Menuju konten utama

Bola Panas Rencana Akuisisi PGE oleh PLN

Ide akuisisi PGE oleh PLN menjadi bola panas dalam tiga bulan terakhir ini. PLN mengklaim, akuisisi bisa menurunkan harga jual listrik dari PLTP ke masyarakat. Namun, sejumlah praktisi justru menilai rencana tersebut bisa menghambat pengembangan panas bumi.

Bola Panas Rencana Akuisisi PGE oleh PLN
Petugas berjaga di PLTP Lahendong unit 5 dan 6, Tomohon, Sulawesi Utara, Sabtu (26/11). ANTARA FOTO/Akbar Nugroho Gumay.

tirto.id - Awal Agustus, Kementerian BUMN melontarkan ide agar PT Perusahaan Listrik Negara (PLN) mengakuisisi anak usaha PT Pertamina (Persero), yaitu Pertamina Geohtermal Energy (PGE). Dorongan ini berangkat dari pertimbangan agar pemanfaatan geothermal bisa lebih optimal dan harga listrik dari Pembangkit Listrik Tenaga Panas Bumi (PLTP) terjangkau oleh masyarakat.

Kementerian BUMN pun mengaku sudah melakukan kajian, serta memanggil para direksi masing-masing perusahaan pelat merah tersebut. Direktur Utama PLN, Sofyan Basir mengaku dirinya sudah bertemu dengan Menteri BUMN, Rini Soemarno serta direksi Pertamina dan PGE membicarakan rencana akuisisi ini.

Sofyan bahkan mengklaim, jika PGE resmi dimiliki PLN, maka harga jual listrik dari pembangkit PLTP untuk masyarakat akan lebih murah, karena tidak perlu melalui perantara perusahaan lain yang juga mengambil keuntungan. Ia beralasan, selama ini yang menggali dan membor adalah Pertamina, sedangkan PLN hanya membeli uapnya. Karena itu, ia berharap rencana akuisisi 50 persen saham PGE dapat terealisasi tahun ini.

Mungkinkah harga listrik dari PLTP akan lebih murah jika PGE diakuisisi PLN?

Di satu sisi, klaim PLN bahwa dengan mengakuisisi PGE bisa menekan biaya pokok produksi (BPP) sehingga tarif listrik akan lebih murah, mungkin ada benarnya. Karena PLN secara langsung akan mendapat pasokan uap dari tangan pertama. Namun, di sisi lain, klaim tersebut justru menjadi kontraproduktif mengingat investasi pengembangan PLTP membutuhkan dana besar.

Dikutip dari laman aplikasi.ebtke.esdm.go.id, salah satu kendala pemanfaatan panas bumi selama ini karena biaya investasi yang relatif besar. Biaya terbesar pemanfaatan geothermal ini adalah ekstraksinya dan itu harus dikeluarkan pada investasi awal. Itu pun masih ditambah dengan risiko kegagalan yang saat ini masih pada kisaran 20 persen.

Biaya pengeboran panas bumi saat ini ada di kisaran 2 juta dolar AS – 5 juta dolar AS per 1MW kapasitas. Sumur yang dilengkapi dengan sistem pompa ada di kisaran 4 juta dolar AS per 1MW kapasitas. Biaya pengeboran ini menghabiskan lebih dari 50 persen total investasi satu sistem pembangkit PLTP. Satu sumur umumnya mengeluarkan energi 2 – 10 MW. Di banyak negara, biaya pokok produksi listrik (di luar jaringan) ada di kisaran 4 – 10 sen dolar AS per kwh. Dengan berbagai inovasi, biaya pokok produksi listrik panas bumi telah turun 20 persen dalam dua puluh tahun terakhir.

Dengan biaya investasi sebesar itu, maka tidak mungkin PLN dengan mudah menurunkan tarif listrik dari panas bumi, tanpa memperhitungkan biaya operasional dan investasi yang sudah dikeluarkannya. Apalagi, selama ini investasi besar dan resiko tinggi menjadi hambatan pemanfaatan panas bumi di Tanah Air, termasuk oleh PGE, Chevron –dua perusahaan yang memiliki kontribusi besar bagi pengembangan geothermal.

Karena itu, pemerintah melalui Kementerian ESDM juga telah mengeluarkan berbagai kebijakan untuk mendorong pemanfatan panas bumi agar lebih optimal. Salah satunya melalui Peraturan Menteri (Permen) ESDM Nomor 17 tahun 2014. Poin penting dalam Permen ESDM ini adalah memberikan kepastian soal harga kepada para pengembang PLTP, meskipun dalam praktiknya masih sering diabaikan oleh PLN.

Infografik Akuisisi Listrik Negara

Bola Panas Akuisisi PGE

Ide akuisisi PGE oleh PLN ini menjadi bola panas yang sengaja dilempar oleh Kementerian BUMN untuk mengetahui respons publik, karena usulan tersebut pasti memunculkan pro dan kontra. Bagi kelompok yang pro, rencana akuisisi PGE oleh PLN dinilai akan membantu pemerintah dalam merealisasikan target pemanfaatan panas bumi hingga tahun 2025 mencapai 7.000 MW.

Namun, bagi mereka yang kontra, rencana akuisisi PGE ini perlu ditinjau ulang, terutama soal kemampuan keuangan PLN. Karena untuk merealisasikan akuisisi ini, PLN membutuhkan dana yang tidak sedikit. Padahal, perusahaan listrik pelat merah ini juga masih memiliki tugas dari pemerintah untuk menyelesaikan mega proyek penyediaan pembangkit listrik 35.000 MW.

Sementara itu, anggota Dewan Energi Nasional (DEN), Abadi Purnomo mengatakan, wacana akuisisi PGE oleh PLN berpotensi mematikan pengembangan energi panas bumi. Ia menilai, PLN sebagai suatu perusahaan yang memiliki portofolio, tentunya akan memilih sektor yang memberikan margin yang lebih besar.

Misalnya, saat ini PLN memiliki pembangkit listrik yang lengkap, mulai PLTU, PLTGU, hingga PLTP. Maka PLN bisa jadi akan menghentikan operasi pembangkit yang memberikan margin rendah, seperti pembangkit panas bumi.

Menurut Abadi, panas bumi mempunyai reservoir. Jika satu dimatikan, seluruh sistemnya akan mati semua. Begitu dimatikan, akan butuh waktu dan biaya untuk menghidupkan kembali.

“Akan menghambat pengembangan panas bumi, karena bagi PLN, secara portofolio pengembangan panas bumi yang investments cost nya lebih besar dari PLTU/PLTGU tidak menguntungkan,” ujarnya pada tirto.id, Senin (28/11/2016).

Selain itu, Abadi juga menyoroti lemahnya pengelolaan PLTP oleh PLN selama ini. Ia mencontohkan PLTP Kamojang Unit 1 yang dibangun pada 1992 yang saat ini mengalami kerusakan. Nasib yang sama juga terjadi pada PLTP Lahendong Unit 1 yang dioperasikan PLN. Padahal kalau di luar negeri, PLTP yang sudah berusia 40 - 50 tahun pun masih beroperasi dengan baik.

Karena itu, pria yang juga menjabat sebagai Ketua Asosiasi Panas Bumi itu mengkhawatirkan rencana akuisisi PGE oleh PLN akan menghambat pengembangan panas bumi. Apalagi, lanjut Abadi, selama ini, perusahaan-perusahaan yang tertarik di bisnis panas bumi, sebagian besar adalah perusahaan minyak karena memiliki kesesuaian karakter dan kompetensinya di sektor hulu.

“Di dunia, perusahaan yang mengembangkan panas bumi seperti Chevron, yang bergerak di hulu. Di Indonesia demikian pula, ada Pertamina dan Supreme Energy yang notebenenya perusahaan migas. Jadi susah dimengerti keinginan PLN yang mau mengakuisisi Chevron dan PGE,” ujarnya seperti dikutip Antara.

Hal senada juga diungkapkan Direktur Eksekutif Institute Essential Services Reform (IESR), Fabby Tumiwa. Menurut Fabby, hingga saat ini rencana akuisisi tersebut tidak jelas. Kementerian BUMN yang menyarankan akuisisi PGE oleh PLN pun terkesan hanya melemparkan ide yang menjadi bola panas di publik, tanpa memaparkan konsep yang jelas dan transparan.

Menurut Fabby, akuisisi ini juga bisa mengakibatkan risiko kegagalan pencapaian target pengembangan pembangkit panas bumi sebesar 7000 MW pada tahun 2025, sebagaimana yang direncanakan dalam Kebijakan Energi Nasional dan Rencana Umum Energi Nasional.

“PGE merupakan perusahaan yang cukup baik, dengan rencana bisnis yang jelas. Salah satu keunggulan PGE bisa berkembang karena menginduk kepada Pertamina yang menyediakan expertise eksplorasi panas bumi yang sangat berisiko dan mahal,” ujarnya pada tirto.id.

Selain itu, PGE selama ini juga mendapatkan dukungan dari induk perusahaan untuk memanfaatkan dana internal untuk melakukan eksplorasi panas bumi. Ia khawatir, jika akuisisi dilakukan, maka PGE akan kehilangan keuntungan-keuntungan tersebut dan membuat bisnisnya menjadi berisiko.

Ide akuisisi PGE oleh PLN memang baru sebatas rencana yang direspons beragam oleh publik. Pertamina sebagai induk PGE pun mengaku belum mendapat informasi resmi dari Kementerian BUMN sebagai pemegang saham. Publik hanya bisa berharap agar rencana akuisisi ini melalui kajian yang matang, serta menimbang plus minusnya pasca-akuisisi direalisasikan.

Baca juga artikel terkait AKUISISI atau tulisan lainnya dari Abdul Aziz

tirto.id - Bisnis
Reporter: Abdul Aziz
Penulis: Abdul Aziz
Editor: Nurul Qomariyah Pramisti