yang tidak memenuhi standar tersebut.
Dia mencontohkan kira-kira 58 persen kasus kebakaran di Jakarta disebabkan oleh hubungan singkat listrik, baik karena kualitas kabel tidak memadai, kualitas stop kontak tidak memadai, atau praktek penumpukan kabel. Data tersebut dia rujuk dari Dinas Pemadam Kebakaran DKI Jakarta.
“Di tempat umum banyak kasus standar keselamatan yang tidak dipenuhi. PLN juga kekurangan tenaga pengawas keselamatan. Walaupun masyarakat tidak tahu dan menganggap itu kecelakaan, tetapi itu kejadian itu adalah kelalaian oleh PLN atau saluran PLN yang tidak diawasi,” ujar dosen sekaligus peneliti jaringan kabel listrik bawah laut itu.
Baca juga:Cara Mengklaim Asuransi Tertimpa Pohon & Kecelakaan di Jalan
Meskipun hal tersebut disebabkan oleh pihak ketiga—misalnya gesekan pohon atau benang layangan yang tersangkut—PLN tetap harus bertanggung jawab.
“Ini saya kebetulan lewat di Jalan Gatot Subroto, Jakarta. Di depan gedung BPJS ada tiang listrik tegangan tinggi, di sebelahnya ada billboard reklame yang sangat besar. Sebenarnya itu tidak memenuhi syarat. Kalau pekerja yang sedang mengurus billboard itu terjatuh, dia bisa kesetrum. Saluran tegangan tinggi punya jarak minimum 2 meter dari objek tanah,” Syarif memberikan contoh.
Melihat banyaknya instalasi listrik yang belum memenuhi standard dan korban jiwa yang ditimbulkan darinya, ketika ditanya soal ganti rugi Arief menyatakan kejadian itu tidak otomatis membuat PLN untuk membayar ganti rugi. PLN hanya memiliki kebijakan untuk memberikan santunan.
Salah seorang anak Suriyah, Wati, mengakui bahwa pihak telah PLN membiayai perawatan visum, penguburan, dan pengajian. Ke depan, PLN juga berjanji membiayai sekolah Chairul Nisa hingga lulus SMA. Sementara itu, kepada anak Suriyah yang sedang menempuh kelas tiga Sekolah Menengah Kejuruan, PLN berjanji akan memberikan pekerjaan di PLN kala dia lulus nanti.
Di satu sisi, kebijakan PLN untuk menyantuni para korban tentu perlu diapresiasi. Namun tanpa ada pembenahan sistemik, terutama untuk pengawasan dan audit instalasi listrik—dan fasilitas lain secara umum—di ruang publik, niscaya korban ‘tiang dan kabel listrik’ berikutnya akan terus bertambah.
Penulis: Husein Abdulsalam
Editor: Maulida Sri Handayani